Kita lahir dan besar di era dimana dunia sudah menggunakan sistem uang. Sulit untuk membayangkan bagaimana kehidupan berlangsung tanpa uang. Jenis kehidupan seperti itu hanya bisa kita lihat di museum-museum. Di suatu masa yang terasa sangat jauh dari hari ini.
Dengan uang, pemenuhan kebutuhan setiap orang menjadi berlangsung praktis. Selain pergi ke museum, kita bisa berkunjung ke pelosok-pelosok dimana sistem barter masih digunakan. Kita masih bisa menjumpai peristiwa barter misalnya di perbatasan Timor Leste yakni antara Alor dan Dili, juga di pasar terapung di Martapura, Kalimantan Selatan.
Di era sistem barter masih jaya-jayanya dahulu, orang cukup datang ke pasar membawa sumber daya yang ia miliki. Petani membawa beras, nelayan membawa ikan, pengrajin bambu membawa perkakas berbahan bambu dan sebagainya. Pemilik sumber daya terutama kebutuhan pokok berkumpul di pasar, tukar menukar dan merembug kurs pertukaran riuh terjadi. Kala itu pasar belumlah ilang kumandange.
Hari ini riuh rendah perbincangan dan tawar menawar di pasar berubah menjadi backsound musik. Apa yang kita tanam di pekarangan rumah, atau kerajinan yang dibuat di waktu senggang tidak serta merta bisa ditukar dengan barang lain yang sedang kita butuhkan. Harus laku dijual agar menjadi uang dahulu, barulah uang laku digunakan untuk menebus barang kebutuhan di pasar-pasar modern yang ada saat ini.
Dengan uang, semua menjadi praktis. Apa saja cukup dihitung menggunakan angka-angka dengan deret nol dibelakangnya. Barang kebutuhan ditukar dengan beberapa keping koin atau beberapa helai kertas ‘sakti’ itu. Sangking saktinya, setiap orang sekarang memburu benda itu.
Transaksi keuangan terus bergerak menjadi semakin praktis dari waktu ke waktu. Dari pola jual beli tradisional yang masih menggunakan percakapan “ini harganya berapa?”, kini berubah lebih praktis dengan cukup barang-barang diberi price tag. Tidak perlu tanya jawab harga, sudah tabu adanya tawar-menawar. Cukup di lihat di price tag, kalau setuju dengan harganya silahkan dibeli, kalau tidak setuju tidak usah dibeli.
Bank central yang diberi wewenang mengelola uang di negara kita yakni Bank Indonesia mengaku menghabiskan sedikitnya tiga triliun rupiah per tahun untuk membiayai peredaran uang fisik. Mulai dari mencetak, mendistribusikan, memusnahkan dan memperbaharuinya.
Mengikuti jejak negara-negara maju, dengan salah satu alasannya adalah menekan biaya peredaran uang fisik, pada kurun tiga tahun yang lalu Bank Indonesia mencanangkan sebuah inovasi transaksi yang diwadahi dalam Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
Yang ditawarkan kepada masyarakat dari dicanangkannya gerakan ini adalah kepraktisan. Transaksi-transaksi diarahkan untuk tidak lagi menggunakan uang fisik. Sehingga nantinya transaksi non-tunai akan menjadi tradisi baru, hingga targetnya lahirlah less cash society (LCS).
Less cash adalah ciri khas negara-negara maju. Selain kepraktisan yang ditawarkan, masyarakat juga secara tidak langsung diajak untuk memiliki gaya hidup baru, yakni gaya hidup sebagaimana yang dimiliki negara-negara maju.
Hampir semua toko modern menyediakan EDC sebagai piranti transaksi non-tunai. Pun begitu pembayaran moda transportasi, parkir, tol perlahan semua diarahkan menggunakan sistem pembayaran non-tunai. Termasuk pembayaran bantuan sosial. Selain kartu debit dan kartu kredit yang sudah dikenal sebelumnya, kini di masyarakat juga sudah dipopulerkan uang elektronik. Ada uang elektronik yang menggunakan kartu ber-chip, ada pula jenis uang elektronik yang memanfaatkan ponsel sebagai servernya.
Semua perbankan tentu saja mendukung diberlakukannya sistem ini. Sebab melalui produk kartu-kartu tersebut termasuk uang elektronik, perbankan akan terbantu dalam hal penghimpunan dana dari masyarakat.
Dengan semakin banyak dan masyarakat yang menghimpun dananya di perbankan, hal tersebut akan menjadi penguatan bagi perbankan untuk meningkatkan layanan jasa keuangan, termasuk didalamnya berbagai varian produk kredit.
Bank Indonesia sebagai pusat sirkulasi merasakan manfaat berupa semakin minimnya biaya pengelolaan uang tunai. Sementara itu perbankan merasakan manfaat berupa bertambahnya uang yang dihimpun dari masyarakat. Sedangkan keuntungan yang dirasakan masyarakat adalah gaya hidup dan kepraktisan.
Sebagai sebuah bentuk inovasi menuju kemajuan, gerakan less cashtetapilah memiliki sisi keuntungka juga sisi kerugian. Sisi kerugian ini bisa jadi sangat minim dirasakan oleh bank sentral maupun oleh perbankan. Tetapi tidak demikian di sisi masyarakat. Dengan tidak memegang wujud uang tunai, maka uang semakin psicologicaly.
Dengan uang tidak berujud kasat baik berupa koin atau lembaran, rasa mahal dan murah menjadi sangat psikologis dan sangat relatif. Fenomena yang tak heran kita dapati adalah, enteng saja seseorang membelanjakan uang dalam jumlah besar dengan tanpa merasa kemahalan. Ukuran mahal atau murah menjadi seolah ambyar, sebab seseorang dalam bertransaksi tidak perlu merasakan sensasi melolor berlembar-lembar dari segepok uang tunai. Yang orang itu rasakan hanya sensasi menggesek kartu.
Untuk membeli makanan seharga 50 ribu rupiah, akan beda sensasinya antara mengeluarkan uang sejumlah 10 lembar pecahan lima ribuan dengan menggesek kartu meski nominalnya berkali-kali lipat lebih mahal.
Tentu saja relatifnya mahal dan murah masih dipengaruhi juga oleh taraf ekonomi seseorang. Tetapi keberadaan uang virtual memiliki rasa psikologis yang berbeda ketimbang era uang masih serba fisik. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh pengalaman pribadi masing-masing. Terutama oleh generasi yang masih mengalami era dimana uang masih bentuk fisik, belum ada uang virtual.
Begitulah, kita tidak bisa menolak gerakan less cash sebagai keniscayaan dari kemajuan. Tetapi kita tidak boleh menutup mata dari bermata duanya sebuah ‘pisau’ kemajuan. Mengandung fungsi juga mengandung risiko. Ketika uang menjadi semakin priscologicaly, sementara kita tidak terdidik untuk memiliki muhasabah akuntansi yang baik, yang ada adalah kita kedodoran pengeluaran.
Maka tak heran, kalau beberapa orang memilih tetap menjadi kuno dan kolot. Jangankan memegang uang elektronik, tabungan pun masih dihindari. Sebab dengan cara itu, ia merasa lebih bisa menjaga uang-uang yang ia miliki.
Uang yang sejatinya materi, dibuat sedemikian rupa menjadi begitupsicologicaly. Murah dan mahal menjadi terasa relatif karenanya. Semua itu bergantung pada kondisi emosional kita pada saat bertransaksi. Entah kebetulan atau sudah di-set up sedemikian rupa, bagaimana desain interior dan desain pemasaran disiapkan untuk menciptakan suasana psikologis yang kondusif untuk kita begitu nyaman bertransaksi. Perhatikan bagaimana iklan-iklan diciptakan dengan begitu memikat, juga desain interior mall-mall serta factory outlet begitu memanjakan kita untuk melupakan sejenak apa itu mahal dan murah.
Seberapa kita masih dapat berpijak para realitas. Mana kebutuhan dan mana keinginan? Serta mana keinginan yang positif dan mana syahwat atau keinginan yang negatif. [] Rizky Dwi Rahmawan