Meletakkan Solusi Bulatan ke dalam Solusi Segitiga Cinta

Momentum Jurus Jalan Panjang membawa kita belajar mengenali metamorfosis bentuk penjajahan. Kita belajar dari perjalanan sejarah bahwa penjajahan fisik dengan invasi militer tidak akan bertahan selamanya, kuno, dan usang. Dan mereka yang berkepentingan dalam penjajahan itu pun menyadari harus segera berevolusi cara menjajahnya agar keuntungan yang mereka peroleh terus mengalir dan bahkan berlipat-lipat. Cara penjajahan yang diterapkan harus sangat halus, sehingga yang dijajah tidak sadar dan tidak merasa sedang dijajah. Metode penjajahan harus berhasil me-ninabobo-kan kaum terjajah yang justru merasa lebih maju dan lebih modern.

Cara menjajah yang bisa berlangsung lama adalah dengan mengendalikan peta kognitif manusia, yaitu mengontrol cara berpikir. Dan itu dimulai dari hal yang paling mendasar: bahasa. Kita telah belajar bersama mengenai kedua hal ini sebelumnya melalui tulisan Cara Berpikir Kita Sedang Dikendalikan dan Penjajahan Cara Berpikir Struktural. Kita belajar bahwa di dunia ini sejatinya yang berlangsung bukanlah Demokrasi, melainkan sebuah Plutokrasi, yaitu kehidupan sosial yang diatur dan dikendalikan oleh minoritas orang-orang ultra kaya.

Cara berpikir ini dikontrol melalui informasi terstruktur yang berhasil diterapkan lewat jalur media massa dan pendidikan. Dan tentu keberlangsungannya dipagari oleh kekuasaan, baik dari pintu demokrasi maupun pintu kediktatoran. Bentuk apapun dari sebuah Negara harus menopang pengendalian cara berpikir masyarakatnya lewat media massa dan pendidikan tadi.

Pendidikan dalam wujud sekolah dengan sistem kelas, dari jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi saat ini dikuasai oleh yang kita kenal dengan ilmu pengetahuan modern. Karena melalui pendidikan, manusia-manusia yang dihasilkan akan berpola pikir yang dikehendaki elit dalam Plutokrasi tersebut. Manusia sekolah yang akan membangun sistem tata kehidupan dunia, yang sistem itu oleh para elit selama berabad-abad telah dimodifikasi, dimanipulasi, bahkan dirusak.

Bukan berarti ilmu pengetahuan modern itu salah, namun ia dimanfaatkan sekelompok elit untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dunia. Sehingga, kita harus mampu berdaulat atas diri kita yang memiliki warisan ilmu pengetahuan leluhur yang juga mumpuni. Ilmu pengetahuan modern harus dikunyah terlebih dahulu dan dicerna, jangan ditelan mentah-mentah. Atau dalam bahasa warga Merapi adalah Barat (ilmu pengetahuan modern) itu harus diruwat dulu. Karena pijakan dasar Barat adalah membuang kesadaran akan keberadaan Tuhan dari ilmu pengetahuan dalam alam pikir manusia.

Para elit melalui korporasi multi-triliun dolarnya menyuntikkan dana segar yang sangat besar kepada kampus-kampus di Barat dan belahan dunia lainnya untuk melakukan berbagai riset yang hasilnya nanti kembali kepada korporasi itu. Relasi industri dan perguruan tinggi sangat mesra hingga menjadi sebuah simbiosis mutualisme.

Di sisi lain, ilmuwan-ilmuwan produk pendidikan yang konstruksi berpikirnya sekuler ini berperan aktif di berbagai bidang kehidupan. Mulai pendidikan dasar, ekonomi, hingga lingkaran kekuasaan pengelola negara. Karena mereka produk pendidikan modern, maka roda kehidupan di segala lini ini berada dalam koridor sistem yang dibentuk para elit itu.

Namun tidak semua jebolan pendidikan modern ikut serta dalam sistem yang sedang berlangsung di dunia saat ini. Beberapa di antara ilmuwan dan praktisi juga melihat lubang besar dari sistem dunia, terutama dalam ekonomi dan politik. Mereka menyadari telah terjadi manipulasi dan perusakan nilai dalam sistem itu. Bertahun-tahun mereka berupaya menunjukkan adanya manipulasi itu. Banyak juga manusia yang akhirnya sadar dari tidur panjang akan kenyataan sistem dunia yang bergulir ini  sejatinya sangat keropos, rapuh, dan manipulatif.

Beberapa nama kita kenal seperti Noam Chomsky seorang profesor linguistik dari MIT. Kemudian ada John Perkinsyang melalui pengalamannya sebagai pelaku di lapangan dalam beragam manipulasi sistem dunia di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia pada masa Orde Baru. Kisah itu ia tuangkan dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man yang edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Abdi Tandur pada tahun 2005.

Para ilmuwan dan praktisi ini, bersama nama-nama lainnya, pasca krisis ekonomi 2008 menjadi nara sumber dalam sebuah dokumenter tahun 2012, Four Horsemen. Film ini mengupas peta sistem kehidupan dunia di mana elit, politisi, dan para bankir bekerja bersama dalam memanipulasi dan merusak dunia ini. Film tersebut adalah salah satu upaya bersama-sama mempertanyakan atas sistem kehidupan dunia yang sedang kita jalani ini. Kemudian mencari akar masalahnya apa termasuk bermula dari pengendalian kognitif manusia, perubahan standar emas menjadi uang fiat, keserakahan bankir dan elit, terorisme, materialisme, kapitalisme, dll. Lalu mencoba mencari solusi bagaimana dunia yang telah memasuki masa dekaden ini menjadi lebih baik ke depannya.

Nara sumber di film dokumenter itu adalah produk pendidikan modern, dan upaya solusi yang digali pun bersumber dari ilmu pengetahuan modern. Padahal kerusakan yang terjadi saat ini akibat penerapan ilmu pengetahuan sekuler yang dimanipulasi. Ini seperti mengobati penyakit dengan memberikan obat yang diracik dari bahan-bahan yang beracun.

Meletakkan Solusi Bulatan ke dalam Solusi Segitiga Cinta

Meletakkan Solusi Bulatan ke dalam Solusi Segitiga Cinta

Sekarang mari kita coba memandang dari ilmu dasar Maiyah, yaitu Solusi Segitiga Cinta yang beberapa waktu lalu kita belajar bersama dalam tulisan Menyelami Maiyah Cinta Segitiga. Dalam Solusi Segitiga, subjek yang bisa mengatasi kerusakan dunia ini berada di puncak tertinggi segitiga, yakni Tuhan. Dan wasilah atau alasan Tuhan akan mengatasinya adalah kekasihnya, Rasulullah Muhammad Saw yang berada di titik kedua dalam Segitiga Cinta itu. Maka manusia yang berada di titik ketiga harus melibatkan kedua titik itu dalam mengupayakan solusi atas kehancuran dunia ini. Manusia harus berada dalam Ma’iyah (kebersamaan) dengan Rasulullah, yakni dengan selalu bershalawat kepadanya. Karena Ma’iyah manusia dengan Tuhan hanya akan layak bila manusia Ma’iyah dengan Rasulullah.

Di sini kita melihat, bahwa upaya itu harus melibatkan Tuhan yang dalam ilmu pengetahuan modern, Tuhan sudah dibuang. Tuhan telah dicampakkan. Tuhan telah disingkirkan ke pojok peradaban. Solusi-solusi dari ilmu pengetahuan modern itu, memasuki tahun 2017 ke depan, Maiyah semakin jelas memandangnya hanya berada dalam Bulatan. Dan Bulatan itu harus berada di dalam Solusi Segitiga Cinta. Permasalahan di dalam bulatan dan solusi bulatan itu harus diletakkan di kungkungan Segitiga Cinta.

Solusi dengan ilmu pengetahuan modern hanya berada dalam Solusi Bulatan tanpa ada Segitiga Cinta di luarnya. Atau kalaupun melibatkan Tuhan, Ia hanya sebagai pelengkap penderita saja sehingga Segitiga Cinta itu justru malah diletakkan di dalam Bulatan.

Jika hanya mengandalkan Solusi Bulatan, kita menipu diri kita sendiri karena kehidupan di dunia ini tidak ada yang tidak berjalan sesuai syariat (ketentuan) Tuhan. Pun manusia juga tidak hanya mengandalkan Solusi Segitiga tanpa Solusi Bulatan di dalamnya karena IInnallaha laa yughoyyiru maa biqoumin hatta yughoyiru maa bianfusihim. Solusi Bulatan itu harus dijalankan dengan tetap gravitatif kepada puncak tertinggi Segitiga Cinta, Allah Swt. Solusi Bulatan adalah upaya ijtihad manusia yang tidak berdiri sendiri. Ia harus berada di dalam Segitiga Cinta Allah-Rasulullah-Hamba. Karena segala usaha manusia harus tetap dalam kesadaran wa ila robbika farghob. [] RedJS

Sumber : https://www.caknun.com/2016/meletakkan-solusi-bulatan-ke-dalam-solusi-segitiga-cinta/

Cubitan Cinta

SEPASANG KEKASIH kadang nampak aneh dan tidak rasional perilakunya. Yakni ketika perilaku sepasang kekasih dipandang dari sudut luar ruang ruhani pergumulan cinta. Bagaimana tidak menjadi nampak aneh, bukan anak kecil tetapi mereka saling mencubit. Saling cubit itu sama sekali tidak lucu. Perilaku yang tidak punya efektivitas. Bahkan cenderung menyakitkan. Itu kalau perilaku saling cubit hanya dipikirkan secara rasional matematis saja. Padahal, perilaku saling cubit adalah formula dialog yang lahir dari metabolisme batin orang jatuh cinta. Sesuatu yang sangat naluriah dan estetis.

Setidaknya ada tiga prinsip nilai dalam hidup, yakni : kebenaran, kebaikan dan keindahan. Kebenaran adalah urusan hukum. Benar dan salah dikonstruksii dan diproseduri oleh ilmu. Sedangkan kebaikan adalah soal moral.  Lalu keindahan adalah mengenai naluri estetika yang termuat didalamnya berupa cinta.

Cinta adalah tombol aktivasi syaraf estetika. Mekanisme kerjanya di luar keharusan-keharusan ilmiah. Untuk merengkuh cakrawala romantisme keindahan percintaan, kadang-kadang membutuhkan adegan yang melanggar hakikat kewajaran akal sehat. Kadang bahkan perlu dilakukan  secara ekstrim dan dramatis.

Misalnya, dalam keadaan normal, orang akan berteduh ketika kehujanan. Namun, sepasang kekasih yang sedang terbuai di dalam cakrawala romantisme cinta, hujan justru sengaja disongsong dengan riang gembira. Memilih hujan-hujanan ketimbang berteduh. Seorang dokter yang yang mengimani dengan segenap perspektif  medis  bahwa kehujanan erat kaitannya dengan sakit sekalipun, ia dapat saja membatalkan keyakinannya tersebut ketika ia kadung direngkuh cinta. Hujan menjadi kehilangan hubungan dengan sakit flu atau masuk angin.

Kembali ke perilaku cubit mencubit. Seseorang berani mencubit orang lain, terlebih dahulu ia harus sudah memastikan bahwa diantara mereka sudah terbangun hubungan cinta. Tanpa kepastian sudah terbangunnya hubungan, cubitan akan dianggap penganiayaan dan penghinaan. Hanya orang-orang yang benar-benar saling mencintai yang memiliki alat baca untuk menerjemahkan cubitan sebagai artikulasi perasaan batin yang indah nan estetis. Jelas, perilaku mencubit tidak bisa dilakukan kepada sembarang orang. Apalagi kalau ada bawahan yang coba-coba memberanikan diri mencubit atasannya. Bukan kemesraan yang didapat, kasus besarlah yang akan datang menghadang.

Sejatinya, Tuhan sangat mencintai manusia. Bahkan Tuhan sengaja berendah hati membangun hubungan dengan makhluk-Nya dalam pola Cinta. Namun sayangnya, manusia sering memposisikan diri berada di sudut luar ruang pergumulan cinta yang ditawari oleh Tuhan tersebut.

Manusia kadung tenggelam dalam belenggu rumus dan ukuran hidupnya sendiri.  Berlagak menggunakan bahasa hukum dan regulasi formal, sehingga ketika Tuhan sedang berbahasa cinta memberikan sejenis cubitan, diam-diam kita justru menuduh Tuhan sedang menyakiti. Tak jarang justru malah diam-diam kita mentersangkakan-Nya.

Tuhan dalam mencintai makhluk-Nya mungkin kerap ‘bertepuk sebelah tangan’. Manusia yang Dia anggap kekasih ternyata acap kali berlagak sebagai  ilmuwan yang landasan sikapnya adalah rasional matematis. Sedikit saja ‘dicubit” oleh Tuhan dengan diberi ujian hidup, yang spontan kita rasakan adalah penderitaan dan keteraniayaan. Bagaimana ini, kejadiannya malah menjadi seperti atasan yang depresi karena dicubit bawahannya?

Kalau ada orang kaya raya tidak menerima lamaran cinta seorang gelandangan mungkin masih terkesan wajar dan normal, tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka betapa sombongnya gelandangan itu. Merasa menderita dengan ujian hidup,  itu sebuah tanda bahwa belum terbangunnya hubungan saling mencintai antara kita dengan Tuhan.

Padahal sejak kita belum diciptakan dan masih berujud ruh, Tuhan sudah menyatakan cinta-Nya yang agung.

Itu berarti kita telah bersikap abai terhadap tawaran cinta Tuhan. Jenis kesombongan seperti apa yang mengendap di dasar kalbu kemakhlukan kita hingga dengan bodoh menolak cinta Sang Maha Pemegang Saham alam semesta yang kadar cintanya tak terukur?

Kita akan terus salah sangka kepada Tuhan jika konsep dan pola hubungan dengan-Nya masih dibangun dengan perspektif rasional matematis yang demikian formal. Padahal, interaksi cinta merupakan formula komunikasi yang tersusun dari gelombang rasa yang di atas rasional bahkan gaib.

Kekasih yang saling mencintai akan menunggu cubitan demi cubitan di sela-sela santap malam dan kecupan-kecupan mesra pada sebuah perjumpaan. Kado cokelat yang manis dari sang kekasih memang menawan dan enak, tetapi luka kulit memerah karena dicubit juga memberikan pengalaman rasa yang tak kalah. Meski kelihatannya aneh, tapi eksotis.

Jika yang disebut dan dirasa nikmat serta yang dianggap menguntungkan  hanya ketika mendapat perolehan materi, maka itu pasti jenis interaksi kalkulatif transaksional bak orang berdagang. Begitu juga seandainnya yang bisa kita syukuri dan nikmati hanyalah ketika sedang mendapat ke-enak-an hidup, jangan-jangan Tuhan masih sekedar kita perlakukan sebagai mitra bisnis yang menjadi pelampiasan gairah eksploitasi materiil kita semata.

Aktifitas cinta sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara merdeka dari kalkulasi dan transaksi, enak dan tidak enak tidak diparameteri oleh perolehan untung dan rugi. Tidak jarang kerugian materi akan membuat para penghayat cinta semakin tenggelam dalam kenikmatan.

Ketika doa dan ikhtiar kita masih terkatung-katung di awan khayalan, ketika harapan-harapan masih terbang bebas dari bumi kenyataan dan belum di-ijabahi Tuhan, mungkin karena Tuhan sedang berlaku sebagai kekasih yang sedang mencubit makhluk yang sangat dicintainnya.[] Agus Sukoco