Subsidi Harapan

Orang desa jaman dulu akrabnya dengan benih dan semaian. Dan orang modern jaman sekarang akrabnya dengan saldo dan credit remaining. Benih tanaman kalau disemai, lalu tumbuh berikutnya ada yang bisa dipanen dan ada yang bisa dijadikan benih lagi. Begitulah mendaur terus-menerus. Sedangkan saldo, tidak begitu. Semakin dipantengin, semakin berkurang terus saja dia.

Kalau sebuah keluarga mendapat taruhlah sepuluh kilo beras bantuan. Itu bernilai benih atau saldo? Jawabannya adalah saldo. Atas bantuan yang keluarga itu peroleh, kewajiban pertama adalah bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada perantara pemberi rezeki yakni si penyalur bantuan. Kewajiban berikutnya adalah untuk keluarga tersebut berhitung, atas bantuan yang telah diperoleh tersebut bisa ditanak menjadi nasi untuk berapa kali masak. Lalu, dalam setiap kali menyiapkannya untuk disantap harus banyak, sedang atau sedikit.

Maka setelah menempuh kewajiban tersebut, sebuah keluarga akan mempunyai konstruksi doa yang lebih presisi untuk dimunajatkan kepada Allah. “Ya, Allah, hari ke-10 nanti berikanlah rezekimu lagi supaya kami bisa terus menanak nasi dan bersantap makan”.

Setelah menengadahkan tangan, maka doa berupa langkah-langkah upaya menanti untuk segera dikerjakan. Sebab tidak mungkin seseorang hanya berpangku tangan menunggu edisi bantuan berikutnya. Mana tahu Allah menyiapkan rezeki berikutnya melalui jalur yang berbeda.

Manusia adalah makhluk berbadan, berpikiran, sekaligus ber-Ketuhanan. Memberi bantuan supaya saudara kita yang lain bisa makan bukanlah puncak dari segala-galanya. Hal itu tidak membuat masalah selesai seketika. Memang urusan makan untuk mereka beres, tetapi pengetahuan bahwa sisa untuk mengisi periuk ada batasnya akan habis lagi adalah sumber kecemasan tersendiri.

Manusia butuh disubsidi makannya. Lebih dari itu, manusia juga butuh disubsidi harapannya. Itulah mengapa anjuran solidaritas sosial dalam bentuk bantuan bahan pangan harus berjalan beriringan dengan bantuan penyiapan lumbung hidup berupa benih dan semaian untuk tanaman halaman.

Supaya sebuah keluarga tak terforsir cemas pada pikiran saldo beras dan minyak goreng, tetapi setidaknya ada pengalihan kecemasan menjadi harapan pada perhatiannya terhadap ketersediaan tanaman pangan di halaman. Karena dari waktu ke waktu, kalau dirawat dengan baik, tanaman-tanaman itu bisa terus menerus diremajakan keberadaannya.

Dalam situasi yang berat, apabila orang masih bisa memelihara harapan maka masalah-masalah lebih mungkin diatasi. Hal-hal memberdayakan lebih masuk akal untuk dikerjakan. Peluang perubahan menjadi lebih besar untuk terjadi.

Komunitas di berbagai daerah bahkan sudah mempersiapkan atisipasi kalau-kalau beras nanti menjadi langka. Jika masa itu beneran terjadi, entah tanaman porang, atau berbagai polo pendem alias umbi-umbian akan menjadi primadona. Secuil lahan dan skill alakadarnya untuk bisa menanam akan menjadi begitu berharga.  (Rizky D. Rahmawan)

Spirit DIY!

Pemandangan yang saya dapati sewaktu Saya berada dalam satu rombongan dengan Letto pada sebuah roadshow di Sulawesi Barat adalah all about keakraban. Yang nampak akrab bukan hanya antar musisi Letto, tetapi juga keluarga dan anak-anaknya. Setiap ngumpul sebelum manggung, kalau ada video call dari anak salah satu dari mereka, maka ramai semuanya menyapa. Senang tentu si anak, sebab om-nya banyak.

Sebagai komunitas, Mas Sabrang menyampaikan bahwa value ‘kebersamaan’ adalah yang paling tinggi dijunjung diantara mereka. Baru kemudian berikutnya karya, produktivitas dan seterusnya. Maka pantas, sejak 2004 mereka bersama-sama, tidak pernah ada ‘bongkar-pasang’ anggota.

Value adalah sebuah fundamental dari apa yang dimiliki oleh komunitas. Sedangkan, family holiday, buka puasa bersama, camping, touring, dll adalah ekspresinya. Ada fundamental komunitas, ada ekspresi komunitas. Berapa banyak dari kita yang berkumpul bersama tetapi hanya sibuk pada urusan ekspresi? Sebab tidak bisa mengurai dua itu, sehingga banyak orang memilih mengambil jalan pintas: Lebih mudah mengerjakan segala sesuatu sendiri, tambah ruwet doank kalau dikerjakan bareng-bareng. Ya iyalah, bagaimana tidak ruwet kalau hari-harinya disibukkan hanya untuk urusan ekspresi-ekspresi saja.

Nah, menghadapi situasi seperti hari-hari krisis pandemi ini, ada aktualisasi dari value komunitas yang saat ini mendapatkan challenge. Apa challenge-nya? Masih kata mas Sabrang, ketika ia mendifinisikan apa itu komunitas. Apa itu komunitas? Komunitas adalah ia yang mampu bertahan sendiri.

Ya, mencukupi apa-apa yang merupakan kebutuhan dari lingkaran terkecil sehari-hari kita pada masa-masa yang lalu tidaklah penting. Akan tetapi, siapa yang tahu tentang keadaan setengah tahun, setahun atau dua tahun mendatang? Perhitungan hari ini atas ketidakstabilan kondisi masyarakat yang kita alami memaksa kita juga harus berfikir tentang ancaman scarcity alias kelangkaan.

Sekarang banyak yang beternak ayam, kalau ingin ayam tinggal beli. Pemerintah selalu mengimpor gula dan garam dalam jumlah yang fantastis, sediaan di warung selalu ada. Sayuran? Kita tak perlu melihat wujudnya, ada banyak warung rames, makanan kita tahunya tinggal santap saja.

Keadaan di tahun-tahun belakangan ini seolah sudah sedemikian stabilnya, sampai semua orang shock dengan datangnya pandemi. Terlebih kaum milenial. Yakni generasi yang lahir hampir bersamaan bersama lahirnya dekade plastik. Sebelum memasuki dekade plastik, do it yourself (DIY!) masih membudaya di masyarakat. Kalau mau membuat pancuran, dibikin padasan dari tanah liat. Kalau mau alat menyiduk air dibikin siwur dari batok kelapa. Tali rafia belum lahir, kulit bambu disayat panjang dijadikan tali ketika membutuhkan.

Hari-hari ke depan ada baiknya kita mulai bersiap untuk menghidupkan lagi spirit DIY! itu. Efek minimal adalah membantu kita berhemat, apa yang bisa dibuat sendiri tidak perlu kita merogoh kocek membelinya. Efek yang lebih advanced adalah kita bisa membangun sirkulasi barang dan jasa di lingkaran kita sendiri. Maka sebagai komunitas, kita mempunyai bekal untuk terus bertahan karena memiliki banyak sumber daya sendiri. (Rizky D. Rahmawan) 

Lebih ‘Sekolah’ daripada Sekolah

Sewaktu akan kuliah, saya mendaftar di UGM. Diterima pilihan ke-2 waktu itu yakni Geografi. Saya jadi teringat, pelajaraan saat kecil pra-sekolah dari Ibu Saya adalah belajar Iqro. Dan dari bapak saya adalah semua yang ada di RPUL dan RPAL. Saya paling excited dengan globe, peta buta, bendera negara-negara. Geografi.

Apa yang terjadi dengan Pandemi? Para orang tua hari muda hari ini dipaksa untuk hand on pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Pak Toto Raharjo menyebutkan, sumber primer belajar yang selama ini diletakkan pada guru di sekolah, mau tidak mau hari ini harus digeser. Sumber primer belajar adalah orang tua.

Bagi para orang tua yang selama ini diam-diam ber-mindset sekolah adalah tempat penitipan anak di saat ia harus kerja dengan tidak terganggu, keadaan ini pastilah membuat kaget. Akan tetapi, bagi orang tua yang selama ini intensif menjadi fasilitator anak belajar di rumah, maka tinggal mengubah dosis peran saja. Supaya rumah hari ini lebih ‘sekolah’ daripada sekolah.

Bagi orang tua yang merasa bahwa belajar itu cukup sampai wisuda. Akan kewalahan mereka memutar kembali ‘diesel’ di otak. Akan tetapi, bagi mereka para orang tua pembelajar, keadaan hari ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi, supaya lebih banyak bisa memformulasi ekosistem belajar buat anak. Tak apalah kalau punya iming-iming supaya anak nanti bilang, “Wah, orang tua saya keren!”

Selain sumber primer belajar yang bergeser dari sekolah ke rumah, yang berubah berikutnya adalah zona bahan belajar. Selama ini episentrum belajar adalah diktat, buku paket, kisi-kisi ujian. Sampai dibela-belain les mahal tak apa sepulang sekolah. Ketika kerawanan kesehatan masih berlangsung mungkin beberapa tahun mendatang, masih nyamankah orang tua melepas anaknya berangkat les?

Tidak les tidak apa-apa, toh itu bukan yang terpenting. Kesadaran baru seharusnya muncul, belajar kisi-kisi ujian juga bukan yang terpenting. Yang lebih penting adalah memahami alam sekitar kita. memahami ekosistem sosial di tempat seorang anak bertempat tinggal. Memang, kita ini belajar meloncat kejauhan. Mempelajari dinosaurus, tetapi tidak mempelajari jangkrik di kebun belakang rumah. Menguasai teknik wawancara kerja, tetapi tidak mencoba-coba teknik mengolah singkong di belakang rumah jadi tepung mocaf yang banyak dicari orang.

Ini mungkin akan jadi pembangunan program entrepeneurship yang sesungguhnya. Yakni bukan motivasi cepat sukses, atau pelatihan tips dan trik jalan cepat menuju kaya raya, tetapi bagaimana setiap orang mempelajari potensi terdekat di sekitarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan ia tekuni, ia curahkan waktu dengan optimal. Sehingga daya saing pada obyek itu terbangun dibandingkan orang lain yang tempat tinggalnya lebih jauh. Ia kemudian bisa mengolahnya menjadi bahan produktif. Terus menerus perlahan menjadi konstan. Sehingga tidak perlu lagi mengintip-intip lowongan industri yang pabriknya, gudangnya jauh dari rumah tinggalnya.  (Rizky D. Rahmawan)

Hidup Kok Tidak Bersahaja

Apa sih yang kita itu tidak ikut-ikutan? Dari tren wedding tahunan sampai latah pada silih bergantinya jenis minuman es pinggir jalan kegemaran. Memang ini implikasi dari sebuah habitat hidup yang inklusif terbuka. Kita menjadi bagian dari masyarakat nasional juga bagian dari masyarakat internasional sekaligus.

Dengan tidak mau buru-buru menyalahkan globalisasi, jangan-jangan kebiasaan ikut-ikutan adalah akibat dari kita sendiri yang enggan memahami esensialnya hidup itu apa sih? Ah, daripada repot-repot menemukan esensialnya hidup, lebih baik mengikuti cara hidup orang kebanyakan saja ah. Toh, itu kelihatannya menyenangkan.

Celakanya, para influencer, mikro-influencer, atau sekedar orang lewat yang kita amati cara hidupnya dan kemudian kita ingin menirunya itu mereka adalah orang-orang yang kapasitas penghidupannya di atas kita. Mau tidak mau, untuk mengejar supaya mampu seperti mereka, makan di tempat mewahlah, piknik di luar negerilah, koleksi barang antiklah, semua itu lantas memaksa kita untuk ‘Besar pasak daripada tiang’.

Runut benang ruwet dari cara hidup ikut-ikutan yang kita anut itupun tak terasa sudah terlalu jauh kusutnya. Setelah tengok kanan dan tengok kiri baru sadar bahwa kita sudah terjebak pada kubangan cara hidup yang hedonistik.

Implikasi dari cara hidup hedonistik adalah pendapatan berapa saja kurang. Ketika kita sudah berhasil memenuhi apa yang ada dalam daftar kebutuhan hidup layak, kemudian fashion terupdate menagih pengeluaran. Menyusul dibelakangnya dorongan untuk belanja aneka kebutuhan tersier. Tak ketinggalan kebutuhan rekreasi. Rekreasi yang pada arti esensialnya adalah break dari ritme rutin supaya tidak jenuh, kemudian dimaknai sebagai bucket list keliling dunia. Dan seterusnya seperti menenggak air laut, semakin dituruti semakin bertambah haus.

Dan hari ini, kapal, kereta api dan pesawat dilarang beroperasi. Boro-boro berpikir tentang piknik ke tempat yang jauh. Awalnya mungkin sumpek enggak bisa kemana-mana. Lambat laun, diantara kita mulai bisa perlahan menikmati.

#StayAtHome menjadi kesempatan untuk memilah mana kebutuhan esensial dan mana kebutuhan hedonistik. Asalkan sehat di rumah saja, pengeluaran paling-paling dibutuhkan hanya untuk: Menyiapkan sediaan pangan; membayar air, listrik dan internet; BBM seperlunya; perawatan rumah juga seperlunya; membayar asuransi dan alokasi untuk berbagi. Lalu biaya belanja buku atau media belajar digital lainnya bila diperlukan. Dan jangan lupa biaya cicilan bagi yang punya tanggungan.

Sekarang, tinggal kalkulasi masing-masing, berapa % biaya kebutuhan esensial itu dibandingkan dengan target seluruh biaya yang harus disiapkan beberapa waktu lalu sebelum pandemi ini datang. Bisakah kita bahagia tanpa membicarakan ekonomi kesejahteraan, melainkan cukup dengan survival economy

Kita berandai-andai sejenak, nanti setelah masa pandemi ini berakhir, orang lebih banyak menerapkan cara hidup esensial berbasis survival economy. Begitu cara hidup kita terlihat hedon sedikit saja, masyarakat di sekeliling kemudian menatap dengan tatapan aneh: Hidup kok tidak bersahaja? (Rizky D. Rahmawan)

Bahan Pokok Kesepuluh

Akan hingga berapa lama keadaan ini berlangsung? Mas Sabrang mengajak kita memandang Pandemi yang menjadi krisis kesehatan global hari ini tidak menyepadankannya dengan gempa di mana, atau gunung apa meletus.

Para ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan september tahun ini keadaan akan mereda. Negara tetangga resmi menutup bandara hingga 18 bulan lagi. Ada penelitian yang memberi ancer-ancer optimistik di 2022 dan pesimistiknya keadaan tidak stabil ini masih akan berlangsung hingga 2025.

Sebagai momentum perubahan, Memandang pandemi ini proyeksi ke depan harus jauh, masih kata Mas Sabrang, kuda-kudanya bukan kapan ini akan berakhir dan beraktivitas normal lagi. Akan tetapi, dalam pembacaan keadaan seperti hari ini, bagaimana kita selekas-lekasnya menemukan keseimbangan baru di dalam cara menjalani hidup.

Beberapa pengamat menilai keadaan sulit untuk kembali seperti semula. Yang akan lahir adalah sebuah new-normal. Di dunia usaha misalnya, di masa depan akan semakin dihitung bagaimana meminimalisir penggunaan manusia. Mesin-mesin otomatisasi akan lebih banyak digunakan. Pun, demikian dalam hal penggunaan teknologi informasi. Pekerjaan remote akan menjadi lebih familiar. 

Sebelum online learning menjadi mendadak memasal seperti hari ini, rasa-rasanya tidak afdol kalau workshop dan seminar kok tidak bertemu muka. Akan tetapi, hari ini banyak orang sudah adaptif dengan platform belajar digital dan virtual forum.

Sebelum penularan wabah human to human menjadi kewaspadaan tingkat tinggi, usaha pengolahan makanan tak apa memakai manusia, asal memakai sarung tangan dan kap kepala. Tetapi kalau mesin-mesin robot industri nanti dihadirkan lebih massal sehingga harganya lebih banyak pelaku usaha yang sanggup membeli, kenapa tidak memakai mesin dan robot.

Internet hari ini meningkat kebutuhannya. Meski pemerintah ‘loading lambat’ dalam hal bansos berupa internet murah sebab bansos berupa beras sembako murah saja masih keteteran, kelak, mata publik akan melotot jika provider internet tidak mewajarkan harga jualan paket data internet mereka. Provider internet tertentu sekarang menjual paket data masih dengan harga niche market, lambat laun pemerintah semestinya segera menyentilnya supaya menjadi harga obral market.

Menuju tatanan ­new-normal yang masing-masing kita masih meraba-raba wujudnya itu, kita mulai nyicil untuk menanggalkan romantisme menolak rasa begah atas keadaan inginnya semua kembali seperti semula. Yang lebih memberdayakan adalah lupakan keadaan semula dari kenangan masa lalu itu, move on untuk menyambut keadaan yang baru.

Syukur-syukur apabila kita ikut andil menjadi pembentuk keadaan keseimbangan cara hidup yang baru itu. (Rizky D. Rahmawan)

Didesak untuk Shifting Profesi

Situasi yang tidak stabil berdampak pada merosotnya perputaran ekonomi. Keadaan ekonomi yang yang merosot mau tidak mau memberikan pengaruh yang menyeluruh. Ini konsekuensi dari peradaban yang yang dipilih untuk kita anut hari ini yang mutlak bergantung pada berputarnya uang.

Di peradaban ini manusia memilih ridho untuk ditempatkan jadi faktor produksi dari mesin-mesin besar industri. Mereka yang mengelak memilih tidak ridho kemudian memilih jalur berdikari. Yang sukses ia menjadi wirausahawan, yang setengah sukses menjadi saudagar atau minimal jadi agen distribusi menempati titik-titik dari mata rantai aliran barang dan jasa. Yang paling apes ia masih mendapatkan posisi sebagai blantik alias makelar. Tak apa, tetap masih bisa menyebut diri pengusaha juga kok. 

Karena uang berputar menjadi begitu pelan. Barang dan jasa pun senafas seirama. Maka baik karyawan maupun pengusaha semua terdampak nyata. Dampak bagi karyawan paling pahit adalah di-PHK. Dampak bagi pengusaha adalah terdesak untuk melakukan shifting alias peralihan atas usahanya.

Mas Sabrang pada sebuah kesempatan memberikan sharing atas apa yang dia amati. Bahwa pada keadaan seperti ini, kita bisa melihat, industri yang ‘tidak penting’ mereka bergelimpangan jatuh. Sedangkan insutri ‘penting’ mereka masih bisa bertahan.

Membuat jadi kita sadar atas pengamatan itu, betapa sebelum hari-hari ini berlangsung kita begitu ‘bernafsu’ mengejar gaya hidup. Baju harus sak lemari, tas dan sepatu harus selusin, dan seterusnya. Yang semua itu hari ini kentara sebagai hal-hal yang tidak penting. Pentingnya baju itu ya sebagai sandangan. Pangan dan papan pun demikian.

Oleh karena itu, baik pengusaha maupun karyawan hari-hari ini dipantik bahkan dipacu untuk mempeka terhadap apa-apa kebutuhan yang benar-benar penting. Shifting dengan melibatkan diri dalam landscape industri ‘penting’ tersebut, di titik manapun, dengan modal seberapapun.

Berpikir biner melawan-lawankan bekerja atau usaha hari ini tidak relevan. Lebih baik memaknai usaha bukan sebagai lawan makna dari bekerja. Akan tetapi usaha adalah upaya untuk memenuhi apa yang bagi orang-orang kebutuhan itu penting untuk dipenuhi hari ini. Kalau dari proses itu kemudian dapat penghasilan, itu efek saja. Efek yang menggembirakan.  (Rizky D. Rahmawan)