Ranjau Hestitama

Pada pagelaran Maiyahan Juguran Syafaat di Sabtu malam Minggu (11/6) bulan kemarin dimana bertempat di Pendopo Supardjo Roestam, Sokaraja, Juguran Syafaat malam hari itu mengangkat tema “Informasi Ranjau”. Tema itu bersesuaian dengan media saat ini dimana banyak sekali terdapat informasi–infromasi yang fiktif belaka, baik media cetak, media sosial maupun televisi.

Kita yang hidup di kampung tercinta di kota asri Banyumas ini selalu menjadi obyek media-media yang berasal dari Ibukota. Sedangkan informasi megenai pemerintah, pendidikan, dan ekonomi dari daerah seniri justru jarang kita dengar menjadi trending topic. Dianalogikan suara kenthong (alat tradisional terbuat dari bamboo berfungsi sebagai pemberi informasi bagi warga), Kenthong di ibukota lebih nyaring daripada kentong di daerah sendiri. Beberapa jebakan jebakan informasi disiapkan untuk penggiring opini atau pun pengalihan isu.

Seperti di lakon pakem pewayangan, Informasi Ranjau ini pernah juga di gunakan dan hasilnya tepat sasaran. Di hari ke-17 Perang Baratha Yuda yang berlangsung di Tegal Kurusetra suasana duka masih menyelimuti kedua kubu. Di perkemahan para Pandhawa , Arjuna dan segenap keluarga Pandhawa yang sedang berduka dengan kematian Abimanyu dan Bambang Irawan.

Prabu Kresna sudah tidak kurang memberi nasehat dan menghibur kepada Arjuna. Namun, kelihatanya belum bisa menyingkirkan duka yang mendalam dari kalbu. Sementara di kubu kurawa kekuaatan mereka sudah mulai melemah, hanya menyisakan Prabu Duryudhana, Patih Sengkuni, Prabu Salya dan Pandhita Durna.

Keesokan harinya, di pihak Kurawa sudah menunjuk Pandita Durna sebagai senopati perang. Sedangkan di pihak Pandhawa mengirimkan Prabu Matswapati dari Wiratha, kita tahu Wirata merupakan sekutu dengan Amartha. Pandita Durna sudah memasuki medan laga dengan segala kesaktian dan kepandaian memanahnya, kemudian ia berhasil menumpas para pasukan yang berasal dari Wirata. Setelah tahu pasukannya kalang kabut, Prabu Matswapati turun dari kereta kudanya dan menghampiri Pandita Durna. Duel sengit pun terjadi. Selang beberapa lama pertarungan merekapun harus disudahi dengan terbunuhnya Raja dari Wirata itu.

Prabu Kresna yang mengetahui keadaan tersebut, terus berpikir langkah dan strategi perang apa yang mampu menghentikan kesaktian Pandita Durna. Setelah berpikir keras akhirnya Prabu Kresna memerintahkan Werkudara mencari seekor gajah milik Prabu Permeyo. Setelah Werkudara menemukannya, gajah yang bernama Hestiitama dibawa ke medan laga lalu membunuhnya dengan senjata Gada Rujak Polo. LaluWerkudara meneriakan ‘Aswatama Mati!!’ dan diikuti oleh para prajurit dari kubu Pandawa. Prajurit Pandawa mendengar itu bersorak sorai. Semakin menambah gemuruh sorak-sorai teriakan: Aswatamamati.

Mendengar suara yang gemuruh itu, Pendita Durna menjadi panik, semua kekuatannya seperti telah hilang, tubuhnya menjadi lemas. Pendita Durna ragu dengan berita kematian anaknya. Ia menemui Pandawa, ia bertanya pada Arjuna apakah betul  Aswatama mati. Arjuna menjawabya, Aswatama mati. Tidak percaya Pandita Durna menanyakan pada Werkudara, Werkudara menjawab, Ya, Aswatamamati. Pendita Durna tidak percaya kepada Werkudara.

Kemudian Pendita Durna mencari Puntadewa untuk menanyakan tentang kebenaran berita itu. Karena selama hidup Puntadewa tidak pernah berbohong. Sementara itu, Prabu Kresna menasehati Prabu Puntadewa agar mau berbohong sekali saja demi mengurangi korban yang berjatuhan. Prabu Puntadewa tetap tidak mau melakukan. Tetapi terlanjur Pendita Durna sudah di depan mereka.

Pendita Durna menanyakan: Apakah betul Aswatama telah mati? PrabuPuntadewa menjawab: hesti Tama yang mati. Maksud Prabu Puntadewa, “gajah Tama yang mati.”  Akan tetapi Pendita Durna mengartikan, “Betul, Tama yang mati.” Sebab kata ‘hesti’ juga berarti gajah, tetapi juga dapat berarti esti atau estu atau saestu yang artinya : betul.

Demikianlah,  Pendita Durna akhirnya percaya kalau anaknya, Aswatama betul sudah mati. Kemudian Pendita  Durna meninggalkan Prabu Puntadewa. Pendita Durna menjadi limbung dan pandangannya menjadi kabur dan gelap seketika.

Saat itu Pendita Durna mengalami situasi yang menjadikannya lupa bahwa dia masih seorang senapati Kurawa, yang masih berada pula di tegal Kurusetra. Perhatiannya hanya tertuju pada anak kesayangannya yang dianggapnya telah gugur di medan laga, sehingga ia tidak tahu ada bahaya yang sedang menghampirinya.

Drestajumna, anak Prabu Drupada yang mendatanginya, lalu memenggal kepala Pendita Durna, sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. Lalu ia melemparkan  kepala Pendita Durna ke arah pasukan Kurawa. Sementara itu, Prajurit Pandawa bersorak-sorai, Durna Gugur! Durnagugur!. Sorak-sorai menggema di medan laga.

Senja sudah tiba sangkakala berbunyi tanda perang telah usai. Akhirnya kepala Pendita Durna bisa dipersatukan dengan tubuhnya. Semua jasad para pahlawan mereka kemudian diperabukan, dengan upacara yang hikmad.

Dari sekelumit kisah Barata Yudha tersebut, kita bisa mendapatkan sebuah pemahaman tentang perlunya kita menelusuri informasi hingga sampai ke ibu informasi. Agar kita tidak terjebak oleh informasi yang keliru dan menjadi ranjau bagi kita. [] Naim D Pamungkas