Amal sebagai Brand

Bisnis pada awalnya adalah transaksi tukar menukar kebutuhan. Hingga kemudian kebutuhan manusia makin berkembang dan kian neka-neko, sehingga bisnis menjadi sesuatu yang harus diilmui secara rumit. Untuk menghasilkan sebuah produk yang layak dibisniskan, kini tidak hanya butuh product building, tetapi juga membutuhkan brand building. Karena saat ini orang tidak hanya membeli produk, tetapi juga membeli brand.

Ada banyak faktor yang menyebabkan sebuah produk harus memiliki brand. Pertama, konsumen kini tidak hanya butuh fungsi dari produk yang mereka beli, tetapi mereka mempunyai kebutuhan baru yakni pengakuan atas kasta ekonomi mereka. Pilihan brand menentukan dimana kasta ekonomi mereka berada.

Kemudian faktor lainnya adalah, kian sengitnya persaingan sesama produsen. Dahulu ilmu produksi menjadi rahasia, tetapi sekarang era keterbukaan, siapa saja bisa membuat apa saja. Bahkan tips dari motivator bisnis adalah A.T.M (amati, tiru, modifikasi). Maka produk yang telanjang tanpa kemasan dan merk sebagai brand-nya, ia akan lebih mudah dilibas oleh membanjirnya kompetitior dari produk yang serupa, seharga dan sekualitas.

Maka bisnis branding menjadi tumbuh subur, karena kemasan dan merk yang mereka bangun haruslah menopang pertumbuhan brand dari produk yang mereka hasilkan. Maka yang terjadi sekarang bukan lagi tarung produk, tetapi tarung brand. Produk yang sama, tetapi kalah secara brand, bisa tenggelam dia.

Kompetisi membangun kualitas suatu produk sudah tidak bisa dielakkan, susul-menyusul inovasi produk membuat tidak ada yang bisa takabur merasa produknya terbaik. Sebab di era keterbukaan informasi, bahan-bahan untuk meramu inovasi demi inovasi kini tersedia dengan begitu terjangkau.

Namun, tidak kalah akal para pelaku bisnis tentang bagaimana terus membangun brand. Pada awalnya, brand berkaitan dengan presentasi kualitas sebuah produk, tetapi yang berkembang kemudian adalah brand dikaitkan dengan siapa profil pembuat produk tersebut. Walhasil kini populer apa yang diistilahi : social branding.

Jika ada produk yang sama kualitasnya, sama-sama terbaik, dari perusahaan A dan B. Tetapi perusahaan A rajin melakukan kegiatan amal sosial yang diekspose sedemikian rupa, sedangkan perusahaan B tidak, maka produk dari perusahaan A akan lebih laris dari produk perusahaan B.

Bagi orang yang tidak mempunyai kepentingan apapun, dikenal menjadi orang yang rajin beramal, rajin bersosial rasa-rasanya malu. Tetapi bagi orang yang sedang berkepentingan membangun brand, image dermawan adalah kail yang sakti yang untuk memancing peningkatan brand.

Begitulah, amal bukan hanya soal charity, tetapi amal bisa dimanfaatkan untuk alat membangun brand. Ketika fakta ini sampai kepada para konsultan bisnis, kemudian perusahaan dibimbing untuk bagaimana mengalokasikan dana CSR yang notabenenya adalah dana untuk bersosial diambilkan dari post anggaran marketing, bukan dari post yang lain. Memberi yang seharusnya adalah proses melancarkan aliran ekonomi, tetapi justru memberi menjadi alat tambahan untuk memaksimalkan penyerapan dan pemusatan arus ekonomi. [] Rizky Dwi Rahmawan

Datang Membawa Dosa

Ada dua orang, si A dan si B yang sama-sama berhutang 100 juta kepada seseorang. Kedua-duanya sangat miskin, tidak mungkin mampu membayar hutang itu. Si A datang dengan gagah dan pedenya “wahai, saya datang kemari mau melunasi hutangku kepadamu”, si pemberi hutang menyambut, “ya baik. berapa uang yang kamu bawa untukku?”, lagi dengan pedenya si A menjawab “aku bawa 50ribu”.
Sementara Si B datang dengan penuh rasa bersalah “wahai, maafkan saya, saya mengaku bahwa saya tidak bisa melunasi hutang-hutang saya, karena itu saya ridho kalau barang-barang yang saya miliki mau diambil, terserah”.

Dari tingkah dua orang itu, lalu bagaimana reaksi si pemberi hutang? Si A pun dimarahi habis-habisan “sampeyan punya uang 50ribu saja lagaknya mau melunasi hutang”. Sementara Si B, “ya sudah tidak apa-apa, aku berterima kasih kamu mau mengaku dan berani datang kepadaku”. Si B sedikit tersenyum mendengarnya, lalu si pemberi hutang melanjutkan ucapannya “tapi, sepeda motor bututmu di rumah aku ambil jadi milikku ya. hutangmu aku anggap lunas nanti.”

Apakah si B marah sepeda motornya diambil? Kalau marah ya namanya tidak tahu diri. Orang sepeda motor butut itu setimpal dengan lunasnya hutang dia yang begitu besar. Maka justru yang terjadi adalah dia merasa senang, “oh silahkan-silahkan, kalau perlu ambil tivi saya, lemari, perabot, saya berterima kasih sekali atas kemurahhatiannya”.

Begitulah, Si A adalah perumpamaan orang-orang yang datang kepada Allah membawa amal, membangga-banggakannya, merasa hasil ibadahnya sangat istimewa, padahal tidak ada nilainya dihadapan Allah. Sementara si B adalah perumpamaan orang-orang yang datang kepada Allah bukan menyetorkan amal, tapi datang membawa dosa dan rasa bersalah, “La ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzholimin”. Dengan itu, mudah-mudahan Allah membatalkan tagihannya atas dosa-dosa kita dengan tetap tidak mengingkari kemungkinan adanya modus penyeimbangan, yang semoga adalah seringan-ringan penyeimbangan.

Bagaimana agar mendapatkan modus penyeimbangan dari alam seringan mungkin? caranya adalah dengan setorlah hal-hal yang menuju keseimbangan alam, jangan menunggu alam menagih terlebih dahulu kepada kita. [] Rizky Dwi Rahmawan