Malu pada Diri Sendiri

Ramadan bulan yang suci, bulan yang terhormat. Banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk memberikan penghormatan pada datangnya bulan Ramadhan. Sarung dan baju koko sesekali dikenakan. Al Qur’an menjadi lebih sering dijamah dan direngkuh. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.

Akan tetapi, memasuki bulan suci, ternyata ada juga pemandangan yang tidak mengenakkan. Yakni, pemandangan di Facebook, Twitter, BBM dan media sosial lainnya yang dipenuhi oleh orang-orang yang mengobral nasehat. Ada yang ndalil-ndalil, ada yang meng­-copy paste dari Mbah Google, bahkan hingga ada yang mengkafir-kafirkan dan menjelek-jelekkan amalan orang yang tidak sama dengannya.

Bukan berarti memberi nasehat itu jelek. Akan tetapi apa iya nasehat harus diobral seperti itu? Padahal belum tentu yang membaca dan menerima nasehat itu adalah orang yang butuh. Apakah memang ini sudah menjadi zamannya orang-orang berperilaku seperti itu. Apakah karena banyak orang tidak paham, tetapi berlagak sok paham. Ah, entahlah. Mungkin saya saja yang sensi.

Kalau saya pribadi jujur malu ketika saya harus menasehati orang tentang pahala dan dosa. Ngomong tentang amalan dan ilmu agama. Karena diri saya sendiri sangat tahu persis siapa dan bagaimana sesungguhnya diri saya ini. Jangan-jangan orang yang saya nasehati adalah orang yang lebih baik dari diri saya. Betapa malunya saya kalau seperti itu yang terjadi.

Jangankan menasehati orang lain, bahkan sekedar menasehati kelakuan keponakan saya sendiri saja, saya takut kecele. Dan betul kejadian itu terjadi tempo hari, ketika keponakan saya baru mengalami kecelakaan, spontan keluar dari mulut saya nasehat, “Le, kalau naik sepeda motor mbok ya nggak usah ngebut, pelan-pelan saja toh nanti sama-sama akan sampai juga, kan?”. Weelah.. Tak menyangka keponakan saya sontak menjawab “Lha, Pak Lik dulu saja pernah mengalami yang lebih parah dari ini kan?”.

Susah memang kalau punya belang buruk di masa lalu. Tetapi, saya maknai saja ini sebagai pedal rem bagi saya. Agar saya tidak gemagus, sok gagah, sok pinter bahkan sok alim dalam memberi nasehat kepada orang lain. Mungkin kalau saya tidak punya belang buruk di masa lalu, di akun media sosial saya, saya sudah melebihi ustadz yang paling alim di negeri ini. [] Hermanto

Reportase: Peradaban Bunuh Diri

“Juguran” adalah kata dalam Bahasa Banyumas yang memiliki arti umum yakni forum pertemuan. Ciri sebuah forum pertemuan dapat disebut sebagai Juguan menurut seniman kawakan Banyumas Bpk Titut Edy haruslah memenuhi minimal tiga unsur : Dilakukan di luar rumah sehingga relaks oleh sepoi angin, adanya penyambungan hati satu sama lain serta adanya kebahagiaan.

Sayangnya kita tidak akrab dengan formula pertemuan ala budaya kita sendiri, kita akrabnya hanya dengan seminar, lokakarya, diskusi panel, FGD dan format-format pertemuan impor lainnya. Maka tak heran orang yang terpaksa harus terlibat dalam format-format pertemuan itu tidak menyerap materi secara maksimal, pulang tidak mendapatkan apa-apa, harus menahan kantuk setengah mati, bunuh diri hingga mati gaya.

Produk budaya, salah satunya juguran adalah hasil riset atau ijtihad nenek moyang kita yang lebih terjamin kompatibilitasnya untuk kita. Ketika kita terjebak budaya ikut-ikutan Barat, mabok Timur Tengah sebagai peradaban kita berpotensi bunuh diri dan mati atau minimal potensialitas kebesaran kita menjadi tereduksi.

Televisi kita adopsi habis-habisan, politik etis kita lestarikan walau ganti nama jadi CSR, kapan kita akan memulai memakai formula kita sendiri. Kalau tak jua dimulai, mungkinkah generasi kita menghasilkan produk yang bisa diwariskan? Kalau tidak ada produk yang bisa diwariskan, pantaskah generasi kita ini disebut peradaban? . [] RedJS