MAMPIR MEDANG (55) : Alat dan Pemiliknya

Apa yang kita kenali selama ini sebagai diri kita sebetulnya bukanlah diri kita yang sesungguhnya. Yang kita kenali itu sebetulnya hanyalah alat bagi diri kita.

Alat apa saja yang digunakan oleh bukan pemiliknya maka kemungkinannya adalah riskan untuk rusak. Kalaupun tidak, dalam penggunaannya tidak maksimal.

Dalam pengertian tersebut, pasrah sesungguhnya adalah proses penyerahan sepenuhnya alat, baik itu berupa badan serta rasa yang ada dalam diri kita kepada pemiliknya, yakni diri kita.

Dengan kata lain, mengembalikan alat bagi diri kita yang selama ini kita prasangkai sebagai diri kita kepada diri kita sesungguhnya.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (54) : Rumah di Atas Pohon di Tengah Kota

Di beberapa daerah tertentu di Papua orang-orang membuat rumah di atas pohon yang sangat tinggi. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan keadaan alam di sana. Sebab kalau mereka membuat rumah di bawah, mereka rawan dari ancaman binatang buas juga dari nyamuk berbahaya yang hidup hingga ketinggian tertentu.

Berbeda keadaannya dengan orang yang hidup di tengah kota. Menjadi aneh jika mereka membuat rumah di atas pohon yang tinggi. Sebab tidak ada alasan untuk mendasari.

Dalam konteks demokrasi, Barat menganutnya sebab berangkat dari keadaan sosial di sana. Dimana orang satu sama lain sama kedudukannya, sebab mereka semua sama-sama pendatang.

Sementara, kondisi sosial di Indonesia berbeda dengan di sana. Sebab kita adalah Bangsa tua yang memiliki sangat kaya warisan ijtihad kepemimpinan. Maka menjadi aneh jika kita melakukan praktek demokrasi dengan sekedar ikut-ikutan Barat saja.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (53) : Anugerah Kertas, Kuas dan Cat

Kalau saya guru, anda murid. Lalu saya memberi anda kertas, kuas dan cat maka apa yang Anda pahami? Anda pasti langsung paham bahwa maksudnya adalah saya menyuruh Anda menggambar. Bukan menyuruh yang lain.

Dalam konteks Bangsa Indonesia, kita dikasih tanah subur, maka apa yang kita pahami? Seharusnya kita paham bahwa kehendak Tuhan adalah kita disuruh mengeksplorasi sumber daya alam, menanami dan seterusnya.

Tetapi sebab kita tidak nyambung dengan Tuhan. Malah kita sibuk meniru-niru negara lain. Itu seperti murid diberi kertas, kuas dan cat tapi malah digunakan untuk menari sebab terbawa ikut-ikutan temannya yang lain yang oleh Pak Guru diberi Selendang.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (52) : Sukses Manusia, Sukses Tuhan

Tidak diciptakan jin & manusia melainkan untuk beribadah. Ibadah berupa pengabdian berbentuk apa saja, termasuk bekerja keras.

Kenikmatan manusia seharusnya adalah ketika sedang menjalani kodratnya sebagai Abdulloh, yakni mengabdi.

Maka suksesnya manusia adalah ketika ia bisa menikmati kerja keras yang ia jalani, pengabdian yang ia kerjakan.

Kalau kaya atau tidak lagi miskin, itu bukan suksesnya manusia, sebab itu regulasinya Allah. Menjadi kaya atau menjadi tidak lagi miskin itu bukan suksesnya kita, itu suksesnya Allah.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (51) : DIJENGUK REMBULAN

Tuhan menyuruh manusia ‘ngekost’ di bumi untuk menempuh sebuah tarbiyah atau pendidikan hidup. Sekalipun melepas untuk ngekost, tetapi Dia senantiasa dipenuhi rasa ketidaktegaan.

Maka kepada siapa saja, Dia menyuruh menjenguk keberadaan kita di Bumi. Ulama dan ustadz hadir untuk untuk menjenguk kita.

Rembulan dan bintang hadir juga untuk menjenguk kita. Walaupun keperluan mereka hadir untuk menjenguk kita, tetapi kehadiran mereka memberikan manfaat bagi sekalian alam.

Sebab hadirnya rembulan, alam semesta menjadi diterangi oleh cahayanya, geliat gravitasi menguntungkan para nelayan.

Sepertihalnya kalau Bupati datang berkunjung ke rumah, tetangga mendapat bagi-bagi bingkisan, jalan berlubang diaspal-aspal. Sekeliling terahmati oleh sebab mekanisme dikunjunginya kita oleh Sang Bupati.

Begitulah rahmat bagi sekalian alam tercurahkan sebab adanya kita di sini. Sehingga Tuhan menyuruh ciptaan-Nya hadir menjenguk mengunjungi.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (50) : DAYA IDENTIFIKASI KENABIAN

Kalau kita tahu Nabi Muhammad itu Nabi, sebab Bapak, Mbah, Buyut kita sudah menginformasikan kepada kita hal tersebut.

Tapi bagaimana para sahabat mengetahui dan kemudian mau mengimani Nabi Muhammad sebagai Nabi?

Tidak seperti hari ini, kala itu sejarah belum menggaransi kenabian Nabi Muhammad benar-benar Nabi.

Apakah kita hari ini mengimani kenabian Nabi Muhammad sebatas sosok beliau sebagai produk sejarah? Atau kita telah memiliki parameter sebagaimana para Sahabat dahulu memiliki daya identifikasi kenabian?.

(Diolah dari: Agus Sukoco)