Adidaya ‘KW’

Amerika menjadi pusat supply kebutuhan dunia. Lalu ia menjadi negara Adidaya. Produk kebutuhan hidup yang tidak mampu dihasilkan oleh kearifan-kearifan lokal dikenalkan dan dikampanyekan oleh Amerika. Dari mobil hingga jam tangan. Dari mesin-mesin hingga fashion. Dunia menyambut dengan antusias, orang-orang penuh kebanggaan ketika memakai produk MADE IN AMERICA.

Amerika menjadi Adidaya yang ‘priyayi’. Kemewahan, keanggunan, ketidak-terjangkauan adalah ciri produk-produk yang mereka supply. Mewah, berharga mahal, high qualitylimited edition. Ditambah dengan kesan-kesan yang sengaja mereka bangun melalui film-film, box office dari Hollywood yang selalu menyuguhkan tema-tema superioritas Negeri Paman Sam. Tidak peduli kesan-kesan yang mereka ciptakan itu sesuai atau justru berkebalikan dengan aslinya.

Kesan superior adalah keunggulan. Namun, di sisi lain kesan superior juga adalah kelemahan. Amerika dengan superioritasnya merasa ‘jaim’ menyediakan supply bagi kebutuhan kelas menengah-kebawah. Kelemahan sang Adidaya inilah yang kemudian menjadi celah. Celah yang awalnya kecil, tapi kini menjadi air bah. Air bah membanjirnya produk-produk ‘kw’ yang harganya miring dengan label MADE IN CHINA.

Republik Rakyat China dengan kebijakan ekonominya, menangkap betul celah-celah pelung untuk mengangkat harkat negaranya. Hingga akhirnya kini mereka berhasil menjadi Adidaya baru dunia. Dimana-mana tersedia produk-produk dari Negeri Tirai Bambu ini, dulu hanya peniti dan benang jahit, sekarang fashion beraneka ragam. Dulu hanya komponen elektronik, sekarang hingga mesin-mesin pabrikasi besar. Dari urusan sparepart sampai bahan pangan, semua terpasok dengan baik, mudah dijangkau dimana-mana. Bukan hanya rantai pasok yang begitu menyebar, sampai harga yang begitu terjangkau, bahkan murahnya menakjubkan. Dari ‘kw-1’ hingga ‘kw-17’, semakin banyak kw-nya semakin miring harganya.

Tak terbayang jika hari ini produk-produk import dari Utara ini di stop. Hendak hajatan kita harus menganyam besek bambu, karena tak ada cething plastik. Hendak membeli peralatan elektronik haruslah merogoh kocek yang banyak, karena tak tersedia barang-barang ‘kw’ yang miring harganya itu.

Tak salah kalau RRC menjadi adidaya baru dunia, adidaya yang ‘nglesa’ bersedia melayani kebutuhan pasokan masyarakat kelas menengah ke bawah. Walau terlihat nominal recehan yang mereka mainkan, tetapi jangan salah, sudah terbukti mata uang mereka, Yuan, kini sudah sejajar dengan US Dollar dan Euro sebagai global currency reserve.

Hal yang harus kita renungkan adalah, sampai kapan negara ini menunggu kebaikan hati sang adidaya untuk mereka mau memberikan transfer teknologi kepada kita? Apakah hal itu bukan harapan yang akan sia-sia belaka? Atau jangan-jangan malah kita tidak menyadari bahwa mereka sebetulnya mempunyai kewajiban transfer teknologi kepada negara yang telah memperkaya pundi-pundi devisa mereka. Tahunya kita wajib membeli produk mereka, sebab kita mustahil bisa menghasilkannya sendiri.

Kita bisa mengambil inspirasi dari para adidaya tersebut, bagaimana mereka berhasil melayani dunia dengan cara mereka. Lalu kita berusaha untuk menjadi produktif dengan cara kita sendiri. [] Rizky Dwi Rahmawan