MERIAH. “Manusia Bersandiwara” pertama kali dibedah offline di Baturraden

Lebih dari seratus aktivis, mahasiwa, jamaah maiyah dan peserta umum berkumpul bersama di Warunge Dewek, Rempoah, Baturraden pada selasa (28/2) kemarin untuk mengikuti bedah buku “Manusia Bersandiwara”.

Buku ini adalah karya bersama Pak Toto Raharjo dan Dinar Meidiana dengan kaloborator musik Dony KK dan Widie Letto. Karya yang diselesaikan semasa pandemi ini pertama kali dibedah secara offline pada kali ini dengan pembedah Afit Susanto dan moderator Kukuh Prasetiyo.

Acara ini juga bertepatan dengan Milad ke delapan windu Begawan pergerakan sosial Indonesia yang sekaligus juga penggagas Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta ini.

Mas Dony KiaiKanjeng dan Mas Tido melengkapi kemeriahan malam hari itu dengan membawakan lagu-lagu yang diciptakan liriknya oleh sahabat dekat Romo Mangun sekaligus juga sahabat dekat Mbah Nun ini bersamaan dengan penulisan buku ini.

Di akhir acara, Tido mempersembahkan lagu yang diciptakan khusus untuk hadiah Milad ayahandanya itu. “Pelajaran yang saya dapat dari Bapak dan Ibu saya yang jarang orang tahu adalah bahwa kebahagiaan itu harus diupayakan. Penting bagi kita untuk bahagia”, ungkap Tido.

Perpustakaan Surya Cendekia Membedah “Lahir Kembali”

Acara bedah buku “Lahir Kembali” karya Mas Agus Sukoco dengan lancar telah digelar pada Kamis 29 april 2021 di Perpustakaan Surya Cendekia SMA N 1 Bobotsari. Acara mengambil tempat di Aula SMA N 1 Bobotsari ini, Meskipun berlangsung daring tak mengurangi antusiasme khalayak untuk ikut menyimak acara tersebut. Tampak pada layar monitor, kurang lebih 300-an peserta on-line yang terdiri dari Siswa-siswi dan Lusarian (alumni SMA N 1 Bobotsari).

Mengalasi acara tersebut, Joko Widodo sebagai kepala sekolah SMA N 1 Bobotsari menyampaikan bahwa dirinya berharap semoga acara ini menjadi inspirasi bagi murid-murid. “Bagi saya judulnya sangat menarik, apanya yang lahir Kembali? Apakah secara jasad, batin-nya, atau mungkin realitasnya?” ujar Joko. Menurutnya budaya membaca harus menjadi kebiasaan siswa-siswinya.

Acara yang sedianya dihadiri oleh Bupati Purbalingga. Namun karena berhalangan hadir, kehadiran Beliau diwakili oleh oleh Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Purbalingga (DINARPSUS) dra. Jiah Palupi. “Setting cerita pada novel lahir Kembali begitu detail dan tidak semua orang bisa mengeksploitasi latar seperti itu dengan bagus. Termasuk saya belum mampu untuk bisa seperti itu.” ujarnya. “Selain setting latar yang detail, kekuatan karakter tokoh juga sangat istimewa.” Tambah Jiah Palupi dalam sambutannya.

Acara bedah buku di pandu oleh Mas Zulfikar atau yang akrab dipanggil Omen. Ia adalah aktivis muda yang cakap sekali dalam hal menstimulasi seseorang untuk ngobrol, maka suasana forum pun menjadi demikian hidup,Buku ini sangat menarik. Mengapa demikian, karena di dalam buku ini banyak sekali cerita-cerita yang mirip dengan kehidupan kita sehari-hari yang tidak bisa ditebak sama sekali.”, Seloroh Omen.

Mas Agus Sukoco, penulis karya fiksi Lahir Kembali yang notabene Alumni SMA Bobotsari Angkatan 95 itu mengungkapkan perasaannya yang over romantic dan melankolis. “Kalau hidup itu perjalanan maka, SMA N 1 Bobotsari merupakan salah satu etape penting di dalam transisi jiwa dan kemanusiaan saya. Usia SMA adalah usia paling rawan dimana saat itu kita mulai mengerti dan mulai aktif naluri estetik, mulai tertarik pada lawan jenis, tapi pada saat yang sama ketakutan mulai tersadari oleh kita. Usia SD, SMP, kita masih seolah di dalam bopongan optimal keluarga kita. Apa saja masih tertanggung, tapi mulai SMA, kita mulai sadar bahwa selangkah lagi kita memasuki rimba raya yang kejam.  Dan memasuki ruangan ini bagi saya sebuah kehormatan sejarah.” 

“Novel ini mungkin tidak murni pengalaman hidup saya, tapi secara substansi pengalaman banyak orang yang saya adalah satu yang menghayati kondisi atau realitas semacam ini. Ketika SD, SMP orang masih berani mempunyai kedaulatan untuk bercita-cita, namun Ketika mendewasa ia bertemu dengan realitas seperti kemiskinan orang tua, kemunafikan sistemik yang memarginalkan sebuah kelompok dengan memudahkan kelompok lain. Arya (tokoh utama novel) adalah salah satu orang yang mengalami depresi atas keadaan itu. Arya menutup lingkungan dan mempersalahkan orangtua sebagai biang nasib buruknya.” Mas Agus mengurai. Acara berlangsung gayeng dan diakhiri dengan penyerahan buku kepada SMA 1 Bobotsari dan penyerahan kenang-kenangan oleh SMA yang diwakili oleh Joko Widodo sebagai kepala sekolah.

Gado-Gado Juguran Syafaat

Gado-gado dikenal sebagai makanan khas Betawi. Makanan yang termasuk jenis salad ini memiliki pembeda pada saus dressing-nya, yakni menggunakan asian peanut, bumbu kacang. Tidak seperti kebanyakan salad yang banyak melibatkan mayones di dalamnya.

Gado-gado terdiri dari sayuran hijau seperti selada, kubis, bunga kol, kacang panjang dan taoge. Sering juga ditambahkan dengan sayuran lain yakni pare dan mentimun. Di dalam gado-gado juga terdapat kentang rebus, telur rebus, tempe dan tahu serta kadang-kadang terdapat pula jagung pipil. Kapan Anda terakhir makan gado-gado?

Dengan analogi gado-gado di atas saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk mengenali Juguran Syafaat bukan hanya sebatas ke-khas-anannya sebagai forum diskusi yang ruhani minded. Namun, bahwa di dalam Juguran Syafaat tersusun oleh social cyrcle yang begitu kompositif.

Dengan analogi gado-gado pula, saya ingin mengajak pembaca sekalian mengganti obyek bahasan tentang keberagaman yang selama ini disetir hanya untuk membahas Islam dan minoritas, Pribumi dan Chinese, dll. Padahal, keberagaman profesi, kepakaran, konsentrasi keilmuan dari masing-masing nama di kontak ponsel kita, hal itu lebih menarik untuk dikulik, digali dan kemudian disambung-sambungkan.

***

Forum dapur penggiat Juguran Syafaat di penghujung tahun sengaja mengambil tempat berbeda, supaya bisa refresh sekaligus nyicil-nyicil merefleksi perjalanan setahun 2020 ini. Di Desa Wisata Karang Salam, Baturraden (23/12/2020) sejumlah penggiat berkumpul. Tepatnya di Kedai milik Pak Asong, salah seorang pegiat Desa Wisata di sana.

Forum dibuka dengan Hilmy ngudarasa kepada Pak Asong. Memang sebagai pamong desa ia berkeinginan keras bagaimana agar di desanya ada sesuatu yang dapat to attract perhatian publik. Pak Asong pun dengan antusias ber-sharing tentang serba-serbi Desa Wisata. Yang dapat  berkelanjutan adalah yang melibatkan komponen organik lokal, dan yang sudah bisa ditengarai pendek umur adalah yang hanya latah belaka.

Menurut Pak Asong, potensi agro di suatu desa adalah sesuatu yang masih bagus dibangun sebagai sebuah attraction. Tidak latah membangun agrowisata. Hilmy dengan tim-nya di Desa saat ini sedang menyiapkan infrastruktur IT Data Desa. Ini sesuai dengan challenge dari Pak Toto Raharjo ketika singgah di sana dahulu: membangun Datakrasi Desa. Nantinya sektor agro menjadi bagian yang signifikan akan terdongkrak pula.

Hadir juga di forum yang berlangsung sore hingga malam hari itu yakni Hirdan. Penggiat Juguran Syafaat yang ikut mewarnai suasana dengan petikan gitarnya. Ia sehari-hari adalah pelaku usaha di bidang agro. Efek dari pandemi membuat ia all out men-cemplung-kan diri pada perdagangan komoditas telur ayam. Dari yang awalnya hanya belasan peti telur ia jual, kini sudah nampak growth penjualannya hingga ratusan peti tiap bulan. Selain sudah mengerjakan retensi penjualan, yang mahal ia dapatkan adalah jejearing yang makin luas di komunalitas rantai nilai perdagangan telur ayam, toko grosiran, agen, peternak pemilik kendang, asosiasi wilayah, dll. yang harus terus menerus dijaga keberlangsungannya secara jangka panjang.

Kemudian Febri dan Anjar, keduanya sama-sama pelaku di bisnis retail. Meskipun petang hari itu tidak banyak berkisah tentang Penggiat Updates atas kahanan keseharian terkini mereka. Tetapi kesah Febri cukup terrefleksikan dari perjalanan hidup seorang Sosrokartono yang ia ceritakan panjang dan lebar kala itu. Bagaimana Beliau menjalani hidup dengan prestasi dan kegundahan yang silih berganti, pencarian peran diri di dalam hidup yang tak pernah berhenti.  Betapa gundahnya menelaah apa yang sebenarnya sedang terjadi di bisnis retail akibat sistem dagang yang begitu kapitalistik yang hari ini berlangsung.

***

Orang-orang dengan gulawentah yang begitu beragam sehari-hari masih sempat menyisakan waktu untuk berpikir mendekonstruksi dan mendiskusikan berbagai elaborasi itu kan sebetulnya sesuatu yang kontras. Namun seringkali kontras itu tidak terlihat jelas, sebab pada sebuah kumpulan yang dilihat hanya backdrop dan taglinenya saja, tidak melihat kentang rebus dan mentimun sepertihalnya pada gado-gado. Padahal masing-masing dari sayuran itu sebetulnya bisa kok disambungkan dengan bahan masakan lain sehingga tercipta makanan yang berbeda.

Kita bergeser 20 KM ke arah selatan, tepatnya di Desa Pangebatan. Seperti pada kabar sebelumnya, Pak Titut baru saja mendirikan gubug belajar bagi anak-anak, “Gubug Sawah Cowong Sewu”. Seorang ahli kebun yang mencoba hidup dengan “nyeni” ini memang membuat gado-gado Juguran Syafaat makin buket dan lezat rasanya. Kalau ditelusuri lebih jauh, “anak-anak asuh” Pak Titut ini banyak dan beragam, saudaranya ada di lintas kalangan, lintas komunitas. Gubug yang menurut saya tidak ada mewah-mewahnya itu saja yang meresmikan tidak tanggung-tanggung, Wakil Bupati.

Yang baru saja merilis karya ada M. Faisal, sebuah album musik bertajuk “Hymne Kehancuran”. Meskipun alirannya ‘bawah tanah’ tetapi tetap ada Allah dan Kanjeng Nabi disematkan di cover albumnya. Kemudian yang sedang merilis karya berikutnya yakni Mas Agus Sukoco, saat ini sedang pre-launcing novel “Lahir Kembali”. Melalui Novel ini, Mas Agus ingin nilai-nilai Maiyah mengalir lebih luas, utamanya untuk aplikasi self-empowerment bagi generasi muda.

Ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, saya juga sedang ber-whatsapp dengan Pak Yusro. Seorang politisi senior Purbalingga yang selalu ngemong kita semua, yang memilih mandito menjadi Kepala Madrasah Aliyah (MA) El Qosimi di Purbalingga. MA ini adalah bagian dari Ponpes An-Nahl Asuhan Abah Fitron Ali Sofyan, salah satu pusaran lingkaran Jamaah Maiyah sedari sebelum forum Juguran Syafaat lahir.

Pusaran lainnya di dalam cyrcle Jamaah Maiyah Banyumas-Purbalingga adalah Majelis Kemis Pahing yang diinisiasi oleh Abah Jumad. Jadi selain kita mempunyai forum bulanan, juga ada forum selapanan setiap Rabu Legi malam Kemis Pahing. Kabar dariAbah Jumad, Ia sedang menanam 1.300 tanaman jahe merah. Dalam cyrcle bisnis jahe merah ini, ada juga Kang Amin yang dari hikmah pandemi ia merilis produk minuman serbuk jahe merah siap seduh.

Sohib kentalnya Abah Jumad yakni Kang Wanto. Kerap tampil di Juguran Syafaat dengan alunan sulingnya. Ia sedang menekuni budidaya Burung Murai. Lalu ada Kang Barno yang khas dengan blangkon dan kain luriknya. Ia bukan budayawan meskipun penampilannya seperti itu, tetapi ia adalah seorang penggerak koperasi yang saat ini sedang mengembangkan produk air minum alkali. Saat ini ia amat getol menggiatkan jejaring resellernya, nampak amat berbakat di dalam membekali reseller dengan trik dan tips marketing.

***

Karena tulisan ini nampaknya sudah terlalu panjang, kita kembali ke Kedai Pak Asong di Desa Wisata Karang Salam lagi saja. Tidak terasa sudah berjam-jam duduk-duduk di sana. Saya tidak jog kopi, tetapi menambah memesan air putih panas dan pisang goreng saja. Menemani refresh dan relaks sambil menikmati gemerlap kota Purwokerto dari ketinggian yang terlihat penuh lampu-lampu. “Wah, kalau Purbalingga dilihat dari atas ya paling yang terlihat cuma lampu Toko ABC, Toko Harum dan alun-alun. Haha”, Febri berkelakar memamerkan kerendah-dirinya.

“Ini harusnya kita sudah nyicil bikin audio-podcast ini”, ujar Hilmy. Melihat begitu banyaknya unsur penyusun gado-gado yang membuat tulisan ini terasa kepanjangan, saya sih setuju saja itu, nantinya bisa dicicil edisi per edisi, dijadikan program baru Juguran Syafaat di 2021.

Menjadi Kelas Menengah Lokal yang Solutif

Pada Sabtu pagi, 19 Desember 2020 Saya ikut mendampingi Mas Agus Sukoco menghadiri sebuah sarasehan yang diikuti sejumlah organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Purbalingga. Acara yang kami hadiri ini diinisiasi oleh Organisasi Masyarakat Lowo Ireng (LI). Acara ini menjadi bagian dari tahap ‘pendinginan’ paska sudah berlangsung lancarnya Pilkada.

Berlangsung di Warung DPR di daerah Karangsentul Purbalingga, ikut terlibat hadir di acara ini sejumlah Ormas, diantaranya Laskar Sangga Langit, Pemuda Pancasila, BPPI, Granat, GMBI, Banser Dan Kokam. Acara ini mengambil tagline “Merawat Kebersamaan Dengan Persaudaraan Pasca Pilkada Tahun 2020”.

Bertindak sebagai moderator adalah Mas Andi Pranowo. Kemudian narasumber selain Mas Agus Sukoco hadir pula Pak Dr. Indaru Setyo Nurprojo, akademisi dari Unsoed. Mas Yulianto selaku pimpinan Lowo Ireng Purbalingga sekaligus yang mbahurekso acara pagi itu mengawali dengan sambutan dan ucapan terima kasih kepada segenap kawan-kawan lintas elemen.

Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan sebuah teks deklarasi. Deklarasi tersebut bunyinya adalah, “Kami Ormas dan LSM di Kabupaten Purbalingga siap berperan aktif dalam menjaga Kondusivitas pasca Pilkada dan saling menjaga kebersamaan serta kerukunan antar Ormas  dan LSM di Kabupaten Purbalingga. Purbalingga Perwira NKRI Harga Mati.”

Seperti diketahui bersama, Pilkada di Purbalingga sudah berlangsung lancar dengan aman dan damai. Namun demikian, sudah menjadi tugas bersama-sama setiap elemen masyarakat apalagi kalangan pemuda penggerak untuk mengantisipasi setiap kemungkinan buruk. Deklarasi ini adalah bagian dari kegiatan antisipasi itu.

Kita tahu bagaimana lalu lintas isu hari ini dipenuhi dengan hempasan narasi-narasi yang seringkali berbenturan antara satu narasi dengan narasi lainnya. Sedangkan setiap anggota masyarakat sudah sedang sibuk dengan periuk nasinya sendiri-sendiri, mana sempat untuk merunut dari mana asal-usul sebuah narasi dan kemana anak panah narasi hendak dihempaskan.

Moderator mengalasi diskusi di awal sesi. “Di dalam kata kebersamaan tentu ada lawan katanya, perbedaan. Maka kemudian dari dua unsur ini kita bisa melihat pasti semua yang tercipta di dunia ini pasti ada lawan katanya. Maka kemudian sebagai insan yang kita berharap bisa jauh lebih dewasa untuk bisa menghargai perbedaan itu”, ujarnya.

Kemudian Pak Dr. Indaru menyampaikan, “Saya sebagai warga, saya titip kepada teman-teman yang punya basis jaringan, punya organisasi secara terstruktur, bisa membantu saudara-saudara kita di Purbalingga untuk kemudian bisa terwakili kepentingannya. Saya berharap kemudian teman-teman tidak kemudian terjebak pada proses Pilkada semata dan Kembali pada posisi dan visi-misi organisasi, kembali ke Langkah-langkah apa yang seharusnya oleh organisasi dan tentu kepentingan bersama yang harus dicapai bersama”.

Tiba giliran narasumber berikutnya yakni Mas Agus Sukoco. “Kita di modali nilai-nilai lokal untuk mendasari dan memotivasi semangat bersaudara. Nilai lokal yang saya maksud adalah ada prinsip-prinsip kebudayaan Jawa dan Nusantara yang sesugguhnya sudah sejak lama mengawal dan merawat kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.”, Mas Agus menyampaikan.

“Saya ambil contoh, ada prinsip dalam jawa, “mangan ora mangan asal kumpul”. Pepatah ini selama ini di curigai sebagai sesuatu yang pesimis dan sumber kemunduran. Karena “mangan ora mangan asal kumpul” dimaknai sebagai grabyag-grubyug tidak produktif, akan tetapi jika di kaji lebih dalam itu wanti-wanti dari leluhur bahwa yang primer adalah kumpul. Jadi kumpul atau bersama itu diletakan sebagai sesuatu yang lebih penting dari mangan, atau sesuatu yang sifatnya material, kepentingan pragmatis”, lanjutnya.

“Ormas, LSM itu kalo kita posisikan, ia bagian dari kelas menengah di dalam struktur sosial dan budaya kita. Jadi ada keniscayaan alamiah di dalam bangunan sosial. ada kelas mapan atau elit, kelas bawah dan kelas menengah. Motor penggerak dan pengawal dinamika peradaban itu selalu kelas menengah”, paparnya lagi. Acara berlangsung dengan gayeng dan meriah. Mudah-mudahan inisiatif kecil semacam ini bisa menjadi bagian dari langkah solutif di tingkat lokal. Mengingat jika kita memandang skala nasional sepertinya persoalan sudah teramat ruwet. Kita nyicil-nyicil solusi-solusi sederhana saja di sini.

Belepotan Beletan di Pentas Ndaudbeletan 2020

Di hari minggu pagi yang cerah Saya menyaksikan sebuah karya seni dari Abah Titut Edi Purwanto. Sebuah pementasan di alam terbuka dengan tajuk, “Ndaudbeletan”. Sebuah pementasan yang menurut saya unik, karena tidak ditampilkan di atas panggung, melainkan di atas belet (lumpur). Pementasan ini menggambarkan bagaimana petani mengerjakan proses dan prosesi dari bercocok tanam di Sawah.

Saya datang lebih awal sebelum acara di mulai, melihat kehadiran saya, Wajah Pak Titut nampak senang. Walaupun saya tidak bisa bantu-bantu, setidaknya ikut nyengkutung energi positif sebelum sang lakon utama bersiap menuju pentas. Menurut Pak Titut, selain untuk Pertunjukan, “Ndaudbeletan” juga bertujuan untuk mengingatkan  pada anak cucu bahwa dahulu nenek moyang kita semua adalah seorang petani yang gemar bercocok tanam.

Acara tersebut diadakan di Sawah belakang Balai desa Pangebatan, pada hari minggu yang cerah di tanggal 20 Desember 2020. Acara ini sekaligus sebagai momentum peresmian gubug sawah yang baru saja Pak Titut bangun, yang diberi nama Gubung Sawah Cowongsewu.

Tidak tanggung-tanggung, gubug sawah dengan nuansa natural alamiah berukuran 6 x 6 meter ini pada hari itu diresmikan langsung oleh Bapak Sadewo, Wakil Bupati Banyumas. Acara dimulai sekitar pukul 09.30 WIB diawali dengan Pak Titut memberikan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya acara dan kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Pak Wabup.

Beberapa menit setelah sambutan selesai, kemudian bergulir pada mata acara pembacaan puisi. Puisi menjadi pemantik dari dimulainya Pertunjukan yang dengan gaya khasnya Pak Titut selalu mampu menarik perhatian penonton agar mendekat dan atusias.

Dalam pertunjukan tersebut Pak Titut mengikutsertakan  sekitar 15 anak-anak kecil yang biasa belajar dan bermain bersamanya disawah. Ikut hadir juga teman-teman muda anak-anak “asuhan” Pak Titut, Ada seorang pemain biola, seorang pemain kendang,  beberapa pemain genjring untuk iring-iringan dan dua orang penari. Yang istimewa adalah salah seorang dari penari adalah istri Pak Titut sendiri, Ibu Tri Indarwati.

Hal yang bagi saya amat menari dari pertujukan ini salah satunya adalah filosofi dan makna “Tarian Jiwa” yang dilakukan Pak Titut bersama Istrinya. Di dalam tarian yang diselimuti Kain Putih tertutup rapat diatas lumpur sawah yang telah di bajak sehingga melambangkan antara bumi dan langit sedang bercocok tanam untuk kemudian memunculkan benih dan menghasilkan panen dari hasil bercocok tanam yang dilakukan.

Setelah pertunjukan dan puisi-puisi tentang alam selesai dilakukan, acara kemudian dilanjut dengan peresmian Gubug Cowongsewu oleh Pak Wabup. Gubug ini nantinya akan difungsikan sebagai tempat belajar  anak-anak desa setempat di setiap minggu pagi bersama Pak  Titut. Gubugnya pun unik banyak kata-kata bijak yang ditulis di papan kayu yang memiliki makna sebagai pengingat dan nasehat dari para leluhur.

Sambil beristirahat ditengah teriknya matahari di Gubug yang baru saja diresmikan, Pak Wabup dan penonton pun mulai menikmati suguhan jajanan pasar seperti klepon muntul dan aneka rasa gethuk berwarna warni yang memancing lidah untuk menyantapnya bersama segelas teh hangat, makanan yang berkah dan gratis itu memang sangat nikmat.

Setelah beberapa menit ngobrol santai dan menyaksikan duet antara Abah Titut dan Pak Wabup dalam menyanyikan lagu “Cempulek Gawe Mendoan” akhirnya Pak Wabup pun mohon undur diri dan berpamitan pulang.

Saya mengikuti acara hingga selesai dengan hati yang marem. Acara dipungkasi sekitar pukul 12.00 WIB. Kami semua pun merasa senang dan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Dalam acara tersebut banyak seniman yang dulunya belum sempat bertemu akhirnya dapat berjumpa di acara tersebut. Pak Titut pun juga berharap jika di beri kesempatan dan berkah, kedepannya akan membuat lagi karya-karya yang di lahirkan di Gubug Cowongsewu tersebut.

Melangkahlah, Maka Engkau Menginspirasi

Nampak rapih berjejer, sepeda motor berpuluh-puluh jumlahnya di pelataran Pendopo Cahyana di Kompleks Rumah Jabatan Wakil Bupati Purbalingga. Beberapa petugas berseragam membantu menata dengan sabar dan riang hati membuat tertibnya urusan perpakiran. Semata-mata ia melaksanakan apa kata pepatah, “Adil semenjak dari parkiran”.

Pada Sabtu, 7 September 2019 lalu, pada siang menjelang sore hari, sekitar 200 orang pemuda dari Karang Taruna Kabupaten Purbalingga dari berbagai level kepengurusan desa, kecamatan dan kabupaten mereka semua berkumpul. Dengan antusias mereka menghadiri kegiatan Purbalingga Youth Discussion yang kali itu mengangkat tema “Maximazing Creativity in Creative Economy Era”.

Foto: Budi Santoso

Ada dua pembicara tampil di depan. Yang pertama Mas Bambang Irawan, Ketua DPRD Kabupaten Purbalingga yang sekaligus juga menjabat sebagai Ketua Umum Karang Taruna Kabupaten Purbalingga. Pembicara berikutnya adalah Mas Sabrang Mowo Damar Panuluh atau kerap disapa pula Noe Letto. Mas Sabrang diundang di Purbalingga selaku tokoh pemuda multi kreasi. Mas Sabrang menjadi magnet tersendiri pada sore itu. Tentu yang pertama karena beliau adalah artis nasional. Kemudian lagi para peserta belum banyak yang tahu kiprahnya di dunia kreatif. Dari musik, film dan aplikasi digital yang sudah dilahirkan dari gagasan Mas Sabrang.

Mas BI demikian sapaan akrab Mas Bambang Irawan, dipersilahkan oleh Mas Imam selaku moderator untuk mengawali paparan siang hari itu. Dengan apik Mas BI memaparkan bahwa Pemerintah Kabupaten Purbalingga sudah menggandeng industri kreatif yang ada dengan berbagai macam pembinaan dan kegiatan di dalamnya. Ketika salah seorang mengusulkan beberapa pelatihan untuk pemuda di Purbalingga, Mas BI dengan sigap mempersilakan mereka untuk mengajukan apa saja yang mereka butuhkan. Selama disusun dengan baik, terhitung dan bertanggungjawab. Forum siang hari itu menjadi sebuah link and match forum yang tepat antara rakyat dengan pemangku kebijakan.

Foto: Budi Santoso

Kemudian tiba giliran Mas Sabrang, Ia mengawali dengan mendasari arti tentang apa itu ekonomi kreatif. Dari situ berkembang hingga industri kreatif, pariwisata yang kreatif dan strategi dasar bisnis. Beberapa peserta menanyakan terkait motivasi, bagaimana memulai usaha, hingga bagaimana mengubah mindset teman-teman di sekitarnya.

“Siapa bilang ada yang mewajibkan Anda untuk mengubah mindset. Tidak. Sebab Anda bukan nabi. Kemampuan Anda adalah menjadi contoh atau teladan, sehingga kemudian menginspirasi orang dan membuktikan diri bahwa Anda bisa. Dari situlah mereka akan mengikuti langkah-langkah Anda.”, ujar Mas Sabrang. Kalimat ini menyentuh hati para pemuda yang selalu punya hasrat untuk mengubah cara berfikir orang lain, tapi lupa bahwa yang sejatinya wajib diubah adalah dirinya sendiri.

Sore bertambah gayeng, ketika Mas Sabrang menyanyikan dua lagu dari Letto, yaitu Ruang Rindu dan Sebelum Cahaya. Smartphone berjejer mengabadikan moment tersebut. Layaknya koor paduan suara, hampir semua turut menyanyikan lagu yang pernah hits di beberapa tahun silam.

Foto: Budi Santoso

“Semoga anda menjadi generasi pembaharu Indonesia yang memulai memperbaiki Indonesia sekarang.”, akhir kata dari Mas Sabrang memungkasi kegiatan sore itu.

Menjelang pukul 17.00 acara kemudian dipungkasi. Peserta kemudian pulang membawa perolehan yang berbeda-beda. Wajah cerah sumringah tampak dari mereka yang hadir. Apalagi bagi mereka yang sempat berswafoto bersama Mas BI dan Mas Sabrang. Kegiatan ini mudah-mudahan bisa menjadi alat asah bagi cara berfikir yang lebih lantip dan makin akurat atas tidak tertebaknya perubahan-perubahan apa yang ada di masa depan kelak. (Hilmy Nugraha)