Karena hari ini sedang pandemi, pembicaraan dan perhatian orang-orang semua tertuju kepada pandemi. Hal-hal selainnya menjadi seolah teralihkan. Begitulah memang hari ini kita sedang menghadapi kondisi yang sangat-sangat tidak biasa.
Mungin akan sama keadannya apabila kita hidup di tahun 1940-an di mana saat itu dunia sedang dilanda World War II. Perhatian kita akan terserap seluruhnya kepada peristiwa besar yang terjadi di masa itu.
Setiap hari pembicaraan pandemi tidak ada habis-habisnya. Persoalannya adalah, apakah dari pembicaraan yang kita melibatkan di dalamnya itu terdapat efek yang memberdayakan atau tidak? Apakah ia menjadi sarana edukatif di tengah keadaan yang berubah begitu cepat, atau justru kita berkutat mandek hanya pada sebuah wacana saja?
Memahami Eskalasi Kegentingan
Juguran Syafaat kemaren malam (10/7) mengelaborasi berbagai perkembangan aktual pandemi. Bertukar pikiran atas pengalaman yang dialami masing-masing untuk menentukan bagaimana mestinya kita harus bersikap? Pak Toto Raharjo dari Yogya dan Mas Reiza dari Putrajaya Malaysia bergabung di layar zoom bersama belasan penggiat lainnya yang online dari rumah masing-masing.
“Eskalasi kegentingan yang meningkat ini semestinya dihadapi dengan penanganan yang ekstra-darurat. Karena di dalam keadaan darurat, kita ini sebenarnya sedang berkejar-kejaran”, Pak Toto mengudar.
“Karena pemerintah ini sistemnya macet-cet dari awal penanganan dulu, ini kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan pemerintah ‘semestinya begini, semestinya begitu’. Yang bisa kita andalkan adalah pertolongan Allah yang Maha Besar, dan solidaritas di antara kita”, lanjutnya.
Nicky, penggiat dari Purbalingga mengamati bahwa di tengah masyarakat secara alamiah mulai bermunculan aksi #wargabantuwarga. Jika ini terus makin banyak yang terlibat akan menjadi cercah harapan bagi kita. Kita dapat melibatkan diri pada takaran yang kita mampu jangkau. Mengingat masing-masing juga dalam kondisi kesehatan badan, kesehatan mental dan juga kesehatan ekonomi yang dalam kondisi membutuhkan perhatian ekstra.
“Lalu, solidaritas apa yang paling urgent sekarang?”, tanya saya mencoba menggali Pak Toto. “Yang urgen di antaranya adalah bentuk-bentuk solidaritas informasi”, jawab Beliau. Sebelum Pak Toto mengurai panjang, Hilmy membenarkan bahwa betapa ia yang seorang pamong di desanya kerap mendapati masyarakat yang kelabakan, bahkan dirinya sendiri sering gagap.
Ini mau test swab diarahkan kemana. Mendapatkan oxymeter di mana. Mencari tabung oxygen harus menghubungi siapa? Betapa di tengah tata kelola bencana yang begitu silang-sengkarut ini informasi begitu mewahnya, bahkan ia lebih mahal dari emas. Fikry menambahkan, ketika beberapa hari lalu harus mencarikan pertolongan bagi adiknya—seorang pasien cidera non-Covid, ia harus menyisir rumah sakit di kota ini satu-persatu yang sekiranya aman dari penyintas Covid dan layanan yang dibutuhkan juga masih tersedia.
Data bukan Asumsi, Fakta bukan Hoax
Kesediaan saling berbagai informasi sesederhana apapun hal itu berpotensi akan berguna bagi yang lain. “Informasi itu kan ada dua”, Pak Toto mengurai. “Yakni: yang pertama adalah data, dan yang kedua adalah fakta.”
Dua hal ini begitu dinamis, dari waktu ke waktu terus berubah. Antar satu daerah dengan lainnya bisa sama sekali berbeda. Data sederhana misalnya, ambulans gratis ada di mana, stok plasma konvalasen, oxygen standby, layanan swab yang murah—karena sampai sedarurat ini pemerintah belum juga mengendalikan harganya. Hal tersebut adalah data yang berharga.
Sekarang banyak selebgram berkontribusi mengerjakan itu, untuk data terdekat dari daerahnya masing-masing. Termasuk data kebutuhan yang tidak urgen tetapi tetap penting, misalnya data akses bantuan dari pemda, link mendapatkan layanan vaksin, kontak relawan yang memberikan makan gratis untuk rumah-rumah yang sedang isoman, dan lain sebagainya.
Cakupan data begitu luas, sampai dengan data yang sekupnya nasional bahkan internasional. Tinggal kita akan menjadi relawan data pada tataran apa yang sesuai dengan kapasitas kita. Ada website wargabantuwarga.com, dari website yang dibentuk oleh sejumlah relawan kolaborator tersebut kita dapat mencuplik sejumlah data yang keberadaannya untuk daerah kita sendiri.
Lalu yang kedua adalah fakta. Hari ini fakta bercampur dengan hoax, informasi simpang-siur dan informasi yang belum matang. Hoax ada yang karena salah sumber informasi, ada yang memang niatnya membikin tambah gaduh suasana—biadab pelakunya.
Sedangkan informasi simpang-siur kerap hadir dari informan yang malas menelusur kepada subjek informasi, unclarified information. Kita mesti waspada sekali, sebab begitu menggelinding di grup-grup media sosial, ia akan menyebar begitu cepatnya.
Dan informasi yang belum matang adalah bahwa mesti disadari kita semua ini masih sama-sama sedang belajar mengenai pandemi ini, ada banyak hal yang tahapannya masih observasi. “Ini ilmu baru semua, dokter-dokter belajar Covid juga dari nol”, ujar seorang kawan nakes. Jadi, amat wajar kalau sebuah fakta di suatu waktu terpatahkan oleh fakta baru yang lebih komprehensif pada periode waktu berikutnya.
Nah, melihat begitu rigidnya kategorisasi fakta seperti di atas, maka terhadap informasi harus double filter. Kata Pak Toto, “Hardisk kita untuk menampung informasi ini terbatas, je”. Maka jangan sampai hardisk yang terbatas ini, justru diisi oleh informasi-informasi sampah, teori-teori konspirasi picisan, dan tetek bengek lainnya.
Over-flood informasi jangan sampai malah membuat jadi kita kena mental menghadapi pandemi ini. Ciri paling awalnya adalah memilih bersikap denial.
Punyai Sejumlah Alternative Plan
Pada diskusi-diskusi tahun lalu, kita masih lebih leluasa membahas solidaritas ekonomi. Tetapi karena eskalasi kedaruratan hari-hari ini, tak apa sekarang kita sederhanakan sampai yang paling sederhana asal kita tetap bersolidaritas. Diirit-irit untuk tetap bisa saling bersolidaritas informasi. Berbagi kabar dan menanyakan kabar juga bagian dari hal tersebut.
Ini adalah pembelajaran yang sungguh-sungguh, yang empiris, mengingat kita bukan hanya menjadi pengamat atas kejadian, melainkan kita berada di dalam kejadian pandemi ini.
“Lalu, apa setelah ini?”, saya bertanya kepada Mas Reiza tentang proyeksi pandemi ini ke depan. Ia menjawab, “Pada sebuah penerbangan pesawat di mana tujuan mendarat adalah bandara A, pilot harus tetap punya rencana cadangan. Apabila terjadi emergency, harus disiapkan plan mendarat di bandara B. Emergency response plan (ERP) hingga plan C dan seterusnya. Negara juga mestinya punya itu.
Yang terpenting dari mendapatkan prediksi paling tepat atas akan berapa lama pandemi ini terjadi adalah bagaimana kita mempunyai sejumlah alternative plan di setiap kemungkinan. Kalau keadaan ajeg begini saja, kita harus ngapain nih? Kalau eskalasi kedaruratan meningkat, kita harus bagaimana? Kalau kondisi mereda, kita harus bertindak bagaimana?
Untuk membuat pola-pola proyeksi di setiap alternatif kemungkinan tersebut, lagi-lagi kita tidak bisa berlepas dari penguasaan informasi yang berkualitas. Kita harus menguasai data, bukan hanya asumsi. Kita harus mengelola fakta, bukan hoax.
Ini semakin menguatkan alasan betapa pentingnya masing-masing kita menjadi pewarta informasi—meskipun informal, yang bertanggung jawab bagi ketersediaan data dan fakta yang berkualitas di tengah-tengah publik.
Ikhtiar ini bisa dimulai dari meningkatkan daya pilah informasi. Sederhana saja tipsnya, mulai dari temukan subjek-subjek informasi. Mulai amati siapa saja yang dari awal pandemi ini informasi yang ia sampaikan konsisten. Ia meliputi pakar kesehatan, lalu siapa saja ahli media sosial, siapa saja analis ekonomi, siapa sesepuh panutan, siapa negarawan, dan seterusnya.
Mbah Nun sendiri di awal pandemi menulis 82 Seri Corona, yang masih relevan dijadikan panduan hingga hari ini.