Reportase: EKSTRIM TENGAH

Reportase Juguran Syafaat Februari 2016

Memulai Menuju Tengah

Berpindah tempat bukan menjadi halangan para penggiat Juguran Syafaat untuk tetap berproses. Kali ini Juguran Syafaat diselenggarakan di Pendopo Kecamatan Sokaraja, Banyumas. Sebuah pendopo yang lapang dengan arsitektur lama karena memang peninggalan bersejarah pada jaman kecamatan Sokaraja masih menjadi Kadipaten. Meski letaknya tidak dipusat kota, tapi tidak menyurutkan semangat penggiat untuk bekerja menyiapkan acara. Tepat pukul 16.00 WIB, para penggiat sudah berada di lokasi acara. Beberapa diantaranya sudah sibuk menyiapkan backdrop dan menyapu pendopo. Yang lainnya ikut mengurusi bagian logistik perlengkapan.

Menuju senja, lampu-lampu mulai dinyalakan. Sembari menunggu dimulainya acara, Ki Ageng Juguran, tim musik tetap Juguran Syafaat, berlatih sebentar dan cek sound system sekaligus. Sholawat-sholawat mulai mengisi suasana di Pendopo Sokaraja. Teh dan kopi tersedia untuk para personil Ki Ageng Juguran. Sembari cek sound dan menikmati kudapan seadanya.

Seusai Isya, beberapa sedulur sudah hadir memenuhi Pendopo. Beberapa masih saling asyik berdiskusi kanan kiri. Teh dan kopi tersedia gratis ada di meja ujung lorong Pendopo. Tepat pukul 21.00, Juguran Syafaat edisi ke 35 pun dimulai. Kukuh dan Karyanto mengambil peran sebagai pembuka acara. Sudah menjadi tradisi, sebelum acara utama dilanjutkan, mereka bertawassul panjang dan membaca Surat Al Quran secara tartil terpimpin. Kali ini surat yang dibacakan adalah surat Yunus ayat 1-20.

Kukuh memimpin Wirid Padhang Bulan yang kemudian dilanjutkan dengan sholawat-sholawat Kanjeng Sepuh dan diiringi apik secara akustik oleh Ki Ageng Juguran. Sedulur yang hadir nampak larut pada rangkaian sholawat ini. Apalagi sound system kali ini tampil prima dan sempurna.Setelah sholawat panjang, Kukuh membuka dengan menyapa sedulur yang sudah hadir. Tema Juguran Syafaat edisi kali ini mengambil tema “Ekstrim Tengah”. Kukuh menjelaskan sedikit sejarah tentang Pendopo Sokaraja yang dulunya merupakan Pendopo Kawedanan, yaitu wilayah yang terdiri dari beberapa kecamatan di Kabupaten Banyumas. Karyanto mencoba membuka diskusi dengan melontarkan fenomena sosial yang terjadi di daerahnya. Dimana hajatan yang awalnya menjadi ajang bergotong royong antar saudara dan warga, kini menjadi hilang makna. Malah menjadi sesuatu yang membebani bagi shohibul hajat. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menggunakan hajatan sebagai alat mencari uang.

Kukuh menyambungkan bahwa dalam Islam memang diatur bahwa setelah terjadi akad nikah hendaknya perlu diumumkan kabar gembira tersebut kepada kerabat terdekat. Hilmy membaurkannya dengan konsep kubu-kubu dalam pola berfikir kebanyakan kita. Ini yang dianggap orang lain sebagai ekstrim kanan maupun ektstrim kiri. Karyanto juga melihat fenomena seperti dalam tahlilan di desa-desa yang bertujuan baik tapi orang sekarang kehilangan makna akan tujuan tersebut. Sehingga merasa keberatan dengan penyelenggaraan tradisi tahlilan pada saat berkabung maupun punya hajat.

Imron, sedulur dari Burma Purbalingga, ikut menyumbangkan buah pikirannya tentang pendidikan yang terjadi saat ini. Dia yang masih berstatus sebagai pelajar SMA merasakan bahwa pendidikan saat ini bukan untuk mencapai tujuan sebenarnya yaitu mencerdaskan pikiran, justru malah berujung pada pembodohan. Hal ekstrim yang dilakukannya adalah memprotes setiap kebijakan sekolah yang tidak ia setujui. Maka kemudian cap bandel, nakal, mblunat pun menempel pada identitasnya. Sebuah tembang dari Ki Ageng Juguran, “Kehidupan Yang Hilang”, menjadi pelumas diskusi awal yang menarik.

Demas dari Banyumas Mengajar, ikut urun pikir dengan menceritakan aktifitasnya dibidang pendidikan dengan turut mengajak belajar anak-anak SD yang kurang mampu. Selain itu dia juga bergiat dibidang identifikasi budaya lokal. Pernah dia melakukan pendataan terhadap situs-situs bangunan lama dan dicurigai oleh aparat keamanan. Padahal yang dilakukan Demas adalah murni inventarisir bangunan budaya lokal. Sedangkan menurut pandang aparat merupakan kegiatan yang aneh bahkan cenderung ekstrim.

Nael dari Purbalingga menambahkan bahwa dalam khasanah Islam terdapat istilah umatan wasathan. Yang artinya adalah umat penengah.  Umatan wasathan ini melahirkan empat sikap bermasyarakat yaitu tawazud (ditengah-tengah), i’tidal (tegak lurus), tawazun (seimbang) dan tasamuh (toleran). Empat sikap ini menjadi pilihan utama umat islam saat ini sehingga kita bisa tetap berfikir seimbang, objektifitas terjaga dan tidak mudah terhasut.Penjelasan dari Nael tersebut mengkahiri diskusi sesi pertama malam hari ini. Kukuh menutup dengan bahwa aktifitas apapun yang terjadi pada fenomena sosial lingkungan kita harus kita cerdasi sehingga berujung pada objektifitas pikiran. Ki Ageng Juguran mempersembahkan satu nomor yang digarap oleh Sawung Jabo berjudul “Tuhan” divokali oleh Ujang.

Tengah Bukan Sebagai Identitas

Kusworo mengambil alih fungsi moderator pada diskusi sesi kedua. Dalam pembukanya, Kusworo menyampaikan bahwa Juguran Syafaat kali ini kedatangan tamu spesial dari Padhang mBulan Jombang, yaitu Lek Hammad yang merupakan adik bungsu dari Cak Nun. Selain itu Kusworo juga mengingatkan bahwa Maiyah kehilangan sahabat dekatnya yaitu Agung Waskito yang merupakan sutradara teater dari beberapa naskah Cak Nun yang meleganda seperti Lautan Jilbab. Teater ini merupakan bentuk dari perlawanan sosial atas kesulitan perempuan Indonesia dalam menggunakan jilbab untuk sehari-hari pada medio tahun 1980. Fikry ikut mengisi diskusi sesi kedua dengan penjelasan tentang refleksi peristiwa kenabian Muhammad dikaitkan dengan sudut pandang ilmu telekomunikasi modern. Dalam penjelasannya, Fikry menyebutkan bahwa Muhammad mampu membaca dan menterjemahkan kode coding yang diberikan Tuhan kepadanya. Ini adalah peristiwa yang sangat sulit dijangkau oleh manusia, sedangkan Muhammad adalah tetap manusia biasa pada saat itu. Terlihat betapa agungnya Nabi kita Muhammad SAW.

Kusworo menyambung bahwa apabila kita ingin mendapatkan informasi yang sejernih-jernihnya dari frekuensi yang tinggi maka konsekuensinya adalah punya power yang besar dan tidak ada obstacle (penghalang) diantara transmitter dan receiverPower yang besar itu bisa didapatkan dengan tirakat-tirakat, diskusi dan dialog pribadi perenungan dengan Tuhan. Titut Edi menyampaikan tentang kata ekstrim yang muncul dari sesuatu yang tidak lazim menurut akal pikiran.

Tepat pukul 24.00, sebuah tembang Bangbang Wetan dari Ki Ageng Juguran menyambut Lek Hammad dan Agus Sukoco untuk ikut berbicara di depan sedulur. Rizky mengantarkan diskusi dengan penghargaan terbesar kepada para penggiat Juguran Syafaat dari Purwokerto dan Purbalingga yang sudah berbuat sangat “ekstrim” sejak sebelum acara. Kalau dalam diskusi itu cenderung kiri seperti yang ada dalam kampus-kampus universitas maka dalam pengajian doa panjang mujahadah itu cenderung kanan. Dan forum seperti ini mencoba untuk bisa menengahi diantara keduanya. Rizky juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh lupa akan ibu kandung ilmu Maiyah, yaitu Padhang mBulan, Jombang yang usianya sudah 20 tahun lebih.

Agus Sukoco mengawali penjelasannya bahwa jika manusia ada pada posisi hitam maupun posisi putih, maka yang ditangah-tengah itu bukan abu-abu. Karena abu-abu itu sendiri adalah identitas. Maka yang ditengah adalah tidak berwarna. Kalaupun nantinya mau berwarnapun itu bukan dalam rangka beridentitas, tapi sebagai formula perjuangannya yang membutuhkan wujud konkrit menurut ukuran sosial budaya.

“Kalau Yahudi itu kalau ditampar pipi kanan dia tamparlah pipi kanannya. Kalau Nasrani, kalau engkau ditampar pipi kanan berikan pipi kirimu. Itu dua titik ekstrim. Satu harus membalas, yang satunya malah menyerahkan yang lainnya. Islam tidak. Kalau engkau ditampar pipimu, tamparlah pipinya dan balaslah, tapi lebih mulia engkau tidak membalasnya. Nah titik tengahnya kan di situ. Kita bukan yang tadi pertama, bukan yang kedua. Jadi tetap ada sikap yang konkrit tetapi dia menemukan ketepatan nilai didalamnya.”, sambung Agus.

Agus menambahkan seperti yang terjadi pada peristiwa ikhtiar dan tawakal, sehat dan sakit. Yang terjadi adalah seolah dua hal ini saling berlawanan dan bertabrakan. Padahal, ini adalah bentuk bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan jodohnya, bukan ditabrakan. Dalam perpektif sehat sakit, orang memerlukan kondisi sakit agar bisa merasakan nikmatnya sehat. Yang perlu kita pelajari agar tidak gampang sakit adalah bagaimana bisa menikmati rasa sehat pada saat tubuh kita sehat bugar. Kusworo menambahkan bahwa Islam hadir untuk menemukan titik tengah dari sesuatu yang kelihatannya kontradiktif tapi sesungguhnya ia bersifat dialektis.

Lek Hammad memberikan perspektif bahwa saat ini ada dua macam ekstrim, yaitu radikalis dan melankolis. Jika radikalis itu seperti orang yang tidak punya pekerjaan tapi berani melamar anak orang, sedangkan jika melankolis itu orang yang sudah tidak punya pekerjaan tapi kerjanya hanya pasrah saja sama Tuhan, tanpa berbuat apapun.

“Apakah yang namanya tengah meti B setelah A sama C? Apakah yang namanya tengah itu adalah C sebelum B sama D? Kalau tengahnya masih memiliki wujud berarti dia masih gampang untuk dijepit, ditindas, diijak-injah, dibuang karena dia memiliki wujud jadi harus lebih ditingkatkan artinya tidak memiliki wujud. Memang Allah kan sudah mendasari wa kadzaalika ja’alnaakum ummatawasatan litakuunuu syuhadaa’a ‘alan-naas. Sebaik-baik umat adalah yang ada dipertengahan cuman di tengah-tengah itu yang mana?”, sambung Lek Hammad.

Lek Hammad menambahkan bahwa modal yang diberikan oleh Allah dalam menyikapi ekstrim kanan ekstrim kiri itu hanyalah sikap ‘cintailah semuanya itu sebagaimana Kanjeng Nabi mencintai semua jenis watak umatnya’. Lek Hammad juga menyampaikan bahwa sebagai khalifah kita juga mengajak instrumen dunia lain ikut bekerja mengabdi kepada Allah. Contohnya dalam penyelenggaraan acara Juguran Syafaat, pelan-pelan kita belajar mengajak bersholawat untuk Kanjeng Nabi kepada keyboard, kamera, sound system dan lain sebagainya yang merupakan instrumen pembantu acara ini.

“Yang namanya umat Nabi yo kudu iso bondo ilmu yo bondo nglakoniNek bondo ilmu tok tetep pedot karena kata Allah suatu kebenaran jangan diurai dengan cinta tapi urailah dengan ilmu. Ketika kamu menemukan kebenaran maka jagalah dan rawatlah dengan cinta. Nah sholawat itu kan bentuk cinta dan ketika kita bersholawat kepada Kanjeng Nabi habis, uang seberapapun tidak ada nikmatnya kalau kita sudah menemukan cintanya Nabi dan Nabi mencintai kita.”, urai Lek Hammad.

Lek Hammad memberikan semangat kepada sedulur yang hadir bahwa Juguran Syafaat yang sudah 35 edisi ini mungkin tidak dianggap oleh orang lain bukan dilihat sebagai masalah besar. Tujuan sederhananya adalah bagaimana acara kita ini bisa pantas dilihat oleh Kanjeng Nabi dengan modal sholawatan bersama-sama.

“Nah salah satu jalan kita menuju cahaya adalah yang paling gampang numpak sholawat . Numpak sholawat iku paling gampang sinaune, paling gampang munine, paling gampang dan tidak butuh sekolah, tidak butuh kuliah. Pokoke melu walaupun tidak hafal, pokoke melu. Atine melu muni iku wis podo latian. Sambil pelan-pelan juga tetep ditata hatinya bahwa saya bersholawat bukan karena saya diajak, saya bersholawat bukan karena saya diminta, tapi karena betul ini hati saya ingin ketemu dengan cintanya Rasulullah dan betul-betul Rasulullah mencintai kita.”, pungkas Lek Hammad.

Rizky sedikit menjelaskan bahwa yang terjadi saat ini adalah ketika terdapat 2 hal yang berlawanan sebagai contoh ada A dan B. Jika pada diri kita tidak setuju dengan A maka orang lain selalu menganggap bahwa kita mendukung B. Begitu juga sebaliknya.

Intensitas Diskusi Yang Padat

Diskusi semakin menghangat. Sedulur yang hadir banyak yang ikut urun pikiran. Seperti saling berbagi ide dan pikiran liarnya. Semua ikhlas mendengarkan pendapat orang lain tanpa sibuk ingin mengakhiri. Hampir disetiap penyelenggaraan Juguran Syafaat banyak perespon yang turut serta mengeluarkan pikiran segarnya. Ketangguhan dan ketahanan sedulur yang hadir akan diskusi yang kadang enteng kadang berat menjadi kenikmatan tersendiri.

Azmy Alatas dari Purwokerto pun ikut urun perspektif. Dalam pendapatnya, titik tengah itu adalah bentuk hakiki dari kebenaran yang bahkan tercipta jauh sebelum ada kontradiktif antara kanan dan kiri. Namun apabila terdapat hal yang wajib dibela disalah satu kubu, agar tidak terjadi kedzaliman atau atas dasar keadilan, kita wajib untuk memilih prinsip salah satu sisi itu. Azmy menambahkan bahwa titik tengah itu adalah sesuatu yang lahir dari konsekuensi dua hal yang bertentangan atau bisa jadi bahkan terlepas dari dua hal yang bertentangan itu tadi.

Sebuah pendapat apik dari Arif Wahyudi mengatakan bahwa jangan-jangan kita memilih tengah memang karena kita tidak bisa fokus pada salah satu nilai. Kalau dulu para pejuang mungkin secara radikal bilang merdeka atau mati, merdeka berarti mereka berjuang, mati berarti mereka mati ketika memperjuangkan kemerdekaan.“Jangan-jangan itu yang membuat karakter bangsa kita berpikir lebih sering berpikir tengah. Dan itu yang membentuk karakter bangsa kita mempunyai karakter ganda, satu sisi kita memang ingin berdaulat tapi pada satu sisi yang lain kita dijajah pun kita ya oke-oke sajalah. Ngga masalah. Kadang-kadang kita ikut Maiyahan,tapi ya kadang-kadang gaplean. Jangan-jangan seperti itu.”, tukas Arif.

Fikry merespon pendapat Arif dengan menjelaskan bahwa segala peristiwa kehidupan seperti siang-malam adalah produk Tuhan yang bisa digunakan manusia untuk menemukan siapa yang menciptakan. Ini menjelaskan bahwa sebuah produk kehidupan digunakan untuk menemukan hakekat yang lebih tinggi.Titut Edi turut merspon bahwa hal-hal ekstrim yang terjadi di kehidupan kita sehari-hari contohnya adalah kehidupan yang dikuasai oleh teknologi informasi seperti telepon genggam. Betapa banyak sekali orang yang sibuk tidak sempat silaturahmi karena merasa sudah terwakili kabar dari pesan telepon genggam. Sebuah nomor dari Ki Ageng Juguran menyelingi sesi diskusi kali ini, nomor “Allahu Rabbi” yang dipopulerkan oleh Kiai Kanjeng dengan vokal Alm. Zainul.

Agus Sukoco memudahkan struktur berfikir diskusi tadi dengan menganalogikan kalau ada rumah tinggal terdapat 20 anak TK dan 2 orang dewasa, maka ada dua jenis kedewasaan di dalam rumah tersebut. Satu orang yang dewasa ini memang berada disituasi dan kondisi serta kualitas yang berbeda dengan anak-anak TK tadi. Anak TK tadi masih nangis kalau tidak ada jajan, masih ngompol disembarang tempat, masih bertengkar satu sama lain. Orang yang sudah dewasa pertama masih menyalah-nyalahkan anak TK tadi karena masih nangis atau ngompol sembarangan. Sedangkan orang dewasa kedua paham betul bahwa dia menghadapi anak TK sehingga dia mengerti persis bahwa dia bertugas mengawal proses anak TK menjadi lebih dewasa.

“Nah dalam kondisi masyarakat seperti itu ada fundamentalisme, ada liberalisme. Memang liberalisme sudah tidak kaku seperti fundamentalisme. Fundamentalisme seperti itu, liberalis tidak. Tetapi kita juga bukan liberalisme atau dewasa yang satu tadi, kita ngerti persis bahwa kita temani untuk menuju kedewasaan, kita tidak berada dititik tadi. Jadi Maiyah adalah menemani, mengawal, mengasuh, maka ada Maiyah kepengasuhan. Jadi kalau disamping saya ada anak ngompol di sembarang tempat, ada anak nangis di sembarang tempat, ada anak nangis tidak dapat jajan itu saya memakluminya. Karena saya mengerti bahwa dia belum dewasa. Nah posisi-posisi seperti itu sering kita terpancing kadang jadi anak-anak atau malah jadi dewasa tapi tidak paham kondisi anak-anak atau kadang kita menjadi anak-anak yang jauh dari kedewasaan. Kita posisi ada pada kepengasuhan.”, ujar Agus Sukoco.

Menanggapi Lek Hammad, Agus menuturkan bahwa Allah menciptakan jarak supaya Allah bercinta dengan makhluknya, maka jembatan cinta itu disebut kehendak. Kita dititipi kehendak oleh Tuhan tapi kita sudah tahu persis kehendak kita tidak bisa memproduksi apa-apa. Sekuat-kuatnya kita menghendaki sesuatu kalau Allah tidak menghendaki maka tidak akan jadi.

“Misalnya ketika saya jalan sama orang yang sangat saya cintai. Orang yang sangat saya cintai ini kepenginnya makan bakso, sementara saya kepenginnya makan soto. Maka orang yang sangat-sangat saya cintai dan yang punya uang dia, posisi saya hanya nurut. Syukur nanti juga dia ntraktir saya soto tapi kalau dia menghendaki bakso saya akan tetap nuruti. Saya bahagia kalau dia beli soto sesuai dengan yang saya inginkan tapi seandainya dia tetap belinya bakso saya juga tetap bahagia karena kebahagiaan saya sudah tidak terletak pada soto atau bakso tapi terjadinya kehendaknya. Jadi semua yang saya alami, saya lihat sekarang adalah terjadinya kehendak Tuhan. Sehingga yang nikmati, saya berusaha untuk menikmati bahwa kehendak Tuhan itu terjadi sebagaimana kekasih saya tadi meskipun saya tidak punya soto tapi kalau dia kehendaknya terjadi makan bakso meskipun saya tidak suka bakso, tapi saya seneng karena melihat dia makan bakso.”, sambung Agus.

Agus Sukoco juga menjelaskan bahwa didalam dunia ini manusia digolongkan menjadi dua, yaitu abdullah dan khalifah. Jika abdullah itu derajat kita sama dengan dengan jin sesuai pada ayat di Al Quran. Ibarat warga negara, maka abdullah adalah siapa saja yang memiliki KTP warga negara. Sedangkan khalifah adalah siapa saja yang mampunyai SK dan bekerja untuk negara. Maka tanggungjawab tugas masing-masing individu menjadi berbeda. Agus menuturkan cara tercepat agar kita naik mendapatkan SK khalifah adalah dengan menikah. Proses pernikahan adalah bentuk menaikkan tanggung jawab kebaikan kita untuk anak dan pasangan hidup kita. Orang yang mempunyai tanggung jawab kekhalifahan wajib untuk berbuat baik kepada yang ditanggungnya.

“Jadi banyak orang yang heroik tapi tidak jelas.Bagi saya asal tepat berpikirnya sudah nanti kita akan pas diperankan. Musa juga tidak minta diperankan kok. Bahkan Musa mungkin ngeluh ‘ndadakan nyong diperankan kaya kiye’, apa tidak dilema Musa wong Dia melawan ayah angkatnya sendiri? Saya kira Musa tidak punya niat pribadi, Dia hanya disuruh Tuhan. Nah bagaimana mekanisme Allah menyuruh, itu yang kita pelajari terus kapan kita disuruh, itu yang harus kita cari maka kita bermaiyah.”, tambah Agus Sukoco.

Lek Hammad menanggapi pendapat-pendapat sebelumnya. Dalam penjelasannya, Lek Hammad menuturkan bahwa ada 3 macam kesadaran yang harus kita pegang. Yaitu menerima, emcari dan mengelola. Dalam kesadaran menerima, kita tidak perlu mencari tahu dan mempertimbangkan hal-hal yang sudah pasti seperti kenapa kita lelaki atau perempuan. Dalam kesadaran mencari, kita wajib untuk mencari Tuhan. Jauh sebelum menjadi abdullah, yang kita pelajari adalah berproses menjadi manusia seutuhnya itu dulu. Bahkan Sabrang sendiri menjalani proses pencarian Tuhan dengan mengkosongkan hidupnya dan atheis hampir 1 tahun lamanya. Sebuah bentuk keseriusan dalam pencarian ketuhanan. Jika sudah sampai proses ini maka selanjutnya adalah mengelola. Proses pengelolaan ini adalah bentuk kekhalifahan yang digunakan untuk manfaat bagi semesta alam.

Lek Hammad juga menambahkan bahwa yang disebut tengah itu bukan sebuah pilihan tempat. Tengah itu bukan kemudian di sebelah sini ada kiri, kanan, atas, bawah. “Tengah adalah suatu sikap dimana di situ dimanapun di tengah di kiri di pinggir di atas kita bisa bersikap adil, kita bersikap bijak, kita bisa bersikap jernih di dalam melihat sesuatu, memandang sesuatu, menangkap sesuatu dan memberikan sesuatu kepada apapun kepada siapapun, itulah yang namanya tengah dan itu tidak bisa kita lakukan kalau kita mengikuti arus mereka, kita harus bikin arus gelombang sendiri untuk melawan itu semuanya.”, jelas Lek Hammad.

Sebuah nomor khusyuk dan syahdu dari Ki Ageng Juguran, Hasbunalloh menyela diantar diskusi yang cukup berat. Ki Ageng Juguran mulai saat ini mengambil konsep bersholawat secara jamaah, sehingga tampak didepan beberapa penggiat ikut melantunkan sholawat bersama-sama. Sehingga tidak ada konsep penonton atau penampil, karena semua khusyuk bersholawat bersama.

Tengah Kualitatif

Rizky turut merespon dengan bercerita tentang Agus Salim dalam film Tjokroaminoto. Bahwa Agus Salim ketika menentang gagasan Semaun dalam praktek pembebasan tanah rakyat dengan mengusulkan gagasan pendidikan untuk rakyat adalah bentuk upaya ditengah dari prinsip pemberontakan keras dan prinsip mau bekerja sama dengan penjajah.

Akbar, sedulur dari Purwokerto menanyakan bagaimana yang harus dilakukan agar kehendak kita bisa sesuai dengan kehandaknya. Togar dari Purwokerto, merespon dengan pertanyaan contoh nyata dari ekstrim tengah itu seperti apa. Seseorang yang tidak mau menyebutkan namanya ikut urun respon, bahwa karakter masyarakat Banyumas yang sebenarnya memiliki kesadaran tidak mengedepankan ego dirinya sendiri, dibuktikan dengan kata “inyong”, yang berarti “ingsun ong” atau saya kosong.

Agus merespon pertanyaan Akbar bahwa yang kita terus lakukan adalah bentuk “mudah-mudahan”. Selain itu kita sendiri yang terus mengukur diri kita sendiri, seberapa besar tanggung jawab ita terhadap sosial yang menjadikan kita dipergunakan Tuhan atau dikehendaki Tuhan untuk digerakkan segala tindak tanduknya. Menanggapi Lek Hammad, Agus membenarkan bahwa sikap ditengah adalah upaya kualitataif bukan kuantitatif, sehingga bukan berada pada ukuran ruang, tapi pada sikap dan nilai hidup. Rizky meminta Lek Hammad untuk sedikit menceritakan Cak Nun dan nDalem Kasepuhan Menturo yang merupakan tempat forum Padhang mBulan yang berfungsi ibu sumur ilmu Maiyah.

Lek Hammad merespon bahwa Cak Nun adalah orang yang sangat menghoramati ibunya. Apapun kehendak ibunya sudah pasti diiyakan oleh Cak Nun. Jika Ibu sudah meresteui perjuangan Cak Nun, maka sesulit apapun bisa terlewati. Pesan dari Cak Nun adalah beliau selalu menekankan cintailah selalu Ibumu, hormatilah dan jangan sekali-kali mencoba untuk mambantah apalagi melawan. Kalau perlu setiap ketemu menangislah, menangislah dan jangan mengeluh apa-apa. Agus merepson bahwa kedatangan Lek Hammad ke Juguran Syafaat menambah takdzimnya kepada keluarga sepuh Menturo. Karena dalam kondisi sekarang ini, keluarga Cak Nun sangat kuat menjalankan “puasa” hidupnya untuk tidak sembarangan menerima kebaikan orang lain yang sebenarnya mungkin dibalik itu adalah bentuk modus. Rizky menggaris bawahi akhir diskusi tadi dengan pernyataan bahwasanya kita bukan sedang ribut mencari pengakuan kita itu tengah, kiri, kanan, atau apapun posisinya. Tapi kalau kita itu memang tengah, betulkah kita memiliki satu prinsip yang dipegang teguh bukan sekedar ngaku tengah-tengah. Prinsip itu terlihat dari kepada siapa kita berguru dan dari mana sumur ilmu kita.

Gus Lutfi, salah satu penderek Lek Hammad dari Jombang, ikut urun pandangan bahwa ada tiga macam kebenaran yaitu Haq, Haquul Haq dan AL Haq. Yang artinya benar menurut kita sendiri, benar menurut orang banyak, dan benar yang sejati. Yang terus menerus harus kita dan maiyah cari adalah al Haq tersebut, yaitu benar yang sejati. Gus Lutfi memimpin sholawat bersama dengan suaranya yang sangat merdu. Tidak sedikit sedulur yang ikut meneteskan air mata tanda rindu kepada Kanjeng Nabi. Suasana sangat khusyuk dan nikmat. Doa terakhir dipandu oleh Lek Hammad. Tepat pukul 03.35, Juguran Syafaat edisi Februari 2016 berakhir bersamaan dengan salaman melingkar. Sedulur yang hadir marem rasanya, mendapatkan banyak sekali pemahaman baru dari gelombang frekuensi, keadilan, hingga kehendak Tuhan. Esok hari menjadi awal kembali, pemantapan hidup atas apa yang sudah mereka dapatkan semalaman bersama Juguran Syafaat. [] RedJS

Verbatim : Hirdan Ikhya

Editing : Hilmy Nugraha

Fotografi : Anggi Sholih

Mukadimah: EKSTRIM TENGAH

MUQADIMAH JUGURAN SYAFAAT FEBRUARI 2016

Orang-orang yang dalam mengerjakan sesuatunya terlalu banget-banget biasanya dijuluki fundamentalis. Sedangkan orang-orang yang dalam mengerjakan sesuatunya terlalu sekepenake dhewek, mereka dicap sebagai liberalis. Diantara orang yang menyadari bahwa dari masa ke masa, segala sesuatu yang bisa dikutub-kutubkan akan mudah dibenturkan satu sama lain, fundamentalis-liberalis, kapitalis-sosialis, kultus-demokratis, ekstrim kanan-ekstrim kiri, meraka akan memilih berada ditengah saja.

Menjadi yang ditengah-tengah adalah pilihan yang lebih aman. Meskipun sebenarnya menjadi yang ditengah-tengah tidaklah benar-benar aman. Tidak aman dari resiko eksternal, sebab kita tidak mengerjakan sesuatu secara banget-banget, maka bagi kaum kanan kita dituduh indikatif kekiri-kirian. Sementara sebab kita tidak mengerjakan sesuatu secara benar-benar sekepanake dhewek, bagi kelompok kiri kita diprasangkai kekanan-kananan. Tuduhan yang tak pernah berujung, sebab kecenderungan manusia selalu mengukur segala sesuatu dengan alat ukur yang ada dibenaknya sendiri saja.

Menjadi yang ditengah-tengah juga memiliki resiko internal : bermental ‘lumayan’. Lumayan adalah mental moderat yang berangkat dari sikap batin yang minggrang-minggring akibat tidak memiliki gambar besar atas lokasi tengah-tengah seperti apa yang sebetulnya ia pilih untuk dijadikan prinsip. Tidak serta-merta kita bisa berbangga ketika sudah berhasil memilih untuk tidak menjadi ekstrimis kanan maupun ekstrimis kiri. Kalau kita tidak memegang ‘tengah’ secara ekstrim, hanya sebatas lumayan tidak terlalu ke kanan dan lumayan tidak terlalu ke kiri, kita hanya menjadi umat penengah yang terpinggirkan.[] RedJS