Tawakal Ayunan Cangkul

Uang banyak, mobil mewah, popularitas dan jabatan, adalah sesuatu yang amat sangat memukau hati semua orang. Ke arah itu fokus dan imajinasi umat manusia menuju. Tak ada pilihan lain yang dianggap sebagai cita-cita yang benar selain itu semua.

Maka, tempat dan jenis pekerjaan yang tak menjanjikan pencapaian itu akan ditinggalkan. Mendekat dan menghamba di pusat-pusat kekuasaan telah menguasai segenap minat dan kesadaran. Ke titik itu sujud sembahyang mengkiblat.

Pada sisi lain, di pojok sejarah yang sepi, beberapa orang masih menyetiai etos kerja keras. Bapak-bapak tua yang perkasa. Dalam sengatan matahari yang terik, ayunan cangkul mereka terus memesrai sisa petak sawah yang belum digusur kebrutalan kebijakan takhayul pembangunan.

Pembangun yang tak sedikipun memiliki sopan santun ekologis. Bertemu dengan para pekerja keras yang berani hidup dengan berpenghasilan tak seberapa ini, seluruh “ge-er” keagamaan dan takabur nasionalisme saya luluh lantak. Tak bisa saya bayangkan jenis tawakal seperti apa yang dimiliki mereka. Bekerja dari pagi dengan banjir keringat dan resiko kulit legam melepuh dijalani dengan tenang. Wajah yang sama sekali tak memancarkan rasa gusar kepada hari depan.

Pupuk mahal, ancaman hama dan harga jual hasil tani yang tak pasti, tak menyurutkan kegesitan ayunan-ayunan cangkul mereka. Orang-orang yang terjaga dari “bisikan-bisikan” subversif ingin berjaya, sukses dan dianggap lebih gagah dari orang lain.

Dalam pandangan modernitas, silahkan engkau menganggap meraka adalah orang-orang kalah, gagal bersaing, dan terpojok. Namun, ketangguhan hati dan tawakal yang mereka miliki adalah jenis kesuksesan dan kemenangan yang mungkin lebih bermakna di hadapan Tuhan.

Tampaknya seluruh pengetahuan keagaman yang berkutat pada ritus-ritus peribadatan harus dibenahi. Gegap gempita sok Pancasilais tapi sambil diam-diam ingin paling berkuasa adalah hama destruktif bagi eksistensi negara.

Orang-orang kecil para pentawakal kehidupanlah yang sesungguhnya merupakan ustadz-ustadz tempat belajar hakekat iman. Mereka jugalah penjaga nilai Pancasila meskipun tak pernah menjadi peserta diklat dan upacara-upacara berbiaya mahal.(Agus Sukoco)

Spirit DIY!

Pemandangan yang saya dapati sewaktu Saya berada dalam satu rombongan dengan Letto pada sebuah roadshow di Sulawesi Barat adalah all about keakraban. Yang nampak akrab bukan hanya antar musisi Letto, tetapi juga keluarga dan anak-anaknya. Setiap ngumpul sebelum manggung, kalau ada video call dari anak salah satu dari mereka, maka ramai semuanya menyapa. Senang tentu si anak, sebab om-nya banyak.

Sebagai komunitas, Mas Sabrang menyampaikan bahwa value ‘kebersamaan’ adalah yang paling tinggi dijunjung diantara mereka. Baru kemudian berikutnya karya, produktivitas dan seterusnya. Maka pantas, sejak 2004 mereka bersama-sama, tidak pernah ada ‘bongkar-pasang’ anggota.

Value adalah sebuah fundamental dari apa yang dimiliki oleh komunitas. Sedangkan, family holiday, buka puasa bersama, camping, touring, dll adalah ekspresinya. Ada fundamental komunitas, ada ekspresi komunitas. Berapa banyak dari kita yang berkumpul bersama tetapi hanya sibuk pada urusan ekspresi? Sebab tidak bisa mengurai dua itu, sehingga banyak orang memilih mengambil jalan pintas: Lebih mudah mengerjakan segala sesuatu sendiri, tambah ruwet doank kalau dikerjakan bareng-bareng. Ya iyalah, bagaimana tidak ruwet kalau hari-harinya disibukkan hanya untuk urusan ekspresi-ekspresi saja.

Nah, menghadapi situasi seperti hari-hari krisis pandemi ini, ada aktualisasi dari value komunitas yang saat ini mendapatkan challenge. Apa challenge-nya? Masih kata mas Sabrang, ketika ia mendifinisikan apa itu komunitas. Apa itu komunitas? Komunitas adalah ia yang mampu bertahan sendiri.

Ya, mencukupi apa-apa yang merupakan kebutuhan dari lingkaran terkecil sehari-hari kita pada masa-masa yang lalu tidaklah penting. Akan tetapi, siapa yang tahu tentang keadaan setengah tahun, setahun atau dua tahun mendatang? Perhitungan hari ini atas ketidakstabilan kondisi masyarakat yang kita alami memaksa kita juga harus berfikir tentang ancaman scarcity alias kelangkaan.

Sekarang banyak yang beternak ayam, kalau ingin ayam tinggal beli. Pemerintah selalu mengimpor gula dan garam dalam jumlah yang fantastis, sediaan di warung selalu ada. Sayuran? Kita tak perlu melihat wujudnya, ada banyak warung rames, makanan kita tahunya tinggal santap saja.

Keadaan di tahun-tahun belakangan ini seolah sudah sedemikian stabilnya, sampai semua orang shock dengan datangnya pandemi. Terlebih kaum milenial. Yakni generasi yang lahir hampir bersamaan bersama lahirnya dekade plastik. Sebelum memasuki dekade plastik, do it yourself (DIY!) masih membudaya di masyarakat. Kalau mau membuat pancuran, dibikin padasan dari tanah liat. Kalau mau alat menyiduk air dibikin siwur dari batok kelapa. Tali rafia belum lahir, kulit bambu disayat panjang dijadikan tali ketika membutuhkan.

Hari-hari ke depan ada baiknya kita mulai bersiap untuk menghidupkan lagi spirit DIY! itu. Efek minimal adalah membantu kita berhemat, apa yang bisa dibuat sendiri tidak perlu kita merogoh kocek membelinya. Efek yang lebih advanced adalah kita bisa membangun sirkulasi barang dan jasa di lingkaran kita sendiri. Maka sebagai komunitas, kita mempunyai bekal untuk terus bertahan karena memiliki banyak sumber daya sendiri. (Rizky D. Rahmawan) 

Naluri Kanak-Kanak, Naluri Saling Memaafkan

Mengenang masa kecil adalah rileksasi tersendiri. Semacam “pijat kejiwaan” untuk meregangkan saraf- saraf otak. Hidup yang kian tegang oleh beban-beban membutuhkan suasana istirahat khusus. Sejenak pulang ke masa kecil tampaknya bisa menjadi cara untuk mengistirahatkan diri.

Pergi ke sawah, bermain di sungai, dan bermain gobag sodor adalah kenangan yang terlanjur membekas di bawah sadar. Bagi yang mengalami masa kecil di era tahun 80-an, sawah dan sungai adalah tempat yang begitu digemari. Betapa anak-anak tak bisa dipisahkan dari tempat itu. Maka, kedudukan sawah dan sungai bagi saya telah menjadi “keramat sejarah” tersendiri.

Suasana sawah kerap membayang sampai usia saya sekarang. Bau lumpur dan daun-daun jagung serta aroma rerumputan, sering saya rindui. Setiap kali ketika tak sengaja melewati jalan yang melintasi sawah-sawah, aroma alam itu seperti menyeret saya jauh ke masa silam.

Mengingatkan kepada sejumlah wajah teman-teman kecil yang sekarang entah ada dimana. Pertemanan yang romantik. Sore bertengkar, pagi telah bersama lagi. Begitu seterusnya. Tak ada kelebatan dendam sama sekali.

Jikapun ada pertengkaran, ia hanya penegas kemesraan setelahnya. Kesalahpahaman tak memerlukan klarifikasi apapun. Karena masing-masing akan segera saling melupakan masalah penyebabnya. Kembali bermain bersama lebih menarik minat anak-anak dari pada mengingat- ingat persoalan.

Begitulah dunia anak. Sebuah dunia yang hanya berisi keinginan untuk saling bertemu dan bersama-sama. Anak-anak tak kuat menyendiri. Maka, nalurinya kuat sekali untuk saling memaafkan.

Beberapa kali saya sempat berjumpa dengan teman-teman masa kecil. Ada yang sudah jadi pejabat dan pengusaha, ada juga yang masih setia di desa menjadi petani. Tak mudah memulai kembali suasana masa silam pada perjumpaan saat ini.

Tetapi kerinduan itu masih saling memancar diantara kami. Meskipun ada semacam sopan santun tertentu karena urusan-urusan atribut sosial. (Agus Sukoco)

Lebih ‘Sekolah’ daripada Sekolah

Sewaktu akan kuliah, saya mendaftar di UGM. Diterima pilihan ke-2 waktu itu yakni Geografi. Saya jadi teringat, pelajaraan saat kecil pra-sekolah dari Ibu Saya adalah belajar Iqro. Dan dari bapak saya adalah semua yang ada di RPUL dan RPAL. Saya paling excited dengan globe, peta buta, bendera negara-negara. Geografi.

Apa yang terjadi dengan Pandemi? Para orang tua hari muda hari ini dipaksa untuk hand on pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Pak Toto Raharjo menyebutkan, sumber primer belajar yang selama ini diletakkan pada guru di sekolah, mau tidak mau hari ini harus digeser. Sumber primer belajar adalah orang tua.

Bagi para orang tua yang selama ini diam-diam ber-mindset sekolah adalah tempat penitipan anak di saat ia harus kerja dengan tidak terganggu, keadaan ini pastilah membuat kaget. Akan tetapi, bagi orang tua yang selama ini intensif menjadi fasilitator anak belajar di rumah, maka tinggal mengubah dosis peran saja. Supaya rumah hari ini lebih ‘sekolah’ daripada sekolah.

Bagi orang tua yang merasa bahwa belajar itu cukup sampai wisuda. Akan kewalahan mereka memutar kembali ‘diesel’ di otak. Akan tetapi, bagi mereka para orang tua pembelajar, keadaan hari ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi, supaya lebih banyak bisa memformulasi ekosistem belajar buat anak. Tak apalah kalau punya iming-iming supaya anak nanti bilang, “Wah, orang tua saya keren!”

Selain sumber primer belajar yang bergeser dari sekolah ke rumah, yang berubah berikutnya adalah zona bahan belajar. Selama ini episentrum belajar adalah diktat, buku paket, kisi-kisi ujian. Sampai dibela-belain les mahal tak apa sepulang sekolah. Ketika kerawanan kesehatan masih berlangsung mungkin beberapa tahun mendatang, masih nyamankah orang tua melepas anaknya berangkat les?

Tidak les tidak apa-apa, toh itu bukan yang terpenting. Kesadaran baru seharusnya muncul, belajar kisi-kisi ujian juga bukan yang terpenting. Yang lebih penting adalah memahami alam sekitar kita. memahami ekosistem sosial di tempat seorang anak bertempat tinggal. Memang, kita ini belajar meloncat kejauhan. Mempelajari dinosaurus, tetapi tidak mempelajari jangkrik di kebun belakang rumah. Menguasai teknik wawancara kerja, tetapi tidak mencoba-coba teknik mengolah singkong di belakang rumah jadi tepung mocaf yang banyak dicari orang.

Ini mungkin akan jadi pembangunan program entrepeneurship yang sesungguhnya. Yakni bukan motivasi cepat sukses, atau pelatihan tips dan trik jalan cepat menuju kaya raya, tetapi bagaimana setiap orang mempelajari potensi terdekat di sekitarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan ia tekuni, ia curahkan waktu dengan optimal. Sehingga daya saing pada obyek itu terbangun dibandingkan orang lain yang tempat tinggalnya lebih jauh. Ia kemudian bisa mengolahnya menjadi bahan produktif. Terus menerus perlahan menjadi konstan. Sehingga tidak perlu lagi mengintip-intip lowongan industri yang pabriknya, gudangnya jauh dari rumah tinggalnya.  (Rizky D. Rahmawan)

Kuota Stamina Batin

Hanya karena telah memiliki beras satu hingga dua kilogram untuk periapan makan sekeluarga sehari ke depan, Kang Karmin dan Mbok Kiyah merasa tenang. Sesederhana itu kebutuhan hidup saat itu.

Namun, Era itu telah berlalu. Saya pernah mengalami atmosfir jaman yang sedemikian bersahaja. Sebuah kenangan masa kecil yang kerap menjadi pemantik gugatan keruhanian saya ketika melihat keadaan masa kini.

Artinya, hari ini keadaan tak lagi sesederhana itu. Terlalu banyak sesuatu yang harus dipersiapkan untuk “apa” yang disebut masa depan. Bagi generasi Kang Karmin, masa depan hanya sebatas sekilo dua kilo beras untuk besok, bukan lusa, bukan minggu depan, bukan bulan depan apalagi tahun depan.

Kang Karmin dan generasinya memiliki beban sangat ringan. Tak pernah harus membayangkan dan mencemaskan lusa dan tahun depan. Lalu apakah Kang Parmin menjadi pemalas? Oh tidak.

Ia bekerja dari Shubuh hingga sore di sawah. Bahkan di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai petani, lelaki paruh baya ini selalu meluangkan waktu untuk membuat kerajinan dari bambu.

Kang Karmin bekerja bukan oleh dorongan kecemasan atas masa depannya. Ia giat bekerja karena jiwanya merdeka. Sementara hari ini, seluruh aktifitas manusia digerakan oleh imajinasi pemenuhan masa depan hinga tujuh turunan. Terlalu banyak yang harus dipenuhi, dan terlalu jauh ketakutan manusia dibentangkan hingga puluhan tahun ke depan.

Kang Karmin hanya berpikir beras untuk esok pagi, kita bepikir sangat banyak soal untuk puluhan tahun ke depan. Dampaknya adalah, Kang Karmin dan generasinya hidupnya sangat longgar dan jiwanya merdeka. Kang Karmin sangat banyak memiliki kuota stamina batin untuk memperagakan persaudaraan dalam kehidupan sosial.

Orang modern adalah kaum yang sudah kelelahan oleh imajinasi masa depannya. Jiwanya menyendiri di pojok kesibukan. Orang lain dipandang sebagai lawan dan saingan. Kuota untuk bercinta dengan sesama telah habis tersedot oleh teror berupa ilusi kebutuhan masa depan. (Agus Sukoco)

Tak Terlihat Adanya, tetapi Nyata

Virus ini sebelumnya barang asing. Namun, ia datang di sekitar kita dengan memberikan dampak yang  begitu nyata. Saya tidak ingin menutur dari berita, tidak juga membuat kajian akademis. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya saksikan. Kekhawatiran dan kemerosotan itu nyata sedang orang-orang hadapi hari ini.

Pada Mocopat Syafaat bulan lalu dimana Mbah Nun terlibat secara audio melalui Youtube Streaming, saya menangkap pesan Beliau bahwa bangsa ini mestinya bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan dan tidak melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Dan itu menyangkut manajemen tertatanya sebuah kepemimpinan yang harus mumpuni dari semua sisi.

Sudah begitu banyak kritik dilontarkan bagi pola pengelolaan yang dilakukan oleh pemimpin negeri ini. Saya pun tidak ingin menjangkau jauh ke sana. Seandainya di sana ada kesalahan tindakan yang tidak semestinya seperti yang disampaikan Mbah Nun, saya hanya ingin, di lingkup kepemimpinan saya, saya tidak ingin berbuat yang serupa.

Libur Sekolah sudah berlangsung sebulan lebih. Saya merasakan dampak psikologis pada anak-anak didik saya. Itulah wilayah kepemimpinan ‘kecil’ saya. Yang saya lakukan adalah terus-menerus memberikan informasi dan catatan untuk anak-anak didik saya supaya mereka tidak larut oleh keadaan.

Mereka saya temani untuk terus beraktivitas, meski menemaninya dari jarak jauh.  Saya berusaha agar mereka tetap beraktivitas layaknya di sekolah, betul-betul home learning berlangsung, tidak serta-merta glundang-glundung di rumah larut dalam kebosanan.

Ketika salah seorang dari mereka dengan nelangsa mengirim pesan berupa doa agar semoga wabah ini cepat mereda, dengan sigap sayapun mengamininya.

Begitulah peran yang bisa saya kerjakan semata supaya saya tidak menjadi orang yang sia-sia di masa pandemi ini. Saya juga selalu berusaha niteni dari apa yang saya dengar dari keadaan sekeliling lingkungan saya. Sembari membantu atas batas kemampuan saya yang mungkin tidak seberapa.

Diantaranya saya sempat bersama-sama para pemuda berbagi masker untuk warga. Sambil membagikan, sambil mendengarkan begitu beragam pendapat dari masyarakat merespons pandemi ini. Aksi saling bantu di tengah masyarakat sangat nyata terlihat di dalam bersama-sama menghadapi keadaan ini. Apalagi saya tinggal di desa. Masyarakat desa sangat menonjol tatkala apapun saja yang berkaitan dengan kemanusian. Mereka selalu sigap mengerjakannya bersama-sama.

Setidaknya dua pesan dari berseri-seri tulisan Mbah Nun di Caknun.com yang saya tangkap: Supaya kita selalu niteni dan saling terpaut satu sama lain di dalam menghadapi keadaan pandemi ini. Itu yang sedang saya terus amalkan hari ini-hari ini.

Memang Covid-19 ini tidak terlihat adanya. Akan tetapi, ia memberi dampak yang begitu nyata. Maka, kitapun harus menyikapinya dengan membuat aksi yang nyata pula. (Maulana Bayu I.)