Urgent! Solidaritas Informasi Sekarang

Karena hari ini sedang pandemi, pembicaraan dan perhatian orang-orang semua tertuju kepada pandemi. Hal-hal selainnya menjadi seolah teralihkan. Begitulah memang hari ini kita sedang menghadapi kondisi yang sangat-sangat tidak biasa.

Mungin akan sama keadannya apabila kita hidup di tahun 1940-an di mana saat itu dunia sedang dilanda World War II. Perhatian kita akan terserap seluruhnya kepada peristiwa besar yang terjadi di masa itu.

Setiap hari pembicaraan pandemi tidak ada habis-habisnya. Persoalannya adalah, apakah dari pembicaraan yang kita melibatkan di dalamnya itu terdapat efek yang memberdayakan atau tidak? Apakah ia menjadi sarana edukatif di tengah keadaan yang berubah begitu cepat, atau justru kita berkutat mandek hanya pada sebuah wacana saja?

Memahami Eskalasi Kegentingan

Juguran Syafaat kemaren malam (10/7) mengelaborasi berbagai perkembangan aktual pandemi. Bertukar pikiran atas pengalaman yang dialami masing-masing untuk menentukan bagaimana mestinya kita harus bersikap? Pak Toto Raharjo dari Yogya dan Mas Reiza dari Putrajaya Malaysia bergabung di layar zoom bersama belasan penggiat lainnya yang online dari rumah masing-masing.

“Eskalasi kegentingan yang meningkat ini semestinya dihadapi dengan penanganan yang ekstra-darurat. Karena di dalam keadaan darurat, kita ini sebenarnya sedang berkejar-kejaran”, Pak Toto mengudar.

“Karena pemerintah ini sistemnya macet-cet dari awal penanganan dulu, ini kita sudah tidak bisa lagi mengandalkan pemerintah ‘semestinya begini, semestinya begitu’. Yang bisa kita andalkan adalah pertolongan Allah yang Maha Besar, dan solidaritas di antara kita”, lanjutnya.

Nicky, penggiat dari Purbalingga mengamati bahwa di tengah masyarakat secara alamiah mulai bermunculan aksi #wargabantuwarga. Jika ini terus makin banyak yang terlibat akan menjadi cercah harapan bagi kita. Kita dapat melibatkan diri pada takaran yang kita mampu jangkau. Mengingat masing-masing juga dalam kondisi kesehatan badan, kesehatan mental dan juga kesehatan ekonomi yang dalam kondisi membutuhkan perhatian ekstra.

“Lalu, solidaritas apa yang paling urgent sekarang?”, tanya saya mencoba menggali Pak Toto. “Yang urgen di antaranya adalah bentuk-bentuk solidaritas informasi”, jawab Beliau. Sebelum Pak Toto mengurai panjang, Hilmy membenarkan bahwa betapa ia yang seorang pamong di desanya kerap mendapati masyarakat yang kelabakan, bahkan dirinya sendiri sering gagap.

Ini mau test swab diarahkan kemana. Mendapatkan oxymeter di mana. Mencari tabung oxygen harus menghubungi siapa? Betapa di tengah tata kelola bencana yang begitu silang-sengkarut ini informasi begitu mewahnya, bahkan ia lebih mahal dari emas. Fikry menambahkan, ketika beberapa hari lalu harus mencarikan pertolongan bagi adiknya—seorang pasien cidera non-Covid, ia harus menyisir rumah sakit di kota ini satu-persatu yang sekiranya aman dari penyintas Covid dan layanan yang dibutuhkan juga masih tersedia.

Data bukan Asumsi, Fakta bukan Hoax

Kesediaan saling berbagai informasi sesederhana apapun hal itu berpotensi akan berguna bagi yang lain. “Informasi itu kan ada dua”, Pak Toto mengurai. “Yakni: yang pertama adalah data, dan yang kedua adalah fakta.”

Dua hal ini begitu dinamis, dari waktu ke waktu terus berubah. Antar satu daerah dengan lainnya bisa sama sekali berbeda. Data sederhana misalnya, ambulans gratis ada di mana, stok plasma konvalasen, oxygen standby, layanan swab yang murah—karena sampai sedarurat ini pemerintah belum juga mengendalikan harganya. Hal tersebut adalah data yang berharga.

Sekarang banyak selebgram berkontribusi mengerjakan itu, untuk data terdekat dari daerahnya masing-masing. Termasuk data kebutuhan yang tidak urgen tetapi tetap penting, misalnya data akses bantuan dari pemda, link mendapatkan layanan vaksin, kontak relawan yang memberikan makan gratis untuk rumah-rumah yang sedang isoman, dan lain sebagainya.

Cakupan data begitu luas, sampai dengan data yang sekupnya nasional bahkan internasional. Tinggal kita akan menjadi relawan data pada tataran apa yang sesuai dengan kapasitas kita. Ada website wargabantuwarga.com, dari website yang dibentuk oleh sejumlah relawan kolaborator tersebut kita dapat mencuplik sejumlah data yang keberadaannya untuk daerah kita sendiri.

Lalu yang kedua adalah fakta. Hari ini fakta bercampur dengan hoax, informasi simpang-siur dan informasi yang belum matang. Hoax ada yang karena salah sumber informasi, ada yang memang niatnya membikin tambah gaduh suasana—biadab pelakunya.

Sedangkan informasi simpang-siur kerap hadir dari informan yang malas menelusur kepada subjek informasi, unclarified information. Kita mesti waspada sekali, sebab begitu menggelinding di grup-grup media sosial, ia akan menyebar begitu cepatnya.

Dan informasi yang belum matang adalah bahwa mesti disadari kita semua ini masih sama-sama sedang belajar mengenai pandemi ini, ada banyak hal yang tahapannya masih observasi. “Ini ilmu baru semua, dokter-dokter belajar Covid juga dari nol”, ujar seorang kawan nakes. Jadi, amat wajar kalau sebuah fakta di suatu waktu terpatahkan oleh fakta baru yang lebih komprehensif pada periode waktu berikutnya.

Nah, melihat begitu rigidnya kategorisasi fakta seperti di atas, maka terhadap informasi harus double filter. Kata Pak Toto, “Hardisk kita untuk menampung informasi ini terbatas, je”. Maka jangan sampai hardisk yang terbatas ini, justru diisi oleh informasi-informasi sampah, teori-teori konspirasi picisan, dan tetek bengek lainnya.

Over-flood informasi jangan sampai malah membuat jadi kita kena mental menghadapi pandemi ini. Ciri paling awalnya adalah memilih bersikap denial.

Punyai Sejumlah Alternative Plan

Pada diskusi-diskusi tahun lalu, kita masih lebih leluasa membahas solidaritas ekonomi. Tetapi karena eskalasi kedaruratan hari-hari ini, tak apa sekarang kita sederhanakan sampai yang paling sederhana asal kita tetap bersolidaritas. Diirit-irit untuk tetap bisa saling bersolidaritas informasi. Berbagi kabar dan menanyakan kabar juga bagian dari hal tersebut.

Ini adalah pembelajaran yang sungguh-sungguh, yang empiris, mengingat kita bukan hanya menjadi pengamat atas kejadian, melainkan kita berada di dalam kejadian pandemi ini.

“Lalu, apa setelah ini?”, saya bertanya kepada Mas Reiza tentang proyeksi pandemi ini ke depan. Ia menjawab, “Pada sebuah penerbangan pesawat di mana tujuan mendarat adalah bandara A, pilot harus tetap punya rencana cadangan. Apabila terjadi emergency, harus disiapkan plan mendarat di bandara B. Emergency response plan (ERP) hingga plan C dan seterusnya. Negara juga mestinya punya itu.

Yang terpenting dari mendapatkan prediksi paling tepat atas akan berapa lama pandemi ini terjadi adalah bagaimana kita mempunyai sejumlah alternative plan di setiap kemungkinan. Kalau keadaan ajeg begini saja, kita harus ngapain nih? Kalau eskalasi kedaruratan meningkat, kita harus bagaimana? Kalau kondisi mereda, kita harus bertindak bagaimana?

Untuk membuat pola-pola proyeksi di setiap alternatif kemungkinan tersebut, lagi-lagi kita tidak bisa berlepas dari penguasaan informasi yang berkualitas. Kita harus menguasai data, bukan hanya asumsi. Kita harus mengelola fakta, bukan hoax.

Ini semakin menguatkan alasan betapa pentingnya masing-masing kita menjadi pewarta informasi—meskipun informal, yang bertanggung jawab bagi ketersediaan data dan fakta yang berkualitas di tengah-tengah publik.

Ikhtiar ini bisa dimulai dari meningkatkan daya pilah informasi. Sederhana saja tipsnya, mulai dari temukan subjek-subjek informasi. Mulai amati siapa saja yang dari awal pandemi ini informasi yang ia sampaikan konsisten. Ia meliputi pakar kesehatan, lalu siapa saja ahli media sosial, siapa saja analis ekonomi, siapa sesepuh panutan, siapa negarawan, dan seterusnya.

Mbah Nun sendiri di awal pandemi menulis 82 Seri Corona, yang masih relevan dijadikan panduan hingga hari ini.

Mengasah Skill dan Membangun Social Evidence

Impact-nya apa kamu sekolah? Tidak ada yang sempat menanyakan impact sekolah karena seketika setelah lulus orang-orang dibuat sibuk untuk segera mendapatkan kerja dan segera berpenghasilan. Tidak demikian dengan ekstrakurikuler ngariung bulanan seperti halnya ketika kita ber-Juguran Syafaat. Apakah kegiatan ini memiliki impact atau tidak? Pertanyaan ini penting untuk digali jawabannya sebagai bahan pengasahan bersama.

Pantikan Fikry mengenai impact ini menjadi elaborasi yang disambut respons dari berbagai view. “Jangan-jangan Juguran Syafaat memberi impact pada masalah sosial di luar, tetapi tidak memberikan impact pada internal komunitas”, pantiknya. Lik Febri yang yang concern di bidang ilmu-ilmu sosial merespons dengan cukup runtut mulai dari bagaimana tematik Juguran Syafaat disusun. Pola kurikulum di Juguran Syafaat ada dua pola: 1) Ilmu pengetahuan yang ditransfer langsung dari Marja’, lalu 2) Pola sinau bareng internal berangkat dari sharing pengalaman.

Lebih lanjut Lik Febri mengurai, pada poin kedua ini dilemanya adalah ketika di antara kita tidak mempunyai pengalaman apa-apa, terus apa yang mau di-sharing-kan? Tetapi memang begitulah watak dari apa yang dinamakan pendidikan yang di mall bisa, di jalanan bisa–pendidikan dalam arti luas.

Pada pendidikan di dalam arti luas inilah, di dalam internal komunitas, orang bisa berbagi satu sama lain tentang skill mereka di dalam bekerja, dll.

Tetapi menurut Lik Febri, jenis pengetahuan semacam itu terlalu spesifik. Dilema dari menggelar tema diskusi yang terlalu spesifik adalah potensi macetnya diskusi. Karena itu, perlu dibuat tema yang lebih umum yang memungkinkan terjadinya interaksi dialektis dengan tetap meruangi proses sharing pengalaman yang merupakan salah satu dari dua pola pembelajaran di dalam Maiyah.

***

Kalau yang disebut impact dari sebuah proses pendidikan adalah hasil fisik berupa pekerjaan atau peningkatan penghasilan, maka mudah mendeteksinya. Tetapi, kita harus telaten di dalam mengamati (niteni) kalau memang arah yang sedang kita tempuh dari kegiatan di Simpul Maiyah adalah impact berupa softskill.

Kukuh selaku moderator menyambung respons bahwasanya pada refleksi dirinya sendiri, impact Juguran Syafaat adalah menemukan jawaban kegundahan batin dan menjadikan dirinya terbantu untuk memahami tahap-tahap hidup yang mestinya ditempuh.

Respons berupa refleksi impact diri juga dilontarkan Kusworo. Ia yang sangat concern pada ranah ilmu tasawuf dan pemaknaan falsafah hidup merespons, “Kalau mau tahu impact dari Maiyah, mulainya dari bayangkan dulu seandainya tidak ada Maiyah. Saya yang orang awam seberapa terbantu hidup saya oleh pemahaman agama formal. Agama yang hari ini belum juga selesai berdebat mengenai mahdloh dan muamalah”.

Begitulah, impact dari proses Sinau Bareng adalah pada softskill. Sementara kita hari ini mengamini bahwa yang pokok adalah mempunyai hardskill agar bisa masuk ke kancah industri, bekerja, dan berpenghasilan di sana. Sedangkan pendidikan softskill hanya suplemen alias asupan tambahan belaka.

Fikry yang melontar pantikan di awal kemudian mahfum. Kita ini generasi yang terlambat usia membentuk karakter setelah masa muda kita habis waktu untuk sekolah. Mudah-mudahan di generasi mendatang anak-anak akan lahir dari orang tua yang sudah siap mendidik softskill dari rumah. Sehingga anak-anak di generasi mendatang bisa memasuki sekolah sudah dengan bekal softskill dari rumah. Sebab tidak mungkin satu guru dengan 30 murid sudah dikejar capaian pembelajaran, masih juga dituntut mendidik softskill. “Komunitas pendidikan ada tiga unsurnya: Keluarga, masyarakat di lingkungannya dan lembaga pendidikan. Ketiganya memang harus berperan semuanya”, Febri me-wrap up.

***

Juguran Syafaat edisi ke 94 Januari 2021 di era PPKM dilaksanakan dengan pembatasan jumlah narasumber dan jumlah penggiat yang mempersiapkannya. Meskipun begitu, tidak mengurangi berlangsungnya proses elaborasi di dalamnya.

Dua setengah jam berlangsung melalui siaran streaming Juguran Syafaat berlangsung tidak sebagai panggung show, melainkan satu sama lain yang terlibat menyetorkan kesungguh-sungguhan di dalam memilih posisi pandang. Sehingga sebuah pantikan bisa diobservasi dengan ragam sudut pandang yang kaya.

Di mata mainstream mungkin gelaran ini sebatas forum yang kurang signifikan. Namun nyatanya, skill diskusi dan kelihaian bermusyawarah adalah hal yang langka dimiliki di tengah-tengah situasi masyarakat kini. Dan elaborasi atas sebuah pantikan tema akan sulit jika masing-masing yang terlibat tidak benar-benar memiliki kuriositas atas pengetahuan baru apa sebetulnya yang akan dihasilkan dari apa yang sedang kita elaborasi ini?

Tantangan bagi kita adalah terus-menerus mengaktualisasikan hasil kecakapan yang kita asah menjadi kemanfaatan yang mewujud nyata dan memberikan social evidence.

Gado-Gado Juguran Syafaat

Gado-gado dikenal sebagai makanan khas Betawi. Makanan yang termasuk jenis salad ini memiliki pembeda pada saus dressing-nya, yakni menggunakan asian peanut, bumbu kacang. Tidak seperti kebanyakan salad yang banyak melibatkan mayones di dalamnya.

Gado-gado terdiri dari sayuran hijau seperti selada, kubis, bunga kol, kacang panjang dan taoge. Sering juga ditambahkan dengan sayuran lain yakni pare dan mentimun. Di dalam gado-gado juga terdapat kentang rebus, telur rebus, tempe dan tahu serta kadang-kadang terdapat pula jagung pipil. Kapan Anda terakhir makan gado-gado?

Dengan analogi gado-gado di atas saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk mengenali Juguran Syafaat bukan hanya sebatas ke-khas-anannya sebagai forum diskusi yang ruhani minded. Namun, bahwa di dalam Juguran Syafaat tersusun oleh social cyrcle yang begitu kompositif.

Dengan analogi gado-gado pula, saya ingin mengajak pembaca sekalian mengganti obyek bahasan tentang keberagaman yang selama ini disetir hanya untuk membahas Islam dan minoritas, Pribumi dan Chinese, dll. Padahal, keberagaman profesi, kepakaran, konsentrasi keilmuan dari masing-masing nama di kontak ponsel kita, hal itu lebih menarik untuk dikulik, digali dan kemudian disambung-sambungkan.

***

Forum dapur penggiat Juguran Syafaat di penghujung tahun sengaja mengambil tempat berbeda, supaya bisa refresh sekaligus nyicil-nyicil merefleksi perjalanan setahun 2020 ini. Di Desa Wisata Karang Salam, Baturraden (23/12/2020) sejumlah penggiat berkumpul. Tepatnya di Kedai milik Pak Asong, salah seorang pegiat Desa Wisata di sana.

Forum dibuka dengan Hilmy ngudarasa kepada Pak Asong. Memang sebagai pamong desa ia berkeinginan keras bagaimana agar di desanya ada sesuatu yang dapat to attract perhatian publik. Pak Asong pun dengan antusias ber-sharing tentang serba-serbi Desa Wisata. Yang dapat  berkelanjutan adalah yang melibatkan komponen organik lokal, dan yang sudah bisa ditengarai pendek umur adalah yang hanya latah belaka.

Menurut Pak Asong, potensi agro di suatu desa adalah sesuatu yang masih bagus dibangun sebagai sebuah attraction. Tidak latah membangun agrowisata. Hilmy dengan tim-nya di Desa saat ini sedang menyiapkan infrastruktur IT Data Desa. Ini sesuai dengan challenge dari Pak Toto Raharjo ketika singgah di sana dahulu: membangun Datakrasi Desa. Nantinya sektor agro menjadi bagian yang signifikan akan terdongkrak pula.

Hadir juga di forum yang berlangsung sore hingga malam hari itu yakni Hirdan. Penggiat Juguran Syafaat yang ikut mewarnai suasana dengan petikan gitarnya. Ia sehari-hari adalah pelaku usaha di bidang agro. Efek dari pandemi membuat ia all out men-cemplung-kan diri pada perdagangan komoditas telur ayam. Dari yang awalnya hanya belasan peti telur ia jual, kini sudah nampak growth penjualannya hingga ratusan peti tiap bulan. Selain sudah mengerjakan retensi penjualan, yang mahal ia dapatkan adalah jejearing yang makin luas di komunalitas rantai nilai perdagangan telur ayam, toko grosiran, agen, peternak pemilik kendang, asosiasi wilayah, dll. yang harus terus menerus dijaga keberlangsungannya secara jangka panjang.

Kemudian Febri dan Anjar, keduanya sama-sama pelaku di bisnis retail. Meskipun petang hari itu tidak banyak berkisah tentang Penggiat Updates atas kahanan keseharian terkini mereka. Tetapi kesah Febri cukup terrefleksikan dari perjalanan hidup seorang Sosrokartono yang ia ceritakan panjang dan lebar kala itu. Bagaimana Beliau menjalani hidup dengan prestasi dan kegundahan yang silih berganti, pencarian peran diri di dalam hidup yang tak pernah berhenti.  Betapa gundahnya menelaah apa yang sebenarnya sedang terjadi di bisnis retail akibat sistem dagang yang begitu kapitalistik yang hari ini berlangsung.

***

Orang-orang dengan gulawentah yang begitu beragam sehari-hari masih sempat menyisakan waktu untuk berpikir mendekonstruksi dan mendiskusikan berbagai elaborasi itu kan sebetulnya sesuatu yang kontras. Namun seringkali kontras itu tidak terlihat jelas, sebab pada sebuah kumpulan yang dilihat hanya backdrop dan taglinenya saja, tidak melihat kentang rebus dan mentimun sepertihalnya pada gado-gado. Padahal masing-masing dari sayuran itu sebetulnya bisa kok disambungkan dengan bahan masakan lain sehingga tercipta makanan yang berbeda.

Kita bergeser 20 KM ke arah selatan, tepatnya di Desa Pangebatan. Seperti pada kabar sebelumnya, Pak Titut baru saja mendirikan gubug belajar bagi anak-anak, “Gubug Sawah Cowong Sewu”. Seorang ahli kebun yang mencoba hidup dengan “nyeni” ini memang membuat gado-gado Juguran Syafaat makin buket dan lezat rasanya. Kalau ditelusuri lebih jauh, “anak-anak asuh” Pak Titut ini banyak dan beragam, saudaranya ada di lintas kalangan, lintas komunitas. Gubug yang menurut saya tidak ada mewah-mewahnya itu saja yang meresmikan tidak tanggung-tanggung, Wakil Bupati.

Yang baru saja merilis karya ada M. Faisal, sebuah album musik bertajuk “Hymne Kehancuran”. Meskipun alirannya ‘bawah tanah’ tetapi tetap ada Allah dan Kanjeng Nabi disematkan di cover albumnya. Kemudian yang sedang merilis karya berikutnya yakni Mas Agus Sukoco, saat ini sedang pre-launcing novel “Lahir Kembali”. Melalui Novel ini, Mas Agus ingin nilai-nilai Maiyah mengalir lebih luas, utamanya untuk aplikasi self-empowerment bagi generasi muda.

Ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, saya juga sedang ber-whatsapp dengan Pak Yusro. Seorang politisi senior Purbalingga yang selalu ngemong kita semua, yang memilih mandito menjadi Kepala Madrasah Aliyah (MA) El Qosimi di Purbalingga. MA ini adalah bagian dari Ponpes An-Nahl Asuhan Abah Fitron Ali Sofyan, salah satu pusaran lingkaran Jamaah Maiyah sedari sebelum forum Juguran Syafaat lahir.

Pusaran lainnya di dalam cyrcle Jamaah Maiyah Banyumas-Purbalingga adalah Majelis Kemis Pahing yang diinisiasi oleh Abah Jumad. Jadi selain kita mempunyai forum bulanan, juga ada forum selapanan setiap Rabu Legi malam Kemis Pahing. Kabar dariAbah Jumad, Ia sedang menanam 1.300 tanaman jahe merah. Dalam cyrcle bisnis jahe merah ini, ada juga Kang Amin yang dari hikmah pandemi ia merilis produk minuman serbuk jahe merah siap seduh.

Sohib kentalnya Abah Jumad yakni Kang Wanto. Kerap tampil di Juguran Syafaat dengan alunan sulingnya. Ia sedang menekuni budidaya Burung Murai. Lalu ada Kang Barno yang khas dengan blangkon dan kain luriknya. Ia bukan budayawan meskipun penampilannya seperti itu, tetapi ia adalah seorang penggerak koperasi yang saat ini sedang mengembangkan produk air minum alkali. Saat ini ia amat getol menggiatkan jejaring resellernya, nampak amat berbakat di dalam membekali reseller dengan trik dan tips marketing.

***

Karena tulisan ini nampaknya sudah terlalu panjang, kita kembali ke Kedai Pak Asong di Desa Wisata Karang Salam lagi saja. Tidak terasa sudah berjam-jam duduk-duduk di sana. Saya tidak jog kopi, tetapi menambah memesan air putih panas dan pisang goreng saja. Menemani refresh dan relaks sambil menikmati gemerlap kota Purwokerto dari ketinggian yang terlihat penuh lampu-lampu. “Wah, kalau Purbalingga dilihat dari atas ya paling yang terlihat cuma lampu Toko ABC, Toko Harum dan alun-alun. Haha”, Febri berkelakar memamerkan kerendah-dirinya.

“Ini harusnya kita sudah nyicil bikin audio-podcast ini”, ujar Hilmy. Melihat begitu banyaknya unsur penyusun gado-gado yang membuat tulisan ini terasa kepanjangan, saya sih setuju saja itu, nantinya bisa dicicil edisi per edisi, dijadikan program baru Juguran Syafaat di 2021.

Trabas!

Sebuah perubahan yang terjadi akibat desakan keadaan itu lebih nampol ketimbang perubahan karena target atau keinginan tertentu. Sudah lebih 60 hari orang dipaksa untuk patuh pada tertib sosial yang baru, efeknya membuat banyak yang harus diubah pula di dalam diri dan keseharian banyak orang—tidak berlaku bagi mereka yang membandel atau karena tuntutan pekerjaan harus berkeseharian secara biasa-biasa saja.

Pada sekian tahun yang lalu, Mas Sabrang pada teman-teman di forum diskusi Martabat pernah men-challenge untuk masing-masing membuat sebuah perubahan pada diri meskipun kecil. Caranya sederhana, pilihlah satu kebiasaan baru dan kerjakan itu dengan sadar tanpa putus selama 21 hari.

Misalnya, kita yang terbiasa membuka gadget setiap bangun tidur tetapi ingin menciptakan kebiasaan baru membuka gadgetnya baru sesudah sarapan pagi. Kerjakan itu dengan sadar tanpa putus selama 21 hari. Contoh lainnya lagi, yakni yang di-“ijazahkan” Mas Sabrang pada saya adalah duduklah dengan punggung yang lebih tegap setiap berhadapan dengan orang. Pesannya, pembiasaan itu akan menciptakan sikap yang lebih percaya diri.

Nah, pertanyaannya adalah, Sudah dua bulan lebih masing-masing kita diberi waktu begitu leluasa oleh dicanangkannya status pandemi oleh dunia. Kebiasaan baru apa yang sudah kita bikin? Betapa ruginya kalau tidak ada kebiasaan positif baru yang dibentuk sedangkan Tuhan sudah memberi “ayat” melalui momentum ini. Bahwa momentum ini adalah trigger perubahan berkualitas tinggi. Yakni perubahan yang timbul karena desakan keadaan, bukan karena ingin saja, bukan pula karena angan-angan belaka.

Selain urusan tuntutan pekerjaan dan sikap membandel sehingga berkeseharian secara biasa-biasa saja, sebetulnya ada masalah lain lagi yang menjadi penyebab. Yakni karena seseorang gagal atau hanya rendah saja kadarnya dalam menghadirkan sence of crisis.

Kesadaran akan situasi atas krisis tidak melulu soal terciptanya kecemasan yang dimitoskan ia menggerus imunitas—padahal yang menggerus imunitas itu berita tentang sengkarut penanganan pandemi yang terjadi setiap hari. Akan tetapi, Sense of crisis melahirkan pantikan kewaspadaan ekstra, kejelian yang tidak biasa dan dinamika adrenalin yang berbeda.

Sebab kewaspadaan yang ekstra, seseorang menjadi lebih sungguh-sungguh berbenah menemukan apa-apa saja yang harus diperbaiki di dalam diri dan kehidupannya. Sebab kejelian yang tidak biasa, apa-apa yang saat situasi normal dulu disepelekan, saat ini nampak lebih berharga untuk ditempuh dikerjakan. Sebab dinamika adrenalin yang berbeda, pencapaian yang selama ini terhambat oleh sikap serba gamang dan gojak-gajek menjadi bisa ditrabas saja. Situasi sudah begini, kenapa pula kita harus terus mempertahankan ragu atas sesuatu?

Maka, amati lagi keadaan, buka jendela lebih lebar untuk memandang lebih luas tentang apa saja yang sedang terjadi di tahun ini. Dan kita ada di dalamnya, bukan? Hingga kemudian tersadarkan bahwa ternyata kita bukan sebatas sebagai penonton dari sebuah bencana. (Rizky D. Rahmawan)

Idulfitri Biji-Bijian Tasbih

Ada teknologi sederhana bernama tasbih. Biji-bijian yang diuntai dengan tali, umumnya terdiri dari 99 buah bulatan. Pada setiap setelah bulatan yang ke-33, ada sebuah bulatan yang lebih besar. Ini digunakan untuk penanda berganti bacaan wirid. Break section.

Dengan menggunakan tasbih, orang dapat tetap khusyuk ber-dzikir memejamkan mata hingga larut menempuh inner journey tanpa perlu risau perihal jalannya hitungan. Tak hanya dalam ritual wirid, bahkan dalam kehidupan sehari-hari orang pun begitu larut. Larut pada rutinitas keseharian sampai tidak terasa oleh berjalannya waktu. Wah, Cepat sekali yah sudah tahun baru. Loh, kok sudah mau puasa lagi. Tidak terasa yah puasa sudah selesai. Dan seterusnya.

Untunglah kita dikaruniai Allah momentum bernama hari raya. Kita mempunyai Idulfitri, sebuah hari yang menjadi bulatan besar di antara bulatan-bulatan kecil hari-hari dalam tahun kehidupan yang kita lalui. Kalau saja tidak ada hari yang bernilai bulatan besar, jangan-jangan kita terlalu asik dengan rutinitas tak henti kita, larut dalam tuntutan profesi peran hidup kita, larut mengejar target-target yang tak ada ujungnya.

Saking cepatnya terasa waktu berjalan, tanpa ada pengingat untuk sejenak untuk melakukan murojaah, menghitung kembali, mengulang untuk meneliti lagi. Tak ada pengingat untuk berpindah dari satu sesi ke sesi berikutnya dalam proses penumbuhan diri.  

Hari senin itu banyak, selasa juga sama banyaknya, dan seterusnya. Tetapi senin di pekan ini adalah satu-satunya senin di hidup kita yang berbeda dengan senin lalu atau senin depan. Pun begitu dengan Idulfitri, puluhan hari raya sudah kita alami, tetapi Idulfitri tahun ini adalah hari yang berbeda dengan Idulfitri tahun lalu juga tahun yang akan datang.

Khusus tahun ini kita dibuat sadar oleh peristiwa pandemi. Bahwa Idulfitri bukan rutinitas belaka yang tiap tahun harus dikerjakan secara sama.

Selamat hari raya, selamat memasuki sesi baru penumbuhan diri. (Rizky D. Rahmawan)

Insting, Inspirasi, skill transfer

Industri melahirkan simplicity. Apa-apa yang repot dikerjakan diubah menjadi simpel dengan dibuatkan tombol. Namun, Pertanian tidak bisa seperti itu. Menanam tanaman itu ya harus selalu repot. Setiap hari menyiram, dua atau tiga hari sekali mencabuti rumput dan dari waktu ke waktu memperhatikan kurva pertumbuhannya. Namun, ‘repot’ itu kan bahasa industri, bagi petani sejati mengerjakan semua kerepotan itu adalah kegembiraan. Mosok bergaul dengan alam tidak bergembira sih?

Modernitas menghadirkan pembangunan. Membangun itu banyak yang menyangka tidak sepaket dengan merawat. Oleh karenanya dari program tingkat nasional, daerah hingga tingkat RT sekalipun, cek saja berapa banyak benda mangkrak setelah selesai pembangunannya. Lain halnya dengan bercocok tanam, stressing pada merawat bahkan harus lebih kuat, ketimbang kegiatan menanamnya.

Sebuah pohon petai besar di pekarangan sebelah rumah tetangga saya tak tahu siapa yang menanamnya dahulu. Entah warisan dari kakek, buyut, canggah atau wareng, tetapi karena tetangga saya pandai merawatnya, tiap musim panen pohon itu menjadi jalan rezeki yang terus-menerus. Itulah hasil dari ketekunan menjaga dan merawat.

Kesuksesan adalah tentang tercapainya sebuah target hasil. Namun, di alam hijau tidaklah berlaku begitu. Target kita adalah target terhadap proses saja. Bagaimana seluruh proses sudah dikerjakan, selanjutnya urusan menumbuhkan itu wilayah ‘kolaborasi’ dengan malaikat-malaikat pertumbuhan yang sudah ditugasi Tuhan.

Kita ini anak-anak dari negeri maritim dan agraris sekaligus. Namun, berapa banyak dari kita yang lebih akrab dengan tombol ketimbang dengan dunia tanaman. Yang bergairah dengan pembangunan tetapi tak punya bakat berupa ketekunan merawat. Yang 5 cm di depan dahi kita terbentang target-target hasil, tak ada jarak untuk menyemai proses.

Semenjak SD barangkali, kita sudah diajak untuk industry minded. Kebun singkong di halaman belakang sekolah itu adalah insignificant object. Sarang laba-laba di plafon ruang kelas bukan obyek observasi, melainkan harus lekas ditangani dengan alat-alat kebersihan. Semua itu karena tidak ada hubungannya dengan jalur industri.

Hari-hari ini berbagai lini industri dilanda collaps, setingkat industri penerbangan yang begitu supernya saja tak luput dari kecemasan atas kebangkrutan. Mestinya para pembuat kurikulum terhenyak oleh kenyataan tersebut. Bahwa semengagumkan apapun itu makhluk bernama industri, tetap saja ia memiliki keterbatasan. Janganlah diandalkan habis-habisan untuk seluruh manusia diajak numpang hidup padanya.

Untuk kembali mengajak populasi merambah dunia agraris kembali, ternyata tak cukup dimulai dengan kursus menanam. Harus mundur beberapa langkah sebelum skill transfer pertanian, yakni menghidupkan insting-insting paling dasar untuk bertani.

Mengakrabi kerepotan, menikmati berproses dan ketekunan merawat adalah diantara insting yang harus dihidupkan. Kalau sudah hidup insting itu, baru merambah bertahap pada kegiatan yang memantik inspirasi. Itu loh, ada lahan secuil, bisa diolah untuk apa yah?

Proses meng-ide semacam itu jika dijual dalam paket kelas inspirasi bertani bisa ber-Rupiah mahal tuh. Padahal warga agraris jaman dulu sudah auto saja, setiap jengkal pekarangan bisa untuk tidak dibiarkan menganggur, selalu ada saja ide alamisasinya, walau sekedar dilempari tongkat tumbuh tanaman–singkong. (Rizky D. Rahmawan)