Roller Coaster Kesusahan-Kegembiraan

Setiap orang adalah narasumber. Sebab pengalaman berproses yang dialami seseorang adalah ayat-ayat Tuhan yang tidak berharokat yang mestinya tidak satupun dilewatkan dari proses mengambil pelajaran. Masih memakai zoom untuk virtual forum, pada selasaan kali ini (28/04/2020) penggiat yang kebagian menjadi narasumber adalah Azis dan Fikry.

Work from home dimanfaatkan oleh Azis untuk mempraktekkan ilmu yang dia peroleh dari Sekolah Alam Cilacap tempat kedua anaknya menimba ilmu. Ilmu yang dimaksud yakni menyemai benih sayuran dengan media gedebog pisang (kulit pohon pisang).

Bagi si anak, kegiatan pembelaran ini berguna untuk memenuhi tugas belajar dari sekolah. Bagi si orang tua, kegiatan belajar ini adalah saluran kegiatan positif untuk eh siapa tahu angan-angannya terwujud. “Ada loh, orang yang hidup dari tanaman sawi. Kebunnya tidak luas, tetapi tiap hari panen, tiap hari ia jual sendiri ke pasar. Tanpa perantara”, ujarnya. Aih, siapa tidak kepincut menjadikan itu angan-angan coba, tiap hari panen, tiap hari menjual dan tiap hari mendapatkan uang.

Kegiatan bisnis tetap berjalan. Tambak udang vanamei yang ia geluti sedang terdampak lesu. Terpaksa ia harus merumahkan dua orang karyawannya. Kegelisahan tak berbeda jauh diungkapkan sang narasumber kedua, Fikry. Bagaimana ia mengusahakan dengan maksimal agar karyawannya di Studio Foto tidak sampai dirumahkan.

Ia pun memakai skala prioritas, yang paling harus dipertahankan adalah karyawan yang mempunyai tanggungan keluarga. Di tengah dampak sepi usaha, ia masih bersikukuh memegang value, “Mosok setiap kali mendapat omzet gedhe, Saya yang paling gedhe menikmati. Ini keadaan sedang begini, mosok Saya cari aman sendiri. Juragan capa apa?”, ungkapnya.

Fikry juga sharing tentang pengalamannya bergaul dengan big bos-big bos bisnis telekomunikasi. Terkait recovery keadaan hari ini, ia berpendapat bahwa bisnis-bisnis besar ketika sudah membaik akan memberi dampak yang lebih signifikan. Misalnya ada 6-7 perusahan telekomunikasi dengan perputaran 7-10 M perbulan membaik keadaannya, dampaknya baru akan sebanding kalau itu pedagang rumahan, butuh ribuan jumlah usaha. Oleh karena itu, peran pemerintah membuat aturan-aturan yang mendukung geliat bagi perusahaan nantinya sangat berpengaruh.

Dari realitas usaha, proyeksi keadaan, kemudian bergeser ke realitas berkomunitas. Ia mengaku kemampuan berbagi untuk sesama sudah sangat terbatas. Tapi ia komit, bentuk bantu teman yang ia lakukan adalah kalau ada teman yang jualan di whatsapp misalnya, ia upayakan untuk ikut nglarisi.

Hari ini ‘semua’ orang jualan di akun masing-masing. Entah meningkat berapa kali lipat. Sedangkan jumlah orang yang mampu beli menurun. Sebab masing-masing tentu saja memperketat skala prioritas belanjanya.

Penggiat lain merespons, Anggi, ia bercerita tentang ibunya, “Ibuku tuh orangnya nggak enakan sama orang. Jadi kalau ada yang jualan ya selalu dibeli”. Jadi terbaca, segmentasi penjual dadakan di era pandemi setidaknya ada dua: 1) orang yang ingin bantu teman, 2) orang yang nggak enakan. Mungkin masih bisa dianalisis lagi berapa lapis segmen lain yang belum terdeteksi.

Kemudian, Rizky merespons. Di balik kabar sedih-sedih di atas. Ada kabar gembira yang bisa kita kulik dari era Pandemi ini. Setidaknya ada dua: 1) Orang sekarang berbondong-bondong untuk hidup bersahaja. Jadi, kita yang sudah terbiasa hidup alakadarnya selama ini, gagap gaya hidup, minim ornamen dan fakir piknik, sekarang jadi banyak temannya. Enggak perlu minder lagi. Lalu, 2) Nilai uang meningkat berkali lipat. Sama-sama 100ribu, hari ini lebih terasa berharga dibanding beberapa bulan lalu. Jadi, coba buka lagi peluang-peluang usaha masa lalu yang malas mengambil karena cuan sedikit. Jangan-jangan margin yang remah-remah hari ini begitu berharga.

Pembahasan yang mestinya membikin kepyar malahan menjadi agak sepaneng. Sebab memang begitu dinamisnya realitas yang mesti dihadapi bagi beberapa orang saat ini betul-betul nyata adanya. Namun ada kenyataan yang dienyam secara berbeda pula. Febri dan Anjar misalnya, mereka masih melihat disekelilingnya, masyarakat masih nampak biasa saja. Tetap bepergian, tetap meramaikan pasar. Apa yang tidak normal dari keadaan ini? Itu mungkin yang terpikir dibenak mereka.

Yah, begitulah orang Indonesia, yang oleh Mbah Nun disebut ndemenake alias nyenengin. Sudah DNA-nya orang kita untuk membawa diri dengan baik-baik saja. Sebut saja pengalaman sehari-hari masing-masing kita pasti pernah mengalami, ada orang bertamu ke rumah kita, lalu kita menawarinya makan, jawabannya pasti menolak dengan keras, “Ah, sudah terima kasih. Masih kenyang. Baru saja makan”. Mana tahu orang itu tadi belum sarapan atau tadi malam berangkat tidur dengan lupa makan? Nyenengke tenan.

Lebih nyenengke lagi apa yang diceritakan oleh Huda. Atensi dia justru tersedot oleh pemandangan disekeliling rumah yang kebetulan lingkungan alim-alim. Orang terbelah antara aliran ibadah di masjid, dan ibadah di rumah. Gimana nggak nyenengke, di tengah roller coaster ekonomi, kondisi tidak stabil yang sering berubah mendadak, masih saja ada orang-orang yang dengan selow meributkan agama pada sisi-sisi yang rentan eksistensialisme.

Lepas dari semua itu, ini kondisi mungkin masih berubah dengan serba cepat. Tak perlu pusing kita mandeg memikirkian suatu hal. Cepat membaca keadaan. Cepat mengambil sikap. Itu lebih memberdayakan. (Rizky D. Rahmawan) 

Tidak ke Masjid sebagai Trigger

Masjid-masjid ditutup. Tapi kok mal-mal tetap buka? Ya, masjid dan mal memang menganut sistem nilai yang berbeda. Mal itu dibangun untuk how to earning money. Sedangkan masjid, meskipun punya earning pahala effect, ia memiliki nilai yang dijunjung lebih utama dari itu, yakni wahana edukasi bagi umat.

Kalau sekolah sudah berubah dari public good menjadi privat sector, masjid tetap setia menggelar pengajian-pengajian nirbiaya. Bahkan kalau di desa-desa, konsekuensi logis dari panitia menggelar pengajian adalah wajib menyiapkan hidangan snack. Tentu dengan pelbagai model penyelenggaraannya, menggunakan uang kas atau mengorganisasi gotong royong masyarakat.

Menyoal masjid sebagai wahana edukasi masyarakat, di hari-hari pandemi ini formula edukasinya berbeda. Bukan melalui pengajian, melainkan melalui menggembok pintu-pintunya. Ini adalah pengalaman langka yang mungkin hanya akan saya alami sekali seumur hidup.

Ketika Mas Sabrang ditanya, apa pendapatnya tentang ditutupnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, ia merespons, kalau kita membaca sejarah, hampir semua sejarah wabah itu berasal dari perkumpulan keagamaan. Hal itu pula yang terjadi pada Covid19 ini, di Korea episentrum bermula dari gereja. Di Malaysia terbanyak dari Ijtima’ Jamaah Tabligh.  

Dari dua Masjid Suci Haramain sampai Langgar di kampung-kampung melakukannya. Setelah Adzan ditutup dengan shallū fī buyūtikum dan kemudian tidak ada iqamat. Orang-orang kemudian memilih ridha untuk sholat di rumah sementara waktu.

Yang mendasari kesediaan itu adalah keyakinan bahwa meskipun sholat dikerjakan di rumah, tetap kok pahala mengalir. Urusan akan tetap dihitung 27 grade atau dapat reguler grade, hanya Allah dan malaikat-Nya yang tahu. Andai pahala dikortingpun, insyaallah tetap ridho, anggap saja ini dalam rangka ikut urun keprihatinan nasional. Toh, Allah itu maha pemurah, khusnudzon saya kok yang terbiasa ke masjid sholatnya, tetap diberlakukan grade yang sama meski hari-hari ini harus sholat di rumah, 27.

Keyakinan yang mendasari berikutnya untuk memiliki kesediaan tidak sholat di masjid adalah. Dengan saya sholat di rumah, berarti saya nol resiko dari potensi membawa virus dari luar. Sebab resiko kesehatan bukan hanya terhadap dirinya sendiri, melainkan keluarga seisi rumah juga mestinya dihitung.

Peran edukasi yang masjid berikan adalah, kalau untuk urusan ke masjid saja engkau berhitung betul tentang kemurahan Allah dan antisipasi resiko penularan wabah, maka semestinya engkau lebih berhitung lagi ketika memutuskan harus pergi-tidak pergi ke pasar, untuk urusan pergi-tidak pergi nongkrong dan seterusnya.

Masjid memberikan trigger supaya kita memiliki jiwa dan nalar pikir yang berhati-hati.  (Rizky D. Rahmawan)

Masa Krisis Selalu Melahirkan Pahlawan

Anjuran awal untuk Stay at Home kemaren hanya dua minggu. Wajar bila kuda-kuda kesiapan kita ‘masuk gua’ hanya sepanjang rentang itu. Setelah hari ini memasuki minggu ke-5 Indonesia memasuki masa ‘hidup enggan, lockdown tak mau’ kabar kawan-kawan dari beberapa kota mengatakan orang-orang mulai berhamburan ke kota. Jenuh alasannya.

Selain jenuh alasan utama, alasan lain yang mungkin terbesit enggan terungkap adalah karena sediaan dapur yang mulai kerontang. Terutama kawan-kawan aliran ‘Ora obah, ora mamah’, yakni diantara kaum daily worker.

Mas Sabrang pada sebuah sesi virtual gathering menyampaikan. Respons menghadapi krisis itu terbagi dua, satu merasa diri menjadi korban, kedua mengambil sikap jadi pengubah keadaan. Nah, ini jenis alasan berikutnya lagi. Orang-orang yang semula memilih pasif mengamankan diri agar tetap selamat meski menjadi korban, kemudian seiring berjalannya waktu mulai sadar bahwa ia harus bangkit dari selimut, mengambil peran, mengubah keadaan.

Begitulah, memang manusia adalah makhluk yang dianugerahi oleh Allah kemampuan untuk cepat beradaptasi. Kalau kelamaan diam, badan pegal-pegal jadinya. Setelah memotret keadaan maka naluri untuk mengambil sikap pun muncul.

Tentu saja kita bukan orang-orang yang berada di pusaran kekuasaan. Bukan ring satu dari pemegang the strong intervensi. Kita hanya bisa sekedar menuruti naluri. Kadarnya ndeder-ndeder perubahan keadaan. Dalam segala levelnya.

Atas apa yang kita kerjakan hari ini setelah memutuskan bangkit dari berdiam diri, resmi untuk mengambil sikap mengubah keadaan, kita hanya bisa berharap, semoga kelak beberapa waktu ke depan, semuanya berbuah signifikan. Biar sejarah yang akan menutur heroisme kita, biar momentum yang menggulungnya jadi bola salju perubahan besar. Tetap kita bertindak dengan berhitung kapasitas diri dan hitung-hitungan sumber daya yang sanggup kita jangkau.

Tak perlu terobesesi jadi pahlawan keadaan. Sebab obsesi seringkali membuat jadi kita kesiangan. (Rizky D. Rahmawan)

Alat Ukur Kemalangan

Hidup saya kok begini amat, yah! Begitulah seringkali orang menggerutu atas keadaan yang menimpa berupa kemalangan terhadap dirinya. Takdir beruntung dan takdir malang adalah dua sisi mata uang yang mesti dihadapi setiap orang di dalam mengupayakan apapun saja. Orang yang maunya beruntung saja, enggan mendapat kemalangan, seringkali berujung pada seseorang jadi tidak melakukan sesuatu.

Padahal, bagaimana bisa mendapatkan sesuatu kalau seseorang enggan melakukan sesuatu? Oleh karenanyalah banyak potret disekeliling kita, orang yang banyak takdir malangnya justru nasib hidupnya lebih beruntung dibanding orang lain disekelilingnya. Ia  nandur lebih banyak, ia panen lebih banyak pula.

Lagipula, apakah malang itu adalah benar-benar malang dalam artian kondisi yang kita hadapai memang benar-benar menyedihkan? Berapa sering orang merasa malang hanya sebab ia membayangkan ekspektasi yang terlalu tinggi, sedangkan yang mampu ia gapai terlalu rendah dari yang ia bayangkan. Maka berceletuklah ia, begini amat, yah!

Maka ada baiknya memang kita memperbanyak alat ukur kemalangan. Jangan kuper. Itu tidak sehat. Kenali proses orang lain, teliti, amati sebanyak mungkin orang. Oh iya yah, di sana ada yang berproses lebih keras, tetapi hasilnya jauh lebih sedikit. Oh iya yah, kalau Cuma malang begini mah belum ada apa-apanya ternyata.

Kita butuh memandang lebih luas atas nasib dan takdir yang berlangsung di luar diri kita. Setidaknya itu bisa menjadi modal membuat cara pandang yang tidak cupet dan sempit atas apa yang sedang kita hadapi. Sebab kita butuh membuat keputusan-keputusan kecil supaya kita tidak berhenti. (Rizky D. Rahmawan)

Gotong Royong adalah Kunci

Gotong Royong adalah kunci. Sayangnya selama ini tidak ada yang mengerjakan mensistematisasi gotong royong. Yang ada gotong royong hanya dijadikan jargon-jargon. Begitu Mas Sabrang menyampaiakan pada sebuah edisi Maiyahan di Majelis Mocopat Syafaat.

Saya sepakat dengan hal tersebut. Mensistematisasi memang bukan pekerjaan mudah, tidak pula keren. Yang keren itu teriak-teriak dengan jargon yang bagus-bagus yang indah-indah. Misalnya “Ayo Nukoni barange balane dhewek!”, sebuah jargon tentang menggotong kemajuan kemandirian bersama-sama. Akan tetapi, jargon itu tidak serta merta membuat bala alias teman kita itu menjadi maju, kalau ia tidak disentuh dengan sistematisasi misalnya melalui scale up business step. Tanpa itu, melarisi dagangan teman hanya sebuah bentuk romantisme kesetiakawanan belaka, “Ini loh saya sudah menemani teman saya membangun bisnis”.

“Menemani” itu juga ada bentuk sistematisasinya. Kalau tahapnya masih gagasan, cara menemaninya berbeda ketika tahapannya sudah uji coba jualan. Saat masih gagasan cara menemaninya adalah membantu membreakdown menjadi konsep yang realistis dikerjakan. Kalau tahapannya uji coba jualan cara menemaninya adalah dengan memberi testimoni syukur-syukur menghimpun testimoni orang. Pun begitu ketika tahapannya sudah pada tataran bisnis yang established atau lebih tinggi lagi pada posisi di mana saat itu bisnis sudah layak direplikasi.

Meskipun kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk dapat bekerja secara individual, akan tetapi siapa saja menurut saya akan sepakat bahwa kita butuh bersama satu sama lain untuk mengerjakan hidup yang bisa tumbuh dan meningkat.

Itulah kenapa berkomunitas menjadi keniscayaan. Namun begitu, di dalam komunitas misi menumbuhkan diri tidak boleh kalah oleh tuntutan solidaritas dan kesetiakawanan yang sekedar romantisme semua. Tidak boleh pula kita terjebak menerka bahwa majunya sebuah komunitas adalah ketika ia mempunyai banyak padatan-padatan, bendera-bendera dan kesibukan-kesibukan yang makin banyak.

Majunya sebuah komunitas adalah ketika sistem-sistem dibentuk bertahap dan meningkat hingga akhirnya tercipta iklim yang kondusif untuk masing-masing menumbuhkan diri. Iklim kondusif pada tataran awal misalnya terlihat di mana anggota komunitas memiliki keleluasaan untuk uji coba hal baru. Pada tataran lebih lanjut adalah ketika hasil eksperimentasinya itu bisa mendapatkan bentuk-bentuk dukungan yang relevan sesuai apa yang benar-benar ia butuhkan.

Di sinilah paradigma sedekah itu melihat siapa yang sedang butuh, bukan melihat apa yang sedang ingin kita beri menjadi penting. (Rizky D. Rahmawan)

Pilih Digaji atau Survival

Manusia banyak tipologinya. Ada manusia nilai, ada manusia kuasa dan ada manusia pasar. Masing-masing tipologi memiliki tugas peran-peran yang berbeda-beda sesuai apa yang difadhilahkan oleh Tuhan. Kalau berhasil menjalankan peran itu, dijaminlah rezekinya oleh Tuhan, kalau tidak berhasil menjalankan apa yang menjadi perannya, terpaksa mau tidak mau harus mencari cara sendiri untuk survival hidup.

Manusia nilai itu gajinya dari hasil dia menjaga nilai. Bentuk menjaga nilai diantaranya ialah menemukan, merumuskan, memformulasikan, membagikan, mengartikulasikan, dan lain-lain.

Sedangkan manusia kuasa itu gajinya dari hasil dia mengerjakan otoritas. Jika terhadap otoritasnya ia tidak menghasilkan kemanfaatan terhadap teritori pengaruhnya, maka ia tidak digaji.

Kemudian, manusia pasar itu dapatnya laba. Selisih dari nilai tambah yang ia buat dikurangi biaya, itu namanya laba. (Rizky D. Rahmawan)