Mari Mentadabburi Daur Mbah Nun

Beragam respons masuk ke email redaktur maiyah setelah tayangnya tajuk Mensyukuri Dauriyah Daur 01-309. Kesemua respons itu mengenai pengalaman mengikuti tulisan Daur, lalu apa yang diperoleh dari Daur, dan bentuk padatan hikmah atau semacam quoteyang ditemukan di dalam tulisan-tulisan Daur, atau tadabbur dari apa yang diperoleh dari Daur. Kesemua itu dalam rangka mensyukuri putaran Daur 01 – 309 yang membersamai Jannatul Maiyah selama 309 hari di tahun 2016 ini.

Atas respons-respons yang dikirimkan Jannatul Maiyah, kita semua layak bersyukur. Dan rasa syukur itu diwujudkan akan ditayangkan respons dan tadabbur itu dalam sebuah rubrik baru di CAKNUN.COM bernama “Tadabbur Daur”.

Selain respons yang masuk, upaya Tadabbur Daur juga dilakukan teman-teman penggiat simpul yang diinisiatifi oleh simpul Suluk Pesisiran Pekalongan melalui websitenya sulukpesisiran.com dan segera disusul oleh para penggiat Bangbang Wetan Surabaya. Juga teman-teman simpul Gambang Syafaat Semarang yang membentuk kelompok kecil untuk Sinau Daur.

Pada tajuk Mensyukuri Dauriyah Daur 01-309 itu telah disampaikan bahwa tulisan dalam Daur tidak berupa daging mangga yang sudah dipetik, dikupas, diiris, dan disajikan di piring untuk siap makan. Namun ia merupakan biji (pelok) mangga yang harus ditanam, dirawat, tumbuh hingga berbuah nantinya. Dengan prinsip pelok ini, pijakannya adalah Jannatul Maiyah diajak untuk berproses. Proses dengan tahapan yang berbeda-beda pada setiap insan dan bisa jadi akan sangat panjang proses itu.

Salah satu proses Tadabbur Daur bisa berangkat dari semacam Tahqiq yang diperoleh oleh masing-masing individu di setiap tulisan Daur. Tahqiq inilah yang dimaksud dengan padatan hikmah atau sebuah “akik” dari bongkahan batu besar Daur pada tajuk Mensyukuri Dauriyah Daur 01-309. Tiap-tiap individu akan menemukan Tahqiq yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, salah satu Tahqiq yang bisa ditemukan seperti pada Daur 07 Anak Asuh Bernama Indonesia, “Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan yang baik atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan mentalmu menyikapi keadaan-keadaan itu”.

Contoh lain misalnya pada Daur 62 Revolusi Tlethong, “Tidak setiap orang harus mempelajari riwayat sapi, segala sisi ilmu dan pengetahuan tentang sapi. Bahkan kebanyakan para peternak sapi juga tak sejauh itu harus memahami. Yang perlu mereka ketahui hanya sejumlah hal pokok: bagaimana memelihara sapi, apa makan minum sapi, bagaimana sapi malam sapi siang, intinya cukup mengetahui bagaimana menjadikan sapi bermanfaat bagi kehidupan”.

Dan masih banyak Tahqiq-Tahqiq lain tersebar dari 309 Daur. Dari Tahqiq yang Jannatul Maiyah temukan tersebut bisa ditadabburi seperti yang dilakukan para penggiat simpul Suluk Pesisiran, Bangbang Wetan, dan Gambang Syafaat tadi.

Untuk itu mari bersama-sama terus mensyukuri 309 Daur tersebut dengan terus berpartisipasi mentadabburi Daur, baik itu berupa Tahqiq sejumlah minimal lima Tahqiq, atau tadabbur Jannatul Maiyah yang berangkat dari mentadabburi Tahqiq yang ditemui.

Kesemua Tadabbur Daur bisa dikirimkan ke redakturmaiyah[at]caknun.com. Selamat mentadabburi Daur. []

Atas respons-respons yang dikirimkan Jannatul Maiyah, kita semua layak bersyukur. Dan rasa syukur itu diwujudkan akan ditayangkan respons dan tadabbur itu dalam sebuah rubrik baru di CAKNUN.COM bernama “Tadabbur Daur”.

Selain respons yang masuk, upaya Tadabbur Daur juga dilakukan teman-teman penggiat simpul yang diinisiatifi oleh simpul Suluk Pesisiran Pekalongan melalui websitenya sulukpesisiran.com dan segera disusul oleh para penggiat Bangbang Wetan Surabaya. Juga teman-teman simpul Gambang Syafaat Semarang yang membentuk kelompok kecil untuk Sinau Daur.

Pada tajuk Mensyukuri Dauriyah Daur 01-309 itu telah disampaikan bahwa tulisan dalam Daur tidak berupa daging mangga yang sudah dipetik, dikupas, diiris, dan disajikan di piring untuk siap makan. Namun ia merupakan biji (pelok) mangga yang harus ditanam, dirawat, tumbuh hingga berbuah nantinya. Dengan prinsip pelok ini, pijakannya adalah Jannatul Maiyah diajak untuk berproses. Proses dengan tahapan yang berbeda-beda pada setiap insan dan bisa jadi akan sangat panjang proses itu.

Salah satu proses Tadabbur Daur bisa berangkat dari semacam Tahqiq yang diperoleh oleh masing-masing individu di setiap tulisan Daur. Tahqiq inilah yang dimaksud dengan padatan hikmah atau sebuah “akik” dari bongkahan batu besar Daur pada tajuk Mensyukuri Dauriyah Daur 01-309. Tiap-tiap individu akan menemukan Tahqiq yang berbeda-beda.

Sebagai contoh, salah satu Tahqiq yang bisa ditemukan seperti pada Daur 07 Anak Asuh Bernama Indonesia, “Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan yang baik atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan mentalmu menyikapi keadaan-keadaan itu”.

Contoh lain misalnya pada Daur 62 Revolusi Tlethong, “Tidak setiap orang harus mempelajari riwayat sapi, segala sisi ilmu dan pengetahuan tentang sapi. Bahkan kebanyakan para peternak sapi juga tak sejauh itu harus memahami. Yang perlu mereka ketahui hanya sejumlah hal pokok: bagaimana memelihara sapi, apa makan minum sapi, bagaimana sapi malam sapi siang, intinya cukup mengetahui bagaimana menjadikan sapi bermanfaat bagi kehidupan”.

Dan masih banyak Tahqiq-Tahqiq lain tersebar dari 309 Daur. Dari Tahqiq yang Jannatul Maiyah temukan tersebut bisa ditadabburi seperti yang dilakukan para penggiat simpul Suluk Pesisiran, Bangbang Wetan, dan Gambang Syafaat tadi.

Untuk itu mari bersama-sama terus mensyukuri 309 Daur tersebut dengan terus berpartisipasi mentadabburi Daur, baik itu berupa Tahqiq sejumlah minimal lima Tahqiq, atau tadabbur Jannatul Maiyah yang berangkat dari mentadabburi Tahqiq yang ditemui.

Kesemua Tadabbur Daur bisa dikirimkan ke redakturmaiyah[at]caknun.com. Selamat mentadabburi Daur. [] RedJS

Sumber : https://www.caknun.com/2016/mari-mentadabburi-daur-mbah-nun/

Mentakjubi 300 DAUR

Perang telah diumumkan, tidak ada pilihan lain, menyingkir atau melakukan perlawanan. Berbondong-bondong orang baik dengan rela atau terpaksa kemudian meninggalkan pekerjaan dan kesehariannya, mereka dengan suka cita maupun berat hati harus memulai hari baru, babak baru yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bukan hanya terbayangkan sebelumnya, bahkan tak terbayangkan kedepannya seperti apa.

Begitulah mungkin kira-kira gambaran suasana embrio Republik di dua tahun sebelum Proklamasi. Kala di mana sebagian orang meyakini upayanya akan berujung pada proklamasi, sementara sebagian lainnya tidak meyakininya. Bahkan sebagian lainnya yang mungkin lebih besar jangankan meyakini, memiliki kosakata proklamasi saja tidak, persis seperti generasi dua tahun sebelum reformasi, yang bahkan belum pernah mendengar sekali waktupun tentang kata yang kemudian dipatri di benak anak-anak bangsa hingga hari ini : reformasi.

Cita-cita proklamasi berdirinya Republik kala itu bukanlah peristiwa yang sederhana. Gugus Zamrud Khatulistiwa nasibnya tidak terlepas dari suasana geopolitik global yang amat tidak menentu. Ada blok Sekutu, ada Blok Jepang. Entah seperti apa bentuk peta hubungan antara kepentingan bangsa-bangsa yang terlibat di dalamnya, penanda betapa itu semua begitu pelik adalah pada 1943, Kekuasaan Jepang yang sedang bertengger di tanah air kita justru merekrut warga pribumi untuk berbondong-bondong dilatih militer, agar bisa ikut berperang.

Muda-tua, ningrat-jelata, gemulai-perkasa berbondong-bondong masuk dalam berbagai kesatuan-kesatuan yang kemudian dikenal sebagai Tentara PETA (Pembela Tanah Air). Motivasi mereka tentu saja berbeda dengan sebagian motivasi generasi saat ini menjadi prajurit demi mendapat kepastian masa depan. Entah apa motivasi yang mendasarinya, saya menebak-nebak, siapapun saja, terlebih anak muda, kalau tidak ikut bergabung dalam pendidikan militer yang dibuka oleh tentara Jepang itu, mereka akan dianggap tidak gentle, dan hal itu berpengaruh besar terhadap harga diri dan martabat mereka.

Waktu terus bergulir, atas berkat rahmat Allah dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, tercapailah cita-cita Proklamasi dalam sebuah momentum yang mustahil jika tidak ada keterlibatan Tuhan di dalamnya. Kemudian bergantilah generasi untuk melanjutkan estafet perjuangan bangsa pasca proklamasi, dengan tantangan-tantangan yang terus berbeda dari waktu ke waktu tetapi dengan spirit yang sama : menjaga harga diri dan martabat bangsa.  Hingga tibalah tantangan sampai ke generasi kita sekarang ini.

***

Kalau yang disebut perang adalah invasi pasukan bersenjatakan mesiu, maka hari ini, di tanah ini, tidak ada apa-apa. Tetapi kalau yang disebut perang adalah perebutan kepentingan pada tingkat dimana massa mereka libatkan dalam jumlah yang massif dan agresif, media dijadikan sebagai senjata dan tumbalnya, naluri nyaris dilenyapkan secara sempurna dari diri-diri yang berada di medannya, bukankah saat ini semua itu sedang terjadi?

Kepekaan setiap kita tentu saja berbeda, sebab dramatisnya situasi hari ini belum tergambar selengkap torehan sejarah perjalanan bangsa di masa lalu. Bagi generasi ‘pembaca’ sejarah, tidak ada alasan untuk bersegera memahami, sabar menanti sejarah dicetak dalam buku-buku. Tapi tidak bagi ‘pelaku’ sejarah, kalau pola pikirnya seperti itu, maka tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan sesuatu di dalam kesempatan sejarah yang ia jalani. Mana pilihan kita, menjadi pembaca sejarah, atau pelaku sejarah?

Sejarah itu berulang, sejarah itu ber-Daur. Meski peristiwa kasatnya mungkin berbeda, tetapi polanya berada dalam daur yang persisten dan presisi. Hari ini, 300 Daur telah Beliau persembahkan untuk para pelaku sejarah. Dan dunia tak nampak berubah, setelah 300 hari tanpa pernah seharipun terlambat catatan berisi benang-benar merah, pola-pola dasar, esensi-esensi peristiwa dan nalar-nalar di balik peristiwa hadir dihadapan kita.

Akan tetapi tak ada alasan untuk tidak post of optimis. Sebab bisa jadi dunia tak perlu menyambutnya seluruhnya, cukup pilar-pilar dunia, pilar-pilar peradaban saja yang harus mengenkripsi kekayaan kandungan 300 Daur untuk kemudian menginstalnya. Dan jumlah mereka mungkin sangat sedikit, hanya 15 persen, atau 1,5 persen atau nol koma sekian persen saja.

Mereka sedikit tapi militan. Mereka mungkin segelintir orang-orang yang tidak dianggap, tetapi mereka yang melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Sedangkan saya, adalah bagian dari kelompok yang kebanyakan, yang tidak punya militansi apa-apa. Hanya bisa berucap “Saya membaca, dan saya takjub”.

***

Dalam kurun perjalanan sejarah, tentara PETA bersama Hisbulloh dan KNIL kemudian menjadi cikal bakal angkatan bersenjata yang dimiliki oleh Republik. Hingga yang dikenal oleh generasi saat ini sebagai TNI. Metamorfosis angkatan bersenjata milik negara ini menunjukkan bukti bahwa benar-benar penjaga NKRI adalah pasukan yang lahir dari rakyat. Dari petani, penggembala ternak, tukang timba air, yang kemudian mereka memilih menceburkan diri di dalam pendidikan militer kala itu.

Refleksi untuk hari ini adalah, sampai kapan kita masih menaruh harap pada para politisi, atau pemimpin-pemimpin yang lahir dari rahim politisi. Dipilihkan siapa-siapa calon pemimpin kita, sembari meyakini tiada daya dan upaya untuk mengidentifikasi sendiri siapa pemimpin sejati. Sementara kepentingan mereka yang melahirkan calon-calon pemimpin yang untuk kita pilih itu, jelas-jelas sama sekali berbeda dengan motivasi petani, penggembala ternak dan tukang timba air yang memilih jalan berjuang demi harga diri dan martabat diri dan tanah airnya. Padahal pemimpin yang lahir dari rahim rakyat kini, Beliau sudah hadir di tengah-tengah kita. [] Rizky Dwi Rahmawan

Menyambut DAUR

Hari ini genap delapan hari, rubrik baru DAUR telah hadir menjumpai jamaah Maiyah. Rubrik ini secara khusus lahir untuk mengantarkan tulisan-tulisan baru Cak Nun kepada jamaah Maiyah dengan kekhasan pendekatan dan pola yang dimilikinya. Setiap hari Cak Nun menyempatkan diri menulis DAUR dan secara berkala mengirimkannya kepada CAKNUN.COM.

Nama DAUR pun Cak Nun sendiri yang memberikannya. Dalam bahasa Arab, ‘daur’ berarti lingkaran atau bulatan. Tetapi dalam pemahaman kekinian Maiyah, contoh daur itu seperti terungkap dalam ‘Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun’. Kita dari Allah dan menuju (bukan kembali) ke Allah. Bukan ‘kembali’ karena kembali tidak dimungkinkan secara waktu, sebab kita tidak bisa mundur ke belakang dalam waktu. Yang terjadi adalah kita maju terus dan karena yang dituju dan keberangkatan awalnya sama maka terbentuklah lingkaran. Jadi, daur berisi lurusan-lurusan yang ternyata membentuk lingkaran. Atau lingkaran yang ternyata adalah tersusun atas lurusan-lurusan. Keduanya saling mengandung. Sebagaimana Semar adalah Betoro Ismoyo di kahyangan sekaligus adalah juga Ki Lurah Bodronoyo di bumi yang mengasuh pendowo. Kelangsungan hidup di alam semesta ini pun sebenarnya mengikuti dan berada dalam batas rute ‘dari’ ke ‘menuju’ dan berpuncak membentuk bulatan.

Kehadiran DAUR ini penting kita catat, karena sudah cukup lama Cak Nun tidak menulis untuk media masa seperti yang beliau lakukan sejak era 70-an hingga awal 90-an, beberapa waktu saja sesudah Reformasi Mei 1998, dan setelah itu praktis Cak Nun memutuskan untuk menarik diri dari media massa nasional.

Jika kita memiliki buku-buku karya Cak Nun seperti Secangkir Kopi Jon PakirMarkesot BertuturOpini Plesetan (Oples)Slilit Sang KiaiKiai Sudrun GugatTitik Nadir DemokrasiBola-Bola KulturalAnggukan Ritmis Kaki Pak Kiai, dan puluhan buku-buku lainnya, isi buku-buku tersebut merupakan kumpulan dari esai-esai yang tersebar di media massa nasional, belum lagi serakan ratusan esai lainnya yang masih dikumpulkan untuk menjadi buku. Bahkan saat ini, buku-buku karya Cak Nun pada medio 80-an, kembali dicetak ulang dan diterbitkan. Itu menandakan bahwa esai-esai Cak Nun pada era 80-an masih sangat relevan untuk digunakan memotret kondisi saat ini. Karya-karya Cak Nun yang puluhan tahun lalu itu, masih sangat kompatibel untuk menyikapi kondisi zaman. Era terus berjalan, kepemerintahan terus berganti, zaman terus bergulir, namun yang mengasyikan dari itu semua adalah kita masih ditemani oleh tulisan-tulisan Cak Nun dari tahun 80-an yang masih terus up to date untuk saat ini.

Dan di awal tahun 2016 ini, Jamaah Maiyah layak berbahagia dan beruntung karena di tengah kekeringan zaman dan kefrustasian hidup sekarang ini, Cak Nun berkenan menulis kembali khusus untuk Jamaah Maiyah — kendatipun masyarakat luas tetap bisa pula menikmatinya — yang secara ekslusif disuguhkan langsung melalui rubrik DAUR di CAKNUN.COM ini. Tulisan-tulisan yang sama sekali baru dan tidak dipublikasikan di media massa manapun.

Sebagaimana sifat daur seperti disinggung di awal, yang unik dari tulisan-tulisan Cak Nun pada rubrik DAUR ini adalah alur tulisannya yang tidak mematuhi pola redaksional yang dikenal umum. Sangat beda, bahkan bertentangan dengan tulisan-tulisan beliau yang biasa kita nikmati di media masa atau buku-buku sebelumnya, yang dulu memang disuguhkan sebagai masakan yang sudah jadi, sehingga pembaca tinggal menikmatinya. Tulisan-tulisan pada rubrik DAUR tidak berdiri sendiri-sendiri, ia adalah sebuah alur sebagaimana ritme ilmu Maiyah, random, pencolotan, sengaja ditekateki di sejumlah terminal pikiran. Tujuannya adalah melatih Jamaah Maiyah untuk mencari, menemukan, dan merangkai sendiri keseluruhan yang disampaikan kepada mereka dengan kedaulatan masing-masing. Bahkan banyak tulisan harus bermuatan ‘tantangan untuk mencari’, bukan barang jadi.

Untuk menjaga otentisitas tulisan-tulisan karya Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib, segala bentuk penyebaran/penggandaan/publikasi ulang baik melalui media cetak maupun online diharuskan melalui prosedur perizinan manajemen Progress (via email redaksi [at] caknun.com) selaku pihak yang bertanggungjawab untuk mempublikasikan karya-karya Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib.

Semoga rubrik DAUR dapat menemani proses perjalanan hidup Anda, menjadi bekal perjalanan dalam pencarian yang Anda lakukan. Terima kasih dan selamat membaca. [] RedJS

Salam,
Redaktur Maiyah

Sumber : https://www.caknun.com/2016/menyambut-daur/