Akhlak kepada Bos, Akhlak kepada Leluhur

Ada yang berpendapat bahwa berdoa melalui perantara ulama atau leluhur yang sudah berada di alam Barzakh itu tidak perlu. Diantara alasannya adalah karena Allah lebih dekat dari urat leher. Jadi, meminta langsung saja kepada Allah.

Betul, Allah lebih dekat dari urat leher. Karena itu pula, sebetulnya orang tidak perlu bekerja. Langsung minta ke Allah saja. Namun pasti pendapat seperti ini akan ditolak: Oh ya tidak, bekerja itu harus, karena rezeki itu harus ada ikhtiarnya.

Bekerja harus ada ikhtiarnya. Lantas berdoa memang tidak harus diikhtiari? Doa dan ikhtiar kita sekulerkan sedemikian rupa sih, sehingga cara berpikir kita yang salah memproduk cara pandang terhadap berziarah kepada ulama dan bersilaturahim kepada leluhur menjadi kelira-liru pula.

Betapa banyak orang mendapat rezeki bahkan tanpa wasilah ikhtiar. Ya, karena rezeki itu dari Allah. Dan Allah itu sangat dekat. Lalu, kenapa kita harus bekerja? Sebetulnya, bekerja itu hanya urusan akhlak saja. Akhlak alias kepatutan. Kepatutan dihadapan Allah, juga kepatutan dihadapan manusia.

Maka ketika kita memilih menjauhi ulama dan antipati kepada makam leluhur, pikirkan pula bagaimana kira-kira keadaan akhlak kita. Akhlak dihadapan Allah, akhlak dihadapan orang. Betapa senang Allah melihat akhlak anak-cucu seorang leluhur yang rajin berziarah dan berdoa. Apalagi jika sang leluhur itu adalah seorang pejuang agama yang tergolong kelompok syuhada, yang tetap hidup dan mendapat rezeki di sisi Allah sekalipun sudah wafat. Betapa indahnya orang-orang akan melihat seseorang yang rajin berziarah, berbakti kepada leluhurnya.

Maka yang harus digaris bawahi adalah, kalau mau jadi seorang agamis, hilangkan pikiran sekuler. Jangan pisahkan doa dan ikhitiar. Jagalah akhlak kepada leluhur, sebagaimana kita menjaga akhlak kepada bos ditempat kerja kita.

Kecuali kita tak mengimani kematian, menganggap mereka yang tak ada bersama kita berarti benar-benar tiada. Padahal, kita saja yang tak tahu kehidupan mereka, seperti bayi di perut ibu yang tak tahu kehidupan dunia dengan mal, gadget juga sosmed.[] Rizky Dwi Rahmawan

Dianggap Lunas Saja

Tidak pekewuhkah kita kepada Allah, ketika tiba saatnya dipersilahkan masuk ke surga-Nya dan menerima ridho-Nya sementara kita masih membawa hutang-hutang kepada-Nya? Dosa, kedholiman, kedurhakaan dan sikap lalai kita kepada Allah sesungguhnya adalah hutang kita kepada Allah. Hutang, yang tidak mungkin sanggup kita lunasi.

Betapa kita tidak bisa melunasi, bayangkan saja berapa rakaat sholat yang harus kita angsurkan kepada-Nya untuk membayar dosa atas maksiat mata kita? Bukan hanya berapa rakaat, tapi berapa level kualitas kekhusyukan yang harus kita setorkan? Pantaskah rakaat yang sekedar jungkat-jungkit ruku’ sujud dengan Pe-De kita mengantri untuk menyetorkan amal kita itu? Rasa-rasanya hanya rasa malu yang muncul ketika harus menakar kualitas sholat dan amal-amal kita lainnya.

Itu baru maksiat mata, lalu bagaimana dengan penebusan untuk dosa kekufuran mulut, kedzholiman tangan, kefakiran otak, kebodohan kaki, kerapuhan dada dan organ-organ lainnya? hanya satu kata : MUSTAHIL. Untuk kita bisa membayar lunas semua itu dengan amal-amal kita.

Perumpamaannya kita berhutang 100juta kepada seseorang. Karena tahu kita tidak mampu membayar, maka orang tersebut datang ke rumah dan membawa motor butut satu-satunya seraya berkata “Sudah aku anggap lunas saja hutangmu, karena kamu pasti tidak bisa membayar, tapi sepeda motormu ini aku bawa!”. Atas kejadian pelunasan ini, maka kita saksikan betapa murah hatinya si pemberi hutang di kasus ini.

Begitupun Allah seringkali melakukan modus penyeimbangan atas hutang-hutang kita kepada-Nya dengan hal-hal yang sama sekali tidak ada bandingannya dengan derajat dosa kita kepada-Nya. Maka pemahaman ini, hendaknya bisa menjadi titik tolak perbaikan akhlak kita kepada Allah sepertihalnya perubahan akhlak kita kepada pemberi hutang, sebelum dan sesudah dia menganggap lunas hutang kita yang sangat besar hanya dengan modus keseimbangan berupa sepeda motor butut kita diambil.

Setelah memahami ini, maka ketika kita menghadapi peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, ban bocor di tengah sawah malam hari misalnya, reaksi kita bukan ‘ngresulah’ menggerutu tetapi reaksi kita adalah “Untung cuma ban bocor, bukan terserempet truk”. Atau ketika jatuh sakit flu, reaksi kita “Untung cuma sakit flu, tidak harus sampai operasi bedah”. Demikianlah Allah murah sekali meminta kompensasi untuk hutang-hutang kita kepada-Nya. Sungguh Allah Maha Pemurah. [] Agus Sukoco