Juara Knalpot

Suatu hari kami yang saat itu sedang nongkrong santai sambil ngopi, tiba- tiba dikagetkan oleh raungan suara knalpot motor yang sangat keras. Knalpot itu memang sengaja dimodifikasi sedemikian rupa oleh pemiliknya hingga suaranya memekakan telinga. Kami langsung terdiam sesaat.

Seorang teman terpantik membahas soal knalpot. Sudah bisa dipastikan obrolan pasti berangkat dari rasa mangkel. Tapi tak ada pilihan bagi kami selain mengarifi teror semacam itu. Kami sadar tak memiliki kuasa atas perilaku orang lain. Kami hanya berkuasa menghikmahinya.

Secara naluriah, setiap orang butuh berekspresi dan memerlukan pengakuan diri. Tentang caranya dalam memenuhi kebutuhannya itu, ini perkara lain. Seandainya pemilik knalpot “radikal” itu punya modal lain, saya yakin ia tak akan sesembrono itu.

Ada anak yang kebutuhan eksistensinya terpenuhi karena juara Fisika dan Matematika. Ada orang yang dengan bakat besarnya kemudian diidolakan publik sebagai juara-juara di ragam festival. Sementara anak dengan hobi menggeber-geber knalpot itu tak berdaya memenuhi kebutuhan jiwanya dengan cara yang lebih kita anggap sebagai adab sosial.

Maka, kemangkelan kami tiba-tiba redup. Suara knalpot itu tak lagi memancing rasa marah. Kami akhirnya bisa berdamai dengan perasaan kami sendiri. Setelah kami menyimpulkan bahwa anak dengan knalpot keras tersebut hanyalah manusia yang sedang naas nasibnya.

Semakin keras ia menggeber knalpotnya, semakin tegas kekalahanya dengan anak- anak yang telah menemukan caranya memertabatakan diri dengan prestasi-prestasi. (Agus Sukoco)

Trabas!

Sebuah perubahan yang terjadi akibat desakan keadaan itu lebih nampol ketimbang perubahan karena target atau keinginan tertentu. Sudah lebih 60 hari orang dipaksa untuk patuh pada tertib sosial yang baru, efeknya membuat banyak yang harus diubah pula di dalam diri dan keseharian banyak orang—tidak berlaku bagi mereka yang membandel atau karena tuntutan pekerjaan harus berkeseharian secara biasa-biasa saja.

Pada sekian tahun yang lalu, Mas Sabrang pada teman-teman di forum diskusi Martabat pernah men-challenge untuk masing-masing membuat sebuah perubahan pada diri meskipun kecil. Caranya sederhana, pilihlah satu kebiasaan baru dan kerjakan itu dengan sadar tanpa putus selama 21 hari.

Misalnya, kita yang terbiasa membuka gadget setiap bangun tidur tetapi ingin menciptakan kebiasaan baru membuka gadgetnya baru sesudah sarapan pagi. Kerjakan itu dengan sadar tanpa putus selama 21 hari. Contoh lainnya lagi, yakni yang di-“ijazahkan” Mas Sabrang pada saya adalah duduklah dengan punggung yang lebih tegap setiap berhadapan dengan orang. Pesannya, pembiasaan itu akan menciptakan sikap yang lebih percaya diri.

Nah, pertanyaannya adalah, Sudah dua bulan lebih masing-masing kita diberi waktu begitu leluasa oleh dicanangkannya status pandemi oleh dunia. Kebiasaan baru apa yang sudah kita bikin? Betapa ruginya kalau tidak ada kebiasaan positif baru yang dibentuk sedangkan Tuhan sudah memberi “ayat” melalui momentum ini. Bahwa momentum ini adalah trigger perubahan berkualitas tinggi. Yakni perubahan yang timbul karena desakan keadaan, bukan karena ingin saja, bukan pula karena angan-angan belaka.

Selain urusan tuntutan pekerjaan dan sikap membandel sehingga berkeseharian secara biasa-biasa saja, sebetulnya ada masalah lain lagi yang menjadi penyebab. Yakni karena seseorang gagal atau hanya rendah saja kadarnya dalam menghadirkan sence of crisis.

Kesadaran akan situasi atas krisis tidak melulu soal terciptanya kecemasan yang dimitoskan ia menggerus imunitas—padahal yang menggerus imunitas itu berita tentang sengkarut penanganan pandemi yang terjadi setiap hari. Akan tetapi, Sense of crisis melahirkan pantikan kewaspadaan ekstra, kejelian yang tidak biasa dan dinamika adrenalin yang berbeda.

Sebab kewaspadaan yang ekstra, seseorang menjadi lebih sungguh-sungguh berbenah menemukan apa-apa saja yang harus diperbaiki di dalam diri dan kehidupannya. Sebab kejelian yang tidak biasa, apa-apa yang saat situasi normal dulu disepelekan, saat ini nampak lebih berharga untuk ditempuh dikerjakan. Sebab dinamika adrenalin yang berbeda, pencapaian yang selama ini terhambat oleh sikap serba gamang dan gojak-gajek menjadi bisa ditrabas saja. Situasi sudah begini, kenapa pula kita harus terus mempertahankan ragu atas sesuatu?

Maka, amati lagi keadaan, buka jendela lebih lebar untuk memandang lebih luas tentang apa saja yang sedang terjadi di tahun ini. Dan kita ada di dalamnya, bukan? Hingga kemudian tersadarkan bahwa ternyata kita bukan sebatas sebagai penonton dari sebuah bencana. (Rizky D. Rahmawan)

Atmosfir Saling Tidak Percaya

Musyawarah. Istilah ini sering kita dengar dan ucapkan. Namun sebagai sebuah konsep solusi dalam mengurai masalah-masalah, musyawarah seperti telah menjadi masa silam. Tak lagi kita jumpai spirit musyawarah sebagai mekanisme komunikasi antar kelompok dalam hal penentuan keputusan bersama. Yang terjadi adalah “perang tanding”.

Mekanisme perang tanding adalah atraksi saling melumpuhkan pihak lain. Padahal jelas amanat para pendiri bangsa yang tertuang dalam sila keempat adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sebuah sistem yang mempeluangi prosedur pencarian titik temu dalam merespon berbagai kecenderungan yang ada dengan hasil kebijaksanaan.

Dalam Pilpres atau Pilkada misalnya, satu-satunya yang dianggap relevan adalah perang tanding. Kekuatan-kekuatan yang ada tidak memiliki gairah untuk meriung dalam sebuah majelis yang disemangati oleh usaha-usaha menemukan hikmah.

Masing-masing kelompok hanya bersiap pasang kuda-kuda. Kita memang telah berada pada ruang sosial yang diatmosfiri oleh rasa saling tidak percaya. Maka, satu-satunya yang dianggap sebagai kebenaran adalah melumpuhkan lawan.

Jika diibaratkan Lebah, kita memang sedang kehilangan ratu. Pemimpin atau sesepuh yang mampu “mempawangi” semua pihak. Kita hanya memiliki tokoh golongan dan pemuka gerombolan. Maka, tak mungkin musyawarah bisa dijalankan sebagai prosedur untuk mengambil keputusan.

Sejarah yang dikelola dengan spirit perang tanding hanya akan menghasilkan darah dan kelelahan yang tak berkesudahan. Yang ironik adalah, kita merasa sama-sama sedang menjalankan amanat kebangsaan dan keagamaan sambil terus mewariskan sejarah traumatik ini kepada anak cucu. (Agus Sukoco)

Insting, Inspirasi, skill transfer

Industri melahirkan simplicity. Apa-apa yang repot dikerjakan diubah menjadi simpel dengan dibuatkan tombol. Namun, Pertanian tidak bisa seperti itu. Menanam tanaman itu ya harus selalu repot. Setiap hari menyiram, dua atau tiga hari sekali mencabuti rumput dan dari waktu ke waktu memperhatikan kurva pertumbuhannya. Namun, ‘repot’ itu kan bahasa industri, bagi petani sejati mengerjakan semua kerepotan itu adalah kegembiraan. Mosok bergaul dengan alam tidak bergembira sih?

Modernitas menghadirkan pembangunan. Membangun itu banyak yang menyangka tidak sepaket dengan merawat. Oleh karenanya dari program tingkat nasional, daerah hingga tingkat RT sekalipun, cek saja berapa banyak benda mangkrak setelah selesai pembangunannya. Lain halnya dengan bercocok tanam, stressing pada merawat bahkan harus lebih kuat, ketimbang kegiatan menanamnya.

Sebuah pohon petai besar di pekarangan sebelah rumah tetangga saya tak tahu siapa yang menanamnya dahulu. Entah warisan dari kakek, buyut, canggah atau wareng, tetapi karena tetangga saya pandai merawatnya, tiap musim panen pohon itu menjadi jalan rezeki yang terus-menerus. Itulah hasil dari ketekunan menjaga dan merawat.

Kesuksesan adalah tentang tercapainya sebuah target hasil. Namun, di alam hijau tidaklah berlaku begitu. Target kita adalah target terhadap proses saja. Bagaimana seluruh proses sudah dikerjakan, selanjutnya urusan menumbuhkan itu wilayah ‘kolaborasi’ dengan malaikat-malaikat pertumbuhan yang sudah ditugasi Tuhan.

Kita ini anak-anak dari negeri maritim dan agraris sekaligus. Namun, berapa banyak dari kita yang lebih akrab dengan tombol ketimbang dengan dunia tanaman. Yang bergairah dengan pembangunan tetapi tak punya bakat berupa ketekunan merawat. Yang 5 cm di depan dahi kita terbentang target-target hasil, tak ada jarak untuk menyemai proses.

Semenjak SD barangkali, kita sudah diajak untuk industry minded. Kebun singkong di halaman belakang sekolah itu adalah insignificant object. Sarang laba-laba di plafon ruang kelas bukan obyek observasi, melainkan harus lekas ditangani dengan alat-alat kebersihan. Semua itu karena tidak ada hubungannya dengan jalur industri.

Hari-hari ini berbagai lini industri dilanda collaps, setingkat industri penerbangan yang begitu supernya saja tak luput dari kecemasan atas kebangkrutan. Mestinya para pembuat kurikulum terhenyak oleh kenyataan tersebut. Bahwa semengagumkan apapun itu makhluk bernama industri, tetap saja ia memiliki keterbatasan. Janganlah diandalkan habis-habisan untuk seluruh manusia diajak numpang hidup padanya.

Untuk kembali mengajak populasi merambah dunia agraris kembali, ternyata tak cukup dimulai dengan kursus menanam. Harus mundur beberapa langkah sebelum skill transfer pertanian, yakni menghidupkan insting-insting paling dasar untuk bertani.

Mengakrabi kerepotan, menikmati berproses dan ketekunan merawat adalah diantara insting yang harus dihidupkan. Kalau sudah hidup insting itu, baru merambah bertahap pada kegiatan yang memantik inspirasi. Itu loh, ada lahan secuil, bisa diolah untuk apa yah?

Proses meng-ide semacam itu jika dijual dalam paket kelas inspirasi bertani bisa ber-Rupiah mahal tuh. Padahal warga agraris jaman dulu sudah auto saja, setiap jengkal pekarangan bisa untuk tidak dibiarkan menganggur, selalu ada saja ide alamisasinya, walau sekedar dilempari tongkat tumbuh tanaman–singkong. (Rizky D. Rahmawan)

Berpapasan di Tengah Jalan

Di tengah asumsi kebanyakan orang tentang arti bahagia, selalu saja ada orang dengan keyakinan yang berbeda dalam memaknai kebahagiaan. Salah satu diantaranya adalah Ki Ageng Suryo Mentaram yakni seorang pangeran putra Sultan Hamengkubuwono VII. Keputusannya meninggalkan keraton dan meletakan gelar kebangsawanan adalah sebuah sikap yang ganjil jika ditilik dari kecenderungan banyak orang yang justru sedang memburunya.

Apa yang terbersit dalam pikiran beliau atas keputusan ekstrem itu. Apakah di setiap jaman memang selalu ada orang yang diloloskan Tuhan dari kecenderungan umum? Membaca sejarah Beliau, saya seperti sedang berpapasan di tengah jalan. Saya dan jutaan orang sedang menuju ke suatu arah, sementara beliau sedang menuju arah sebaliknya.

Padahal kita sedang mengejar sesuatu yang sama, yaitu bahagia. Perbedaan arah itu pasti akibat dari ketidaksamaan dalam memprasangkai kebahagiaan. Puluhan abad silam ada juga fenomena semacam itu. Sebutlah kisah Sidharta Gautama. Tokoh yang juga pergi dari kemewahan istana demi melepaskan diri dari penderitaan.

Pengetahuan dan keyakinan semacam ini tentu berbeda dari kebanyakan orang. Bukankah orang lain justru berpikir bahwa cara menyudahi penderitaan adalah dengan masuk ke istana?

Bahkan Nabi Muhammad SAW memilh menjadi jelata ketika Tuhan menawarinya menjadi raja yang berkuasa. Lebih dari itu, dalam sebuah hadits sahih disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berdoa, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin.”

Apa yang sedang terjadi dalam kebudayaan kita hari ini? Seluruh simbol-simbol hidup kita adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan sikap yang dipilih oleh para tokoh di atas.

Atau jangan-jangan fenomena dan peragaaan ideal tersebut hanya sebatas hiasan-hiasan di di dalam imaginasi keagamaan kita? Selebihnya kita selalu berusaha menghibur diri dengan kredo klasik, bahwa kita hanya orang awam yang boleh tidak sama seperti mereka. (Agus Sukoco)

Subsidi Harapan

Orang desa jaman dulu akrabnya dengan benih dan semaian. Dan orang modern jaman sekarang akrabnya dengan saldo dan credit remaining. Benih tanaman kalau disemai, lalu tumbuh berikutnya ada yang bisa dipanen dan ada yang bisa dijadikan benih lagi. Begitulah mendaur terus-menerus. Sedangkan saldo, tidak begitu. Semakin dipantengin, semakin berkurang terus saja dia.

Kalau sebuah keluarga mendapat taruhlah sepuluh kilo beras bantuan. Itu bernilai benih atau saldo? Jawabannya adalah saldo. Atas bantuan yang keluarga itu peroleh, kewajiban pertama adalah bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada perantara pemberi rezeki yakni si penyalur bantuan. Kewajiban berikutnya adalah untuk keluarga tersebut berhitung, atas bantuan yang telah diperoleh tersebut bisa ditanak menjadi nasi untuk berapa kali masak. Lalu, dalam setiap kali menyiapkannya untuk disantap harus banyak, sedang atau sedikit.

Maka setelah menempuh kewajiban tersebut, sebuah keluarga akan mempunyai konstruksi doa yang lebih presisi untuk dimunajatkan kepada Allah. “Ya, Allah, hari ke-10 nanti berikanlah rezekimu lagi supaya kami bisa terus menanak nasi dan bersantap makan”.

Setelah menengadahkan tangan, maka doa berupa langkah-langkah upaya menanti untuk segera dikerjakan. Sebab tidak mungkin seseorang hanya berpangku tangan menunggu edisi bantuan berikutnya. Mana tahu Allah menyiapkan rezeki berikutnya melalui jalur yang berbeda.

Manusia adalah makhluk berbadan, berpikiran, sekaligus ber-Ketuhanan. Memberi bantuan supaya saudara kita yang lain bisa makan bukanlah puncak dari segala-galanya. Hal itu tidak membuat masalah selesai seketika. Memang urusan makan untuk mereka beres, tetapi pengetahuan bahwa sisa untuk mengisi periuk ada batasnya akan habis lagi adalah sumber kecemasan tersendiri.

Manusia butuh disubsidi makannya. Lebih dari itu, manusia juga butuh disubsidi harapannya. Itulah mengapa anjuran solidaritas sosial dalam bentuk bantuan bahan pangan harus berjalan beriringan dengan bantuan penyiapan lumbung hidup berupa benih dan semaian untuk tanaman halaman.

Supaya sebuah keluarga tak terforsir cemas pada pikiran saldo beras dan minyak goreng, tetapi setidaknya ada pengalihan kecemasan menjadi harapan pada perhatiannya terhadap ketersediaan tanaman pangan di halaman. Karena dari waktu ke waktu, kalau dirawat dengan baik, tanaman-tanaman itu bisa terus menerus diremajakan keberadaannya.

Dalam situasi yang berat, apabila orang masih bisa memelihara harapan maka masalah-masalah lebih mungkin diatasi. Hal-hal memberdayakan lebih masuk akal untuk dikerjakan. Peluang perubahan menjadi lebih besar untuk terjadi.

Komunitas di berbagai daerah bahkan sudah mempersiapkan atisipasi kalau-kalau beras nanti menjadi langka. Jika masa itu beneran terjadi, entah tanaman porang, atau berbagai polo pendem alias umbi-umbian akan menjadi primadona. Secuil lahan dan skill alakadarnya untuk bisa menanam akan menjadi begitu berharga.  (Rizky D. Rahmawan)