Hutang Pengetahuan Modern

Mbah-mbah kita , gairah membacanya sangat kuat, semangat untuk menangkap petunjuk Tuhan begitu tinggi. Bukti semangat itu terlihat dari begitu kayanya jenis bahasa alam yang sudah diwariskan dan di-baku-kan dalam kebudayaan kita. Kebudayaan kita memiliki kamus bahasa alam yang unik dan menarik. Sekedar suara burung, bunyi tokek atau kupu-kupu yang kebetulan masuk ke dalam rumah saja, dibaca sebagai pesan atau kabar alam kepada manusia. Ilmu pengetahuan modern masih memiliki ‘hutang’ untuk membuktikan bahwa fenomena semacam itu bukan klenik. Bukankah agama juga telah menginformasikan secara gamblang tentang jenis ayat di luar teks yang disediakan Tuhan untuk dibaca, yaitu ayat kauniyah.

Orang -orang tua kita mungkin buta huruf terhadap teks, tetapi sensitifitas batin mereka untuk meraba pesan alam adalah juga sebuah potensi yang tidak bisa kita remehkan. Begitu detail leluhur kita dalam membaca pertanda-pertanda alam. Sayang sekali kita lebih memilih untuk takabur dengan menganggap warisan ilmu semacam itu hanya sebagai ‘sampah’ keimanan dan tinja bagi akal sehat.

Tradisi pencari kebenaran adalah berjuang untuk selalu berbaik sangka dan memperlakukan apa saja sebagai bahan riset. Saya masih optimis bahwa seluruh nilai dan sejarah keilmuan leluhur kita adalah jawaban atas segala kebingungan yang sedang menggelapi peradaban kita hari ini.

Sikap buru-buru menyangka fenomena keilmuan leluhur sebagai faktor destruksi iman adalah sumbatan yang mengancam perjalanan pengenalan diri sebuah bangsa. Dan jika sebuah bangsa gagal mengenali diri sejarahnya, maka seluruh keputusan budayanya hanyalah angan-angan dan spekulasi yang kehilangan ketepatan orientasi. [] Agus Sukoco

Dianggap Lunas Saja

Tidak pekewuhkah kita kepada Allah, ketika tiba saatnya dipersilahkan masuk ke surga-Nya dan menerima ridho-Nya sementara kita masih membawa hutang-hutang kepada-Nya? Dosa, kedholiman, kedurhakaan dan sikap lalai kita kepada Allah sesungguhnya adalah hutang kita kepada Allah. Hutang, yang tidak mungkin sanggup kita lunasi.

Betapa kita tidak bisa melunasi, bayangkan saja berapa rakaat sholat yang harus kita angsurkan kepada-Nya untuk membayar dosa atas maksiat mata kita? Bukan hanya berapa rakaat, tapi berapa level kualitas kekhusyukan yang harus kita setorkan? Pantaskah rakaat yang sekedar jungkat-jungkit ruku’ sujud dengan Pe-De kita mengantri untuk menyetorkan amal kita itu? Rasa-rasanya hanya rasa malu yang muncul ketika harus menakar kualitas sholat dan amal-amal kita lainnya.

Itu baru maksiat mata, lalu bagaimana dengan penebusan untuk dosa kekufuran mulut, kedzholiman tangan, kefakiran otak, kebodohan kaki, kerapuhan dada dan organ-organ lainnya? hanya satu kata : MUSTAHIL. Untuk kita bisa membayar lunas semua itu dengan amal-amal kita.

Perumpamaannya kita berhutang 100juta kepada seseorang. Karena tahu kita tidak mampu membayar, maka orang tersebut datang ke rumah dan membawa motor butut satu-satunya seraya berkata “Sudah aku anggap lunas saja hutangmu, karena kamu pasti tidak bisa membayar, tapi sepeda motormu ini aku bawa!”. Atas kejadian pelunasan ini, maka kita saksikan betapa murah hatinya si pemberi hutang di kasus ini.

Begitupun Allah seringkali melakukan modus penyeimbangan atas hutang-hutang kita kepada-Nya dengan hal-hal yang sama sekali tidak ada bandingannya dengan derajat dosa kita kepada-Nya. Maka pemahaman ini, hendaknya bisa menjadi titik tolak perbaikan akhlak kita kepada Allah sepertihalnya perubahan akhlak kita kepada pemberi hutang, sebelum dan sesudah dia menganggap lunas hutang kita yang sangat besar hanya dengan modus keseimbangan berupa sepeda motor butut kita diambil.

Setelah memahami ini, maka ketika kita menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, ban bocor di tengah sawah malam hari misalnya, reaksi kita bukan ‘ngresulah’ menggerutu tetapi reaksi kita adalah “Untung cuma ban bocor, bukan terserempet truk”. Atau ketika jatuh sakit flu, reaksi kita “Untung cuma sakit flu, tidak harus sampai operasi bedah”. Demikianlah Allah murah sekali meminta kompensasi untuk hutang-hutang kita kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pemurah. [] Agus Sukoco