“Keadilan” terdapat pada sila pamungkas dari dasar negara kita, Pancasila. Belum sempurna harga mati bagi Pancasila kalau sila kelimanya belum terwujud. Keadilan yang dianut Pancasila bukanlah bagi seseorang atau sekelompok masyarakat, melainkan bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Kalau sebatang lilin mewakili satu kasus ketidakadilan di negeri ini, kira-kira berapa banyak jumlah lilin yang harus dinyalakan untuk menyuarakan ketidakadilan demi ketidakadilan itu? Kira-kira berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk melakukan aksi. Mulai dari aksi pencatatan dan pendataan dari seluruh ketidakadilan yang ada saat ini?
Lalu taruhlah misal setiap satu lilin mewakili sebuah ketidakadilan. Lalu kaliber-kaliber ketidakadilan dilambangkan dengan ukuran lilin-lilin yang berbeda-beda. Untuk ketidakadilan yang tingkatnya akut lilinnya besar, untuk ketidakadilan yang kadarnya ringan lilinnya kecil. Untuk ketidakadilan yang berdampak besar lilinnya tinggi, sedangkan untuk ketidakadilan yang dampaknya sempit lilinnya pendek. Kira-kira harus berapa tim ahli yang terlibat untuk melaksanakan semua itu?
Lalu ketidakadilan yang menjadi penyebab lahirnya ketidakadilan yang lainnya juga harus terwacanakan secara jelas. Maka dituntut simbolisasi lilin yang lebih rumit, lilin yang mewakili kasus ketidakadilan yang menjadi penyebab ketidakadilan yang lain harus dibuat berbeda dengan lilin yang mewakili kasus ketidakadilan yang hanya sebuah akibat dari kasus ketidakadilan lainnya. Kira-kira berapa lama waktu untuk merumuskan dan memaparkan metodologi agar aksi penyalaan lilin tersebut kemudian terlaksana?
Kita patut prihatin atas keadaan bangsa. Sudah lebih dari separuh umur Orde Baru panjangnya usia dari order yang kita sebut Orde Reformasi hari ini. Tapi bagaimana yang rakyat rasakan hari ini belumlah seperti yang diekspektasikan ketika Pak Harto beramai-ramai diminta untuk lengser keprabon 19 tahun yang lalu.
Bahkan ungkapan satir “Penak jamanku to?” malahan diamini secara lugu oleh banyak kalangan rakyat kita. Dengan segala keterbatasan wawasan mereka, order sesudah reformasi bergulir justru tidak lebih baik adanya. Membuat analisa pembedaan lilin saja sudah setengah mati. Apalagi ditambah dengan analisa perbandingan antar orde. Bisa pecah kepala kita.
Dari seabreg masalah yang melanda negeri ini, yang dengan rela atau terpaksa kita harus merasakan dampaknya, bingung bukan kepalang untuk menentukan skala prioritas perhatian atas masalah-masalah yang ada.
Ada baiknya skala prioritas utama perhatian kita adalah kepada masalah yang benar-benar ada dihadapan kita hari ini. Taruhlah misal masalah yang kita anggap paling dekat dengan kita hari ini adalah masalah radikalisme.
Radikalisme jangan hanya dimusuhi mentah-mentah sementara kita melewatkan mengilmuinya. Radikalisme menjadi musuh bersamabagi anak bangsa. Tapi betulkah radikalisme yang benar-benar menjadi musuh yang sebenarnya?
Orang memilih menjadi radikal atau moderat tentu punya alasan. Orang memilih kompromi atau apriori tentu punya latar belakang. Bagaimana kalau ternyata ketidakadilan yang muncul akibat masalah radikalisme ternyata bukanlah hulu dari masalah? Bagaimana jika radikalisme juga lahir dari ketidakadilan yang mendahuluinya: Ketidakadilan ekonomi.
Jika demikian adanya, berarti masih ada hulu di atas persoalan radikalisme, yakni permasalahan ekonomi dengan segenap sistem dan penerapannya. Lalu apakah ekonomi sudah merupakan hulu? Jangan-jangan masih ada lagi yang menjadi hulu dari permasalahan ekonomi.
Ekonomi yang dari hari ke hari semakin timpang tentu tidak terjadi begitu saja. Ada sabab musabab-nya.
Gelembung kecil radikalisme menetas di dalam gelembung ketimpangan ekonomi. Gelembung ketimpangan ekonomi pun masih berada di dalam gelembung yang lebih besar lagi yang harus kita atasi dan ilmui bersama. Hingga entah ada berapa lapis-lapis gelembung lagi dari masalah-masalah yang meliputi kita hari ini.[] Rizky Dwi Rahmawan