TAK KENAL, maka tak sayang. Modal pertama untuk melebur menjadi satu masyarakat ekonomi kawasan adalah saling mengenal satu sama lain. Ini yang naga-naganya kecolongan dilakukan selama kurun 2-3 tahun terakhir dalam berbagai program internasionalisasi produk UMKM. Program sosialisasi MEA selama ini hingga saat ini sudah di tahun pertama pencanangan terlalu berfokus pada orientasi formalisasi produk. Mendesain warna-warni kemasan, membangun brand juga meregristasikan legalitas. Semua itu adalah standar normatif yang dipenuhi sebuah produk untuk diterima di pasar modern berjejaring luas.
Namun, apakah cukup standar normatif saja untuk membuat produk yang kita miliki berdaya saing regional? Diterima oleh penduduk manca, yang mereka berbeda bahasa, berbeda kebiasaan, berbeda selera dan berbeda gaya hidup? Orientasi terhadap kondisi pasar yang akan menjadi target persebaran produk kita adalah hal yang nampaknya luput atau setidaknya terlalu minim dikerjakan.
Tanpa pengetahuan yang baik tentang kondisi pasar, kita sulit membangun daya saing produk. Bayangkan saja kita membuat desain kemasan yang begitu warna-warni, sementara ternyata di negara tujuan, budaya desain mereka adalah tipe mono atau duo tone saja, akan terasa aneh, nyeleneh dan asing. Atau kita mengonsep brand kelas premium, nyatanya di negara yang kita sasar mayoritas adalah kalangan bersahaja, kaum menengah ke bawah.
Kita memang harus melek dulu, melihat sembilan negara tetangga kita di ASEAN seperti apa kondisi sosiologisnya. Bisa kita nyicil dari bab-bab yang sederhana untuk mulai kita pelajari, misalnya bab perbandingan harga-harga. Harga bahan bakar minyak di Thailand misalnya, lebih mahal dari Indonesia, kenapa sebab? Sebab Thailand tak punya sumber minyak mandiri seperti negara kita. Berbeda dengan di Malaysia, spesifikasi bahan bakar paling tinggi di negara kita adalah yang paling rendah di sana, RON 92. Dan harganya jauh lebih murah dari Premium RON 88 yang biasa kita konsumsi hari ini, bensin. Apa sebab? Sebab rantai pasok perdagangan minyak disana lebih pendek ketimbang di negara kita.
Lalu harga beras, harga ikan, harga daging sapi. Sebab pada program sosialisasi MEA yang selama ini gencar dilakukan tak diberikan informasi semacam itu, terpaksa jika kita ingin mendapatkanya, kita harus menyempatkan berwisata melancong ke tradisional market dan modern market yang ada di negara-negara tetangga. Itu baru mempelajari soal perbedaan harga. Belum mempelajari tentang perbedaan selera dan gaya hidup.
Kalau bukan kondisi ‘melek’, lantas apa yang membuat kita percaya diri merasa siap bergabung dalam MEA, menjajakan produk dan jasa kita melintasi batas negara di panggung ekonomi regional? Tentu bukan gambling peruntungan belaka bekalnya, bukan? [] Rizky Dwi Rahmawan