Cahaya Buah Salak

Seperti sudah bisa saya duga, karung kecil berisi hampir sepuluh kilogram buah salak pemberian seorang tamu yang sudah saya anggap seperti saudara sendiri itu tidak terlalu menarik hati istri dan anak saya. Lain halnya jika tamu yang datang itu membawa buah durian montong ke rumah, begitu tamu yang mengantar oleh-oleh buah durian itu pulang, durian itu langsung diperkosa rame-rame.

Nasib buah salak memang tidak seberuntung buah durian di rumah kami. Mungkin karena buah salak harganya murah, sehingga sudah sering kami membelinya di warung sebelah. Sementera buah durian harganya tidak bisa kami jangkau setiap saat kecuali pas kebetulan ada rejeki lebih. Sekarung buah salak yang hampir dua hari tergeletak di dapur hanya beberapa biji yang termakan. Untuk memberi ke tetangga kami agak canggung karena kebetulan waktu itu memang sedang musim buah salak. Itulah penyakit yang diam-diam sering bersemayam di hati, memberi harus dalam rangka nggaya sehingga malah akhirnya jarang memberi. Karena memberi yang sederhana dan berharga murah takut dianggap tidak keren, sementara memberi yang istimewa dan mahal agak eman juga.

Kenapa buah salak sering dianggap tidak istimewa dibanding dengan buah durian? Apakah hanya karena harganya yang kalah mahal? Kalau kita mau berfikir lebih mendalam, sesunguhnya mahal dan murah itu tergantung hukum permintaan dan penawaran saja. Apabila di suatu daerah sangat banyak tersedia buah durian, maka di daerah itu buah durian menjadi murah. Begitu sebaliknya, apabila suatu daerah tidak ada buah salak, maka salak menjadi mahal harganya.

enak dan tidak enak itu relatif, sehingga tidak bisa jadi bahan acuan pertimbangan. Bagi orang yang hampir tiap hari makan buah durian, maka buah durian bukan hanya sudah terasa tidak enak, tetapi malah bisa mengancam nyawanya karena dapat menimbulkan suatu penyakit. Dengan perspektif apa seharusnya akal manusia membidikan penglihatannya, sehingga bisa menemukan obyek analisis yang hakiki? Bukankah manusia dipeluangi Tuhan untuk mampu melakukan penglihatan menembus batas-batas materi pada setiap obyek yang disaksikan? Agar setiap kali ujung penglihatanya menyentuh benda dan peristiwa, yang terbaca oleh akalnya adalah ‘huruf-huruf’ keagungan-Nya.

Kalau kita membayangkan jerih payah petani salak ketika menanam dan merawat kebun salaknya, pekerjaan petani itu pasti tidak kalah repot dan serius dengan seorang ibu merawat bayi. Betapa besar persediaan kesabaran petani salak dalam menunggui hari, bulan bahkan mungkin tahun-tahun penantian pohonnya berbuah. Kemudian bisakah kita mengukur seberapa kandungan kasih sayang dan rasa persaudaraan tamu yang dengan ikhlas memberi oleh-oleh buah salak itu.

Belum lagi jika kita teruskan hingga ke ‘ceruk’ terdalam pengembaraan ‘tafakur’ kita. Akan kita jumpai betapa Tuhan mungkin kecewa kepada sikap manusia yang telah menyepelekan hasil karya-Nya berupa buah salak itu. Tuhan pasti sangat serius dan tidak main-main dalam menciptakan segala sesuatu, termasuk buah salak. Estetika berupa bentuk, warna dan orisinalitas rasa buah salak adalah maha karya Tuhan yang dahsyat. Dalam menemukan ide untuk mencipta buah salak, Tuhan telah memperhitungkan dengan kelembutan ilmu, sehingga komposisi zat dan kandungan nutrisinya berada pada harmoni keseimbangan yang menghasilkan ketepatan rasa dan manfaat.

Buah durien dan buah salak diciptakan oleh Tuhan dengan keseriusan yang sama.  Mahal dan murah, enak dan tidak enak, itu jelas bukan pertimbangan yang obyektif untuk melegitimasi perlakuan semena-mena terhadap salag satu diantara mereka. Bisakah kita menemukan dan menentukan obyektifitas penghargaan terhadap segala sesuatu selain penilaian berdasarkan nominal juga sebab kalkulasi selera lidah belaka? Betapa, derajat buah salak dan durian sejatinya tidak bisa dipathok oleh hukum ekonomi pasar dan subyektifitas selera lidah belaka.

Alangkah dzalim ketika saya memperlakukan sekarung buah salak pemberian tamu itu dengan tidak serius. Minimal dengan mendistribusikannya sebagai barokah bagi para tetangga. Jika ada satu biji saja yang sampai membusuk tidak termakan oleh manusia, berarti saya telah melakukan sekian jenis kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada jerih payah dan kesabaran petani, kedzaliman terhadap cinta dan keikhlasan hati tamu yang memberi kepada keluarga saya, serta kedzaliman kepada maha karya Tuhan.

Ternyata kehidupan bagi orang-orang bodoh yang tidak memiliki tradisi untuk mentafakuri segala sesuatu akan menjadi budi daya dosa yang beranak-pinak tanpa kita sadari. Untuk menjadi manusia yang gagal ternyata tidak harus menjadi pejabat korup,  bahkan salah bersikap saja terhadap obyek yang kita anggap sederhana di depan mata kita, itu sudah cukup untuk menjerumuskan kita ke neraka.[] Agus Sukoco