MAMPIR MEDANG (85): Memang Bukan Alamat Persisnya

Kalau untuk listrik yang tidak hidup disebutnya mati. Tetapi kalau untuk manusia, tidak. Mangkat, berpulang, dipanggil oleh Allah, dll.

Sebab memang manusia yang sirna dari dunia tidaklah ia kemudian lenyap. Melainkan ia berpindah ke sebuah tempat entah di alamat dan di dimensi mana yang kita tidak tahu.

Yakin ada, tapi tak tahu di mana alamat persisnya. Nah, adanya orang pergi berziarah kubur adalah dalam rangka berupaya untuk mendatangi.

Datang tidak pada alamat persisnya memang, tetapi setidaknya di situ adalah sejauh-jauh alamat yang masih bisa kita jangkau.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (84): Repot Kekurangan Waktu

Bagi orang pada generasi kakek-nenek dan bapak-ibu kita, setiap profesi pekerjaan adalah bernilai olahraga. Penderes membutuhkan aktivitas fisik, guru sekalipun dituntut banyak jalan kaki. Oleh karenanya, bisnis fitnes tidak marak seperti hari ini.

Pada era itu pula, kegiatan kesenian masyarakat bermuatan toriqoh. Orang berkesenian dalam rangka menempa diri, sebagai proses tirakat atau riyadhoh. Sehingga ada atau tidak ada panggung, pertunjukkan kesenian dikerjakan dengan penuh totalitas.

Pantas saja hari ini hidup kita terasa begitu repot kekurangan waktu, sebab disamping harus mengerjakan profesi mencari uang, kita masih harus melakukan olahraga. Sebab mengerjakan kesenian sebatas misi aktualisasi diri atau sekedar hoby, sehingga masih membutuhkan ikut di dalam majelis toriqoh.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (83): Lalat dan Kotoran Sebadan

Reaksi seseorang yang sedang berdiam lantas tiba-tiba ada seekor lalat menclok di badannya adalah meneplek lalat itu dan mengusirnya.

Lalat harus diperlakukan seperti itu, sebab badan lalat berlumur kotoran. Sebelum hinggap di tubuh kita, mungkin ia telah hinggap di tong sampah, comberan dan tempat-tempat kotor lainnya.

Apabila sikap kita terhadap lalat saja segalak itu menepleknya, apakah sikap kita terhadap diri kita sendiri juga demikian? Bukankah kalau kejelekan-kejelekan pribadi kita ditampakkan, sesungguhnya kita berlumur kejelekan dan keburukan?

Bagi lalat mungkin kita adalah kotoran sebesar badan, ia nyaman saja hinggap sepertihalnya ia hinggap di comberan dan tong sampah.

(Diolah dari: Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (82): Meralat Masa Lalu

Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Kalau yang disebut masa lalu adalah kronologis peristiwanya.

Tetapi, Tuhan memberi pada manusia fitur istighfar. Dengan istighfar, masa lalu semestinya bisa diralat, sebab istighfar memuat penyesalan, memuat keinginan untuk membatalkan sesuatu yang buruk di masa lalu.

Yang diralat lewat amalan istighfar yang sungguh-sungguh bukan peristiwa masa lalu. Tetapi dampak buruk yang diakibatkan dari kesalahan masa lalu itulah yang kita munajatkan untuk mudah-mudahan menjadi batal.

(Diolah dari : Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (81): Jasa Iblis

Memperjumpai Maiyah adalah anugerah. Atas setiap anugerah kita tidak boleh melupakan jasa pengantarnya.

Kalau tidak ada orang yang menjadi wasilah untuk perjumpaan kita dan Maiyah maka kita tidak mengenal Maiyah. Atas jasa orang yang menjadi wasilah perjumpaan dengan Maiyah itu kita harus mengucapkan terima kasih.

Kalau orang itu tidak lahir ke muka bumi, maka tidak ada proses wasilah perjumpaan itu terselenggara. Kalau demikian, kita juga harus berterima kasih kepada Ibu-Bapaknya.

Ibu-Bapak lahir berkat ada Nenek-Kakek, kalau begitu kita harus berterima kasih kepada mereka juga. Begitu seterusnya sampai Nabi Adam. Maka, perjumpaan kita dengan Maiyah adalah atas jasa Hawa-Adam juga.

Tidak berhenti di situ, Hawa-Adam tidak turun ke bumi kalau tidak memakan buah kuldi. Hawa-Adam tidak akan memakan buah kuldi kalau bukan karena skenario penghasutan Iblis. Apa berarti kita juga harus berterima kasih kepada jasa Iblis.

Jangan berhenti di situ. Sebab Iblis tidak dicipta kecuali oleh Allah. Maka jasa kita bertemu Maiyah harus sampai pada rasa syukur berterima kasih kepada Allah.

(Diolah dari : Agus Sukoco)

MAMPIR MEDANG (80): Berhati-hati dan tetap Memohon Perlindungan

Jalan raya makin padat. Dalam berkendara kita perlu untuk selalu berhati-hati. Segala upaya harus kita lakukan dalam rangka berhati-hati di jalan.

Hati-hati adalah kewajiban yang harus kita kerjakan sebagai pengendara yang mendambakan keselamatan. Sayangnya, tidak semua orang memilih untuk berhati-hati di jalan. Kerap seseorang menjadi apes di jalan karena korban ketidak hati-hatian pengendara yang lain.

Begitulah, di satu sisi kita harus berhati-hati, di sisi lain harus senantiasa memohon perlindungan Allah dari ketidak hati-hatian orang lain.

(Diolah dari : Agus Sukoco)