Orang Baik v Orang Lugu

Apakah benar stigma bahwa orang baik itu lebih banyak dikadalin alias dibohongin?

Di indonesia dari dulu selalu krisis sosok figur yang bisa dijadikan kebanggaan. Sehingga mengakibatkan minim sekali tipe kepemimpinan yang bertajuk loyalitas merakyat, saat ini yang banyak malahan tipe pemimpin yang banyak pencitraan atau mereka yang hanya sibuk mencari nafkah. Sehingga, definisi baik atau becik pun semakin bergeser dari koordinat yang semestinya.

Entah kebetulan atau memang sudah disetting, dari dulu kita selalu disuguhi figur seperti Jono dan Lono, kemudian ada juga Bang Mandra yang katanya anak yang baik, berperangai lugu, suka menolong walaupun secara kecerdasan ditampilkan pas-pasan alias biasa saja.

Fenomena di dunia sekolah pun sering kita jumpai, anak yang rajin mencatat tidak pernah mbolos rambute klimis, anteng dan ora metakil, seringkali dibully, dimintai uang, di kadalin, diprentaih tumbas jajan, di berkicot’i bahkan di keongi.

Dari keadaan itu munculah stigma jadi orang baik itu percuma, selalu ditindas, dikadalin dan gampang dibohongin. Hal itu membuat jadi menjadi orang baik bukanlah pilihan favorit di dalam kehidupan hari ini.

Entah sampai kapan stigmatisasi negatif dari pilihan berperangai baik ini akan berakhir, kita bisa mulai dengan mengidentifikasi pembeda antara orang baik versus orang lugu. (Agus Ginanjar)

Belepotan Beletan di Pentas Ndaudbeletan 2020

Di hari minggu pagi yang cerah Saya menyaksikan sebuah karya seni dari Abah Titut Edi Purwanto. Sebuah pementasan di alam terbuka dengan tajuk, “Ndaudbeletan”. Sebuah pementasan yang menurut saya unik, karena tidak ditampilkan di atas panggung, melainkan di atas belet (lumpur). Pementasan ini menggambarkan bagaimana petani mengerjakan proses dan prosesi dari bercocok tanam di Sawah.

Saya datang lebih awal sebelum acara di mulai, melihat kehadiran saya, Wajah Pak Titut nampak senang. Walaupun saya tidak bisa bantu-bantu, setidaknya ikut nyengkutung energi positif sebelum sang lakon utama bersiap menuju pentas. Menurut Pak Titut, selain untuk Pertunjukan, “Ndaudbeletan” juga bertujuan untuk mengingatkan  pada anak cucu bahwa dahulu nenek moyang kita semua adalah seorang petani yang gemar bercocok tanam.

Acara tersebut diadakan di Sawah belakang Balai desa Pangebatan, pada hari minggu yang cerah di tanggal 20 Desember 2020. Acara ini sekaligus sebagai momentum peresmian gubug sawah yang baru saja Pak Titut bangun, yang diberi nama Gubung Sawah Cowongsewu.

Tidak tanggung-tanggung, gubug sawah dengan nuansa natural alamiah berukuran 6 x 6 meter ini pada hari itu diresmikan langsung oleh Bapak Sadewo, Wakil Bupati Banyumas. Acara dimulai sekitar pukul 09.30 WIB diawali dengan Pak Titut memberikan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya acara dan kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Pak Wabup.

Beberapa menit setelah sambutan selesai, kemudian bergulir pada mata acara pembacaan puisi. Puisi menjadi pemantik dari dimulainya Pertunjukan yang dengan gaya khasnya Pak Titut selalu mampu menarik perhatian penonton agar mendekat dan atusias.

Dalam pertunjukan tersebut Pak Titut mengikutsertakan  sekitar 15 anak-anak kecil yang biasa belajar dan bermain bersamanya disawah. Ikut hadir juga teman-teman muda anak-anak “asuhan” Pak Titut, Ada seorang pemain biola, seorang pemain kendang,  beberapa pemain genjring untuk iring-iringan dan dua orang penari. Yang istimewa adalah salah seorang dari penari adalah istri Pak Titut sendiri, Ibu Tri Indarwati.

Hal yang bagi saya amat menari dari pertujukan ini salah satunya adalah filosofi dan makna “Tarian Jiwa” yang dilakukan Pak Titut bersama Istrinya. Di dalam tarian yang diselimuti Kain Putih tertutup rapat diatas lumpur sawah yang telah di bajak sehingga melambangkan antara bumi dan langit sedang bercocok tanam untuk kemudian memunculkan benih dan menghasilkan panen dari hasil bercocok tanam yang dilakukan.

Setelah pertunjukan dan puisi-puisi tentang alam selesai dilakukan, acara kemudian dilanjut dengan peresmian Gubug Cowongsewu oleh Pak Wabup. Gubug ini nantinya akan difungsikan sebagai tempat belajar  anak-anak desa setempat di setiap minggu pagi bersama Pak  Titut. Gubugnya pun unik banyak kata-kata bijak yang ditulis di papan kayu yang memiliki makna sebagai pengingat dan nasehat dari para leluhur.

Sambil beristirahat ditengah teriknya matahari di Gubug yang baru saja diresmikan, Pak Wabup dan penonton pun mulai menikmati suguhan jajanan pasar seperti klepon muntul dan aneka rasa gethuk berwarna warni yang memancing lidah untuk menyantapnya bersama segelas teh hangat, makanan yang berkah dan gratis itu memang sangat nikmat.

Setelah beberapa menit ngobrol santai dan menyaksikan duet antara Abah Titut dan Pak Wabup dalam menyanyikan lagu “Cempulek Gawe Mendoan” akhirnya Pak Wabup pun mohon undur diri dan berpamitan pulang.

Saya mengikuti acara hingga selesai dengan hati yang marem. Acara dipungkasi sekitar pukul 12.00 WIB. Kami semua pun merasa senang dan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Dalam acara tersebut banyak seniman yang dulunya belum sempat bertemu akhirnya dapat berjumpa di acara tersebut. Pak Titut pun juga berharap jika di beri kesempatan dan berkah, kedepannya akan membuat lagi karya-karya yang di lahirkan di Gubug Cowongsewu tersebut.

Menyeimbangkan Kembali Cara Pandang pada Pandemi

Sudah bulan ke-tujuh pandemi ini belangsung mengguncang peradaban umat manusia, ekonomi, dan aktifitas ruang lingkup kehidupannya. Ketika melihat kembali fenomena yang terjadi saat ini, Pengamatan saya di awal pandemi dimulai dari mematuhi arahan dari pemerintah, hingga bersama-sama teman-teman komunitas berupaya mengerjakan apa yang saat ini bisa untuk bertahan dan mengambil pelajaran dari fenomena seperti ini.

Banyak sudut pandang berdatangan dari berbagai arah yang menuntut otak saya untuk berpikir dan kemudian menganalisa informasi yang masuk. Dalam proses menganalisa tersebut pada bahasan diskusi Selasaan lalu kami mendiskusikan tentang tiga cara pandang: Magis (Teosentris), Naif (Antroposentris) dan Kritis (Berpikir Sebab-Akibat).

Cara pandang naif dalam melihat realitas seperti pandemi saat ini biasanya dia akan berpikir biasa-biasa saja disekitar lingkungan saya tidak terjadi apa-apa. Yang penting selalu gembira dan optimis. Jangan terlalu banyak membaca berita buruk. Agar imunitas tubuh tidak menurun. Naif di sini bukan dalam definisi ‘sok suci’ ya, tetapi sebuah cara pandang yang menitikberatkan pada motivasi diri.

Kemudian cara pandang magis, kategori cara berpikir magis selalu mengkaitkan relaitas apapun yang terjadi dengan selalu ada peranan Tuhan didalamnya (teosentris). Pandemi ini secara magis dapat dimaknai sebagai teguran dari Tuhan karena keserakahan manusia.

Dan yang ketiga adalah cara pandang kritis. Kritis disini bukan dalam artian suka mengkritisi keadaan. Melainkan memandang segala sesuatu sebagai peristiwa sebab-akibat. Sains-minded. Cara pandang kritis menggiring pada pertanyaan-pertanyaan, misalnya apa saja sih yang sudah dilakukan selama 7 bulan ini yang menjadi pelajaran bermanfaat bagi kemajuan diri? Bagaimana antisipasi manajemen kesehatan ke depan dan antisipasi terhadap resesi?

Ketiga Kategori cara pandang itu harus di terapkan secara seimbang, proporsional. Agar di dalam menghadapi keadaan kita tidak menjadi gegabah atau sebaliknya menjadi nglentruk. (Agus Ginanjar)

Cita-Cita Baik, Hari Ini Baik

Sama-sama peristiwanya adalah mencubit tangan tetapi bisa berbeda efek akibatnya. Mencubit, menyenggol dan menabok akan berbuah kemesraan kalau dilakukan oleh sepasang pengantin baru. Tidak ada marah-marah, yang ada dibalas justru semakin mesra.

Tetapi kalau orang yang dicubit tangannya itu adalah orang lain, maka bisa saja ia menjadi tersinggung kemudian marah dan yang ada kita digampar olehnya. Di atas adalah sekelumit analogi yang diungkapkan oleh Mas Agus Sukoco saat kesempatan ngobrol-ngobrol santai seusai virtual forum Juguran Syafaat lalu.

Ketika itu saya bertanya tentang maksud dari sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, “Allah Ta’ala berfirman: wahai hamba-Ku, Aku sesuai persangkaanmu kepada-Ku,…”.

Jawaban berupa analogi tersebut belum membuat saya terpuaskan. Meskipun saya mendapat pemahaman bahwa terhadap sesuatu yang jelas-jelas Dia mengasihi kita, maka tinggal bagaimana prasangka kita saja terhadap “perilaku”-nya kepada kita. Tidak mungkin perilaku itu terdapat yang merupakan bukan sebuah kemesraan.

Saya kemudian terus membawa ke dalam perenungan saya sendiri tentang “berprasangka baik”. Sesuatu yang menurut saya nyambung kemudian saya dapatkan dari sahabat saya yakni Mas Kukuh, pada sebuah medsos ia menyetatus “Impian menjadikan kita mudah untuk menentukan prioritas-prioritas hidup hari ini”.

Bukankah impian adalah juga bentuk dari sebuah prasangka baik? Gumam saya. Yah, mengalirkan energi positive thinking kepada pasangan, kepada masa depan atau kepada siapapun saja pada akhirnya energi positif itu akan berbalik kepada diri sendiri. Itu adalah sebuah kesimpulan kecil yang saya dapatkan.

Semakin baik, hebat dan wah sebuah impian maka ia akan mengalirkan energi yang semakin positif terhadap apa-apa yang harus dikerjakan oleh kita di hari ini. Menjadi tidak sinkron ketika seseorang mempunyai impian istimewa tetapi hari-harinya dijalani secara biasa saja.

Sebaliknya ketika hidup tidak mempunyai impian, masa depan hanya sebuah pesimisme maka energi buruk akan mengurung hari-hari kita. Hari-hari dijalani tanpa prioritas yang jelas.

Begitupun berprasangka buruk kepada Tuhan, maka energi diri ini akan tersedot menjadi alasan-alasan untuk menyalahkan Tuhan. Tidak heran apabila kemudian yang ditemui adalah nasib buruk.

Mau direnungi atau dianalisis bagaimanapun, tidak saya temukan alasan Tuhan mempunyai kepentingan buruk kepada hamba-Nya. Maka baik atau buruk letaknya hanya pada pilihan pandangan kita kepada-Nya. (Agus Ginanjar)

Serba-Serbi Silaturahmi Digital

Menuruti aturan physical distanding bagi saya adalah hal yang penting. Meski akibat peraturan itu, kegembiraan saya mengikuti Sinau Bareng atau Maiyahan seperti biasanya harus ditanggalkan dahulu. Rutinan Maiyahan Juguran Syafaat yang biasanya sebulan sekali di Pendopo Wakil Bupati Banyumas juga diubah formatnya menjadi virtual forum.

Seperti yang sedang marak akhir-akhir ini, metode meeting online selain dipakai untuk rutinan Juguran Syafaat, juga dimanfaatkan untuk diskusi online antar Penggiat. Saya dan teman-teman Penggiat tetap berkumpul meski didalam layar virtual. Meski melalui layar virtual, saat video conference saya lebih senang menyimak, karena merasa belum percaya diri untuk berbicara banyak hal.

Namun, lepas dari semua itu saya jadi mengerti bahwa internet hari ini benar-benar barang yang penting. Bagi saya dan kita semuanya yang membutuhkan untuk tetap berkomunikasi satu sama lain di saat harus menjaga disiplin physical distancing.

Ada sisi lemahnya memang keadaan hari ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang jadi ‘jebol’ kuota internetnya. Maklum, tumpangan wifi gratis sulit didapatkan hari ini. Kafe banyak yang tutup. Namun, itulah serba-serbi silaturahmi digital di masa pandemi ini. (Agus Ginanjar)

Membaca Peta Dunia melalui Pandemi

Pandemi adalah wabah yang telah menyebar lintas benua. Sebab persebarannya yang sangat luas dan tidak terkendali, maka urusannya bukan hanya penanganan medis tetapi juga politis. WHO sepanjang sejarah baru mengumumkan 2X pandemi, yakni Flu Spanyol 1918 dan Influenza H1N1 tahun 2009.

Dari pemaparan yang saya ikuti oleh seorang Pakar Geopolitik, saya memahami bahwa hari-hari ini adalah penting untuk kita memahami apa yang sedang terjadi di negara kita dan keterkaitannya dengan peta internasional.  

Sang Pakar tersebut mengajak untuk kita membangun persambungan antara apa yang ada di benak Xi Jin Ping dan apa sebenarnya yang ada di isi kepala Donald Trump. Dan apa hubungan keduanya dengan yang kita lihat terjadi di Indonesia hari ini.

Kita semua tahu, Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok alias China sudah sedang menjalankan perang dagang bertahun-tahun. Masih kata Sang Pakar, hal itu memang sengaja dilakukan China untuk menantang ke-adidaya-an Amerika Serikat.

Ekonomi China memang tumbuh mengerikan. Tantangan China tersebutpun membuat Amerika Serikat berhasil merasa terganggu. Maka, ada versi yang menyebutkan bahwa setelah perang dagang, maka perang biologi-lah yang dilancarkan Amerika. Pertanyaannya, apakah Covid-19 ini adalah senjata Biologi yang dimaksud itu? Jawabannya adalah: Wallahu ‘alam. Ada begitu banyak teori konspirasi yang saya tidak tahu mana yang benar.

Lepas dari semua itu, adanya Pandemi ini hikmahnya adalah membuat kita lebih melek wawasan internasional. Membaca pergerakan politik dunia. Membandingkan penanganan Pandemi di sebuah negara dengan negara lainnya. Ternyata dunia ini begitu luas. Tidak boleh kita hanya menjadi cebong di dalam tempurung. (Agus Ginanjar)