Orang disodori sekolah sebagai representasi pendidikan, tapi nalar sebagian orang kok merasa janggal : kayaknya bukan begini deh pendidikan. Orang dikondisikan untuk dikala sakit ya kerumah sakit, tapi kok pengobatan herbal non-rumah sakit tumbuh menjamur tak terbendung. Orang dipaksa untuk taat kepada negara, pada peraturannya, pada pajaknya dan pada program-programnya, tapi kok yang terpikir : kayaknya seharusnya negara itu tidak begini deh. Maka orangpun mencari antitesa untuk menjadi alternatif jawaban yang bisa menjawab kejanggalan-kejanggalan itu.
Maiyah menjawab pendidikan, yang esensi dari pendidikan itu ijazahnya, atau bertumbuhnya? Maiyah menjawab tentang kesehatan, yang lebih mempeluangi seseorang untuk sembuh itu obat atau kejiwaan? Maiyah menjawab tentang pemerintahan negara, pemerintah itu pelayan kita, atau kita yang pelayan pemerintah? Dan maiyah menjawab serentetan pertanyaan-pertanyaan kehidupan lainnya.
Melihat dengan kacamata maiyah berarti mengklasifikasi, mana esensi dan mana ornamen. Nilai murni itu esensi, belief system itu ornamen. Nilai murni dari pendidikan adalah tumbuhnya jiwa, sedangkan ijazah adalah belief system yang disepakati secara kolektif sebagai simbol strata pelaku pendidikan. Persoalan menimpa kita ketika nilai murni dan belief system terbalik-balik. [] Rizky Dwi Rahmawan