MENCARI MAIYAH

Orang disodori sekolah sebagai representasi pendidikan, tapi nalar sebagian orang kok merasa janggal : kayaknya bukan begini deh pendidikan. Orang dikondisikan untuk dikala sakit ya kerumah sakit, tapi kok pengobatan herbal non-rumah sakit tumbuh menjamur tak terbendung. Orang dipaksa untuk taat kepada negara, pada peraturannya, pada pajaknya dan pada program-programnya, tapi kok yang terpikir : kayaknya seharusnya negara itu tidak begini deh. Maka orangpun mencari antitesa untuk menjadi alternatif jawaban yang bisa menjawab kejanggalan-kejanggalan itu.

Maiyah menjawab pendidikan, yang esensi dari pendidikan itu ijazahnya, atau bertumbuhnya? Maiyah menjawab tentang kesehatan, yang lebih mempeluangi seseorang untuk sembuh itu obat atau kejiwaan? Maiyah menjawab tentang pemerintahan negara, pemerintah itu pelayan kita, atau kita yang pelayan pemerintah? Dan maiyah menjawab serentetan pertanyaan-pertanyaan kehidupan lainnya.

Melihat dengan kacamata maiyah berarti mengklasifikasi, mana esensi dan mana ornamen. Nilai murni itu esensi, belief system itu ornamen. Nilai murni dari pendidikan adalah tumbuhnya jiwa, sedangkan ijazah adalah belief system yang disepakati secara kolektif sebagai simbol strata pelaku pendidikan. Persoalan menimpa kita ketika nilai murni dan belief system terbalik-balik. [] Rizky Dwi Rahmawan

 

Wajib Belajar Seumur Hidup

Orang yang lahir di zaman dimana sekolah dibangun dengan konsep yang kita kenal saat ini, maka ia tidak bisa mendapati saintifiknya pesan bijak “Tuntutlah ilmu dari lahir hingga liang lahat”. Menuntut ilmu atau belajar itu ya sekolah, di luar sekolah adalah bermain dan ekstrakurikuler.

Belajar di sekolah sebagai proses diklat wajib, yang kalau seseorang tidak menempuhnya dengan baik maka dia tidak akan memiliki masa depan yang cerah. Sebut saja Tasripin, seorang anak desa yang mendapat perhatian khusus dari Presiden Republik Indonesia karena nasibnya dianggap malang. Malang karena tanggung jawabnya menghidupi adik-adiknya yang masih kecil ia tidak berkesempatan untuk belajar di sekolah dan menikmati masa kecil sebagaimana anak-anak lainnya.

Pertanyaannya, apakah yang menjadi alasan belajar di sekolah itu dipandang sebagai belajar yang hakiki sehingga tidak mampu mengakses sekolah disebut kemalangan? Nyatanya ketika anak-anak lain belum bisa mandiri mencari uang sendiri, sedangkan Tasripin sudah bisa. Bahkan ketika anak-anak lain harus tiap pagi dengan manjanya harus dibangunkan oleh orang tuanya, sedangkan Tasripin memulai hari atas kesadarannya sendiri.

Yang malang itu yang tidak jua bisa mandiri atau sebaliknya? Yang malang itu anak yang kesadarannya tumbuh melesat, atau anak-anak yang dininabobokan dengan keasikan mainan-mainan khas anak-anak? Negeri ini kini berjubel dengan jutaan sarjana berijazah yang mereka tidak pernah kehilangan secuilpun kesempatan untuk menikmati masa kecil semasa ia kecil. Tapi masalah pengangguran pelik menyandera negeri ini, karena kurikulum kemandirian tidak terdapat dalam transkrip kelulusan mereka yang berjubel itu. Sekolah saja, ternyata tidak cukup untuk bekal hidup bukan? Apalagi untuk bekal mati.[] Rizky Dwi Rahmawan

Globalisasi atau Lokalisasi

Yang berbau global dianggap keren, yang berbau lokal dianggap norak. Globalisasi dijunjung oleh semua penjuru, sedangkan lokalitas dipinggirkan hingga tak punya ruang. Padahal tahukah darimana sesuatu yang ditakdzimi sebagai globalisasi itu berasal? Budaya kemeja yang mengglobal misalnya, bukankah kemeja adalah budaya lokal di Eropa sana yang kemudian dikampanyekan sedemikian rupa dalam kurun waktu tertentu sehingga sekarang menjadi budaya global?

Kemeja yang merupakan kekayaan lokalitas Eropa bisa mengglobal, sedangkan baju surjan yang merupakan kekayaan lokalitas Jawa justru terpinggirkan. Mengapa terjadi demikian? Hal itu terjadi karena keduanya dipersaingkan dan dipertandingkan secara tidak sadar dalam keseharian masyarakat. Ada yang menggotong kemeja secara bahu-membahu, sedangkan kita yang tidak sadar adanya proses persaingan dan pertandingan itu adem ayem saja dalam mengusung surjan.

Dan hal tersebut terjadi hampir menyeluruh di setiap sendi zaman, bukan hanya baju, tetapi musik, arsitektur hingga sistem sosial antar lokalitas-lokalitas dipersaingkan satu sama lain. Maka, kalau kita ingin menjadi bagian dari arus primer globalisasi, usunglah kekayaan lokalitas kita, kenalkan kelebihannya dan kampanyekan keunggulannya, sehingga arus globalisasi dapat diisi oleh kekayaan lokalitas kita. [] Rizky Dwi Rahmawan