Malam hari itu, malam minggu 21 Januari 2023 adalah gelaran pertama Juguran Syafaat di tahun 2023. Tahun dimana Simpul Maiyah Banyumas Raya ini genap satu dekade mewadahi paseduluran Maiyah di tlatah Panginyongan.
Syukur Alhamdulillah malam hari itu saya bisa ikut hadir dan nimbrung dalam ajur-ajernya suasana Maiyahan. Pelaksanaan edisi kali itu adalah di sebuah restoran berkonsep pendopo yang dipunyai oleh salah seorang penggiat Juguran Syafaat, yakni nama tempatnya Waroeng Juguran.
Syukur Alhamdulillah, Mbah Nun malam hari itu hadir di tengah-tengah anak cucunya yang telah begitu rindu. Betapa bersyukurnya bisa bertemu Mbah Nun. Dan semoga Mbah Nun juga bergembira karena bisa bertemu anak cucunya yang semakin bertumbuh dan tlaten untuk belajar bersama.
Satu dekade Juguran Syafaat malam ini menggambil tema Lolos Labirin Tabiat. Menukil dari isi mukadimahnya bahwa Tabiat bisa direfleksikan lebih dalam menuju inti di tengah transformasi berupa perubahan tindakan, perilaku, upgrade pengetahuan, kemampuan serta meneliti diri yang lebih bersifat permukaan.
Terjebak berputar-putar di dalam labirin. Berputar-putar begitu lelahnya tak sadar sedang berada pada kebuntuan. Yakni kebuntuan posisi berpikir yang tidak jelas dalam proses kehidupan.
Maka Mbah Nun pun berpesan agar dalam semester selanjutnya di Maiyah berusaha untuk mengaktivasikan ruh didalam jiwa kita. Salah satu proses menghidupkan energi baik di dalam kedalaman diri bisa dikerjakan dengan senantiasa berusaha melihat subjek atau konteks melalui titik pandang yang positif. Masing-masing kita hendaknya senantiasa berupaya mempositifkan segala hal dalam kehidupan kita.
Mbah Nun menyampaikan bahwa tidak heran di era digitalisasi dan medsos yang modern sekarang manusia memiliki tabiat dengan melihat manusia lain dari sudut pandang keburukan atau kita kenal dengan Al Ammarah bi suu’,. Yakni suka kepada yang buruk-buruk. Kata tersebut bermakna bahwa jiwa pada dasarnya memiliki sifat yang cenderung melakukan keburukan. Maka dari itu, setiap orang pada dasarnya memiliki sifat untuk melakukan hal yang buruk. Di sinilah peran aktivasi ruh ini meng-counter potensialitas diri yang cenderung terjebak melihat segala sesuatu melalui titik berdiri di dalam memandang dari sisi keburukan.
Seiring dirasakan bersama keburukan menjadi mindset pola pikir manusia. Bahkan tidak hanya diranah individu tapi sampai ke level bernegara. Betapa lelahnya peradaban kita hari ini yang didominasi oleh disinformasi yang tidak jauh-jauh muatannya adalah soal keburukan-keburukan. Sehingga banyak yang merasa putus asa kepada keberadaan kebaikan. Seakan-akan tidak ada ruang atau sekadar setitik air kebaikan di dunia ini.
Sebagai kuda-kuda menghadapi masa-masa ketidakpastian panjang yang masih sedang berlangsung, Mbah Nun juga mengingatkan agar hingga dua tahun kedepan anak Maiyah harus punya kesiapsiagaan terhadap perubahan yang sebelumnya belum pernah di alami. Bekalnya yakni dengan terus menerus mengaktivasikan kecerdasan ruhiah kita.
Di tengah begitu banyaknya poros-poros kelompok dan silang sengkarutnya pemahman, sudah semestinya Maiyah tetap istiqomah pada posisinya. Yakni posisi Maiyah dimana ia bisa menjadi tempat lahirnya pemahaman alternatif. Serta peran Maiyah menjadi laboratorium diri di dalam membangun resistensi terhadap kondisi yang berpotensi buruk.
Melaui aktivasi ruh di jaman ini untuk bisa merasakan dan melihat dalam keseimbangan perilaku dan percintaan menuju illallah yang sejati