Ruang Merdeka

Majelis Ilmu Juguran Syafaat edisi ke-106 Januari 2022

“Kuncinya ya enjoy. Kalau ikhlas kayaknya kok saya tak sanggup menjangkau,”ujar Bunda KLC menceritakan kesehariannya yang penuh kegiatan dengan begitu variatifnya. Olahraga, ngurus tanaman, mengajar, ngulik lagu, dll.

“Saya mempunyai istilah ‘fast charging’,” respons Kukuh, moderator Juguran Syafaat malam hari itu. Kalau HP mahal itu ada fitur fast charging-nya, di-charge sebentar tapi bisa dipakai seharian. Sebab saya pernah mempunyai HP, di-charge semalam suntuk, baru setengah jam dipakai sudah habis. Ini sebuah analogi dari tidur atau istirahat yang efektif dan tidak efektif.

Mas Izaz salah seorang Jamaah sharing tentang resolusi 2022 atas dirinya, yakni meninggalkan sikap klelar-kleler. “Hidup enjoy dan klelar-kleler ini beda loh ya teman-teman,” tandas Kukuh. Kalau klelar-kleler itu kan sinonimnya bebehan — serba enggan, sedangkan enjoy adalah menggembirai yang dikerjakan.

Selain senantiasa enjoy dan tidur yang efektif, Bunda memberikan tips lain untuk menjalani hari dengan berkualitas yakni dengan menjaga asupan makanan. Hal lainnya lagi adalah Bunda bercerita bahwa kerap menjelang tidur menjadikan playlist KiaiKanjeng sebagai healing. Di sesi awal Juguran Syafaat edisi kali ini, Bunda diringi Mas Ponda selain sharing juga mempersembahkan beberapa nomor lagu.

Peristiwanya Memberi, Belum Tentu dari Etos Memberi

Beberapa puluh tahun yang lalu Mbah Nun sudah memberikan rekomendasi tentang perzakatan nasional tentang bagaimana menumbuhkan etos memberi di masyarakat. Di tahun-tahun terakhir ini yang terjadi peristiwanya banyak orang memberi, tetapi diam-diam di dalam hatinya etosnya adalah berpamrih.

Memangnya kalau orang mempunyai etos memberi atau melakukan sesuatu yang kontributif bisa bahagia? Lalu saya mencoba mencari-cari sisi pandangan logis orang bisa mempunyai etos memberi. Misalnya dari sudut pandang ilmu faali tubuh, oh, kalau orang sedang memberi, akan keluar hormon yang membuat hati gembira.

Hari ini berbagai model berbagi banyak sekali. Tetapi hati masing-masing yang tahu pamrihnya di mana ada atau tidak. Kalau memang etosnya memberi, sungguh luar biasa mestinya kondisi sosial ekonomi masyarakat kita hari ini.

Temuan Baru, Disanggah, Lalu Temuan Baru Lagi

Yuni salah seorang jamaah merespons, “Symbolic adalah jalan tengah untuk bersosial media, di saat banyak medsos penuh propaganda dan sudah menjadi alat untuk berbagai kepentingan”.

“Metaverse menurut saya mempertemukan generasi dulu dan generasi sekarang. Kalau di tradisi ilmiah kan ada temuan, kemudian disanggah, kemudian lahir temuan baru. Dulu di era Bunda misalnya, kalau sregep, dapat pekerjaan nanti hidupnya menghasilkan. Berbeda dengan generasi sekarang, kalau sregep berkreativitas, kelihatannya sedang bermalas-malasan mantengin layar, tetapi ternyata diam-diam menghasilkan.

Bagi saya, Juguran Syafaat adalah ruang yang memerdekakan untuk kita mengunduh ilmu-ilmu dan temuan-temuan baru. Ruang ini adalah jalan tengah di saat institusi pendidikan sudah tidak bisa sama sekali merdeka dari jerat kurikulum,” paparnya.

“Ya betul, di aplikasi Symbolic ya sebetulnya seperti ini, sinau bareng, hanya bentuknya virtual,” Anjar merespons.

Kalau teman-teman HP-nya belum leluasa untuk menginstal aplikasi baru, bisa kunjungi akun Instagram @symbolic_id. Ini ada cicipan-cicipan di mana topik-topik yang sedang hype dikupas dari sudut pandang yang berbeda dan lebih substansial. Misalnya, tentang multitasking vs monotasking, lalu ada 1st brain & 2nd brain, dll.

Pengalaman pribadi saya berinteraksi di aplikasi Symbolic saya menyaksikan betapa Mas Sabrang sangat sungguh-sungguh mentranformasi pemahaman-pemahaman yang disampaikan oleh Mbah Nun. Mas Sabrang mem-breakdown banyak sekali hal, yang itu sangat membantu kita mengkontekstualisasikan pemahaman Maiyah ke dalam kebutuhan masing-masing.

Wande Gusut Mider

“Ngapura kiye aku tekane telat. Bar kejadian,” ujar Kang Agung Totman. “Kejadian apa kang?,” tanya moderator. “Kejadiannya adalah.. kumpulan — rapat, haha,” Kata Kang Agung, disambut ketawa teman-teman.

Ngomong-ngomong tentang “Ngunduh Wohing Momentum” yang merupakan tema malam hari ini, ya, momentum, ini terkait dengan ilmu titen, alias ilmu membaca kejadian. Kejadian yang dimaksud yang berkaitan dengan diri kita sendiri dan keseharian kita, lebih jauh sampai pola-pola warisan leluhur yang ada di berbagai primbon.

Mas Najib atau kerap disapa dengan nama Mas Jibrog membaca kejadian mengenai fenomena maraknya mainan miniatur truk oleng yang banyak diproduksi oleh UKM di Purbalingga.

“Saya ini pekerjaannya sales. Sewaktu awal pandemi, sales dibuat pusing banyak gang-gang diportal. Lalu saya mencoba berpikir tentang hal lain,” ujar Mas Jibrog.

“Fenonema truk oleng yang ramai di medsos ternyata ditangkap oleh sejumlah pengrajin mainan di Purbalingga. Dulu saya pikir cuma bakal ramai beberapa sesaat, tetapi ternyata ini sudah sampai dua tahun masih ramai saja mainan miniatur truk oleng made in Purbalingga,” ujarnya.

Moderator bertanya, apakah Kang Jibrog memproduksi juga mainan truk oleng? Ia menjawab: tidak. Ataukah ikut berjualan di online? Juga dijawab: tidak.

“Saya mencoba bikin akun Shopee malah di-banned. Ya sudah saya sadar diri lah, saya bukan di situ,” Ia menjawab, jamaah gerrr tertawa. Betapa menakjubkan bagi saya, di tengah grand momentum digitalisasi akibat pandemi, ia hanya mengambil ceruk peluang yang bisa dibilang amat kecil dari hasil riset yang ia lakukan, yakni berjualan lakban.

Tapi jangan dianggap kecil. Mas Jibrog sendiri mengaku takjub dengan begitu banyaknya pedagang online rumahan di Purbalingga. Data ia dapatkan dari rekan-rekan kurir ekspedisi. Nah, semua itu adalah market potensial bagi lakban dagangannya.

“Lalu, apa lagi selain lakban, Kang?” moderator kembali bertanya. Kang Jibrog yang sepanjang sharing dengan basa Jawaan, tetapi malah lugas dan asyik disimak. Katanya, riset terbarunya adalah mengenai momentum ASO. “Apa itu, kang?,” moderator bertanya lagi. ASO adalah analog switch off adalah yakni momentum baru bagi Mas Jibrog untuk menjajakan Set Top Box, alat untuk mengubah TV analog menjadi TV digital.

Ia memaparkan bahwa TV analog di Banyumas dan Jateng VII lainnya menurut regulasi akan switch off total mulai 22 April 2022 nanti, katanya. Jadi memang ini adalah momentumnya untuk berjualan set top box, hingga jasa pasangnya sekalian.

Ia mengaku sudah riset sejak dua tahun lalu. Sampai mempelajari peraturan Menteri termasuk UU Cipta Kerja bagian pita frekuensi. “Yang kiranya menguntungkan ya saya pelajari,” ujarnya. Tak lupa juga riset harga pasar, termasuk yang ada di marketplace.

Kang Agung menyarankan Mas Jibrog supaya menghubungi Mas Ifa supaya dibuatkan logo untuk warungnya yang mempunyai nama Wande Gusut Mider.

Determinasi Belajar

Kemampuan mendeterminasi apa yang harus dipelajari dan apa sebetulnya yang sedang dituju inilah yang kemudian diulas dengan apik oleh respons dari Yuni. Ia yang sedang menyelesaikan disertasinya tentang Maiyah bahkan mengaku, di luar disertasi, saya juga mencatat banyak hal. Salah satunya adalah keunikan metode pembelajaran di Maiyah.

Saya mencoba membahasa ulangkan apa yang dibahas di Symbolic mengenai pedagogi, androgogi dan hetagogi. Bahwa zaman dulu, eranya generasi X sekolah, pembelajaran yang paling kompatibel mungkin adalah classroom atau berbasis pedagogi. Lalu belakangan ini classroom diefektifkan dengan adult education, dimana peserta didik juga ikut terlibat di dalam jalannya proses belajar, fungsi guru adalah sebagai fasilitator (Androgogi).

Dan sekarang, kelihatannya yang paling kompatibel adalah hetagogi, dimana setiap subyek pelaku belajar melakukan determinasi sendiri apa yang perlu dipelajari dan untuk tujuan apa. Mas Sabrang menyebut ini dengan ‘prasmanan ilmu’. Dan Mbah Nun jauh-jauh hari sudah menyiapkan wadahnya berupa ‘sinau bareng’ sepaket dengan mindset dasar jamaah Maiyah ‘kedaulatan berpikir’.

Spirit Saling Mengapresiasi

Berbeda dengan pelanggan lakban Kang Jibrog yang kebanyakan adalah ibu-ibu rumah tangga penggiat Shopee, sharing berikutnya dari Fikry, sama-sama pelaku marketplace, tetapi dia marketplace fotografi.

“Kalau yang dikejar hanya like dan comment, itu banyak kecewanya. Itu bisa-bisa orang berhenti berproduksi. Karena seberapa beratpun effort seorang kreator membuat karya, ujung-ujungnya akan tetap kalah oleh foto paha dan belahan dada,” urai Fikry.

“Tapi, menariknya di luar sana ada orang-orang yang benar-benar appreciate dengan apa yang kita create. Jadi, tiba-tiba ada orang kontak seorang produser band lokal di Ohio, Amerika Serikat dan mengapresiasi foto yang aku buat. Kita ngobrol, ditanya konsepnya bagaimana, yang asiknya lagi di situ ada negosiasi sampai dia mau bayar dengan $200.

Sebenarnya gampang saja dia mengkonsep itu dengan resources di sana, tetapi mungkin memang dia ingin memberikan apresiasi orang lain. Apresiasi kepada karya yang dihasilkan dari ide yang orisinal. Ini adalah hal yang luar biasa,” urainya lagi lebih panjang.

“Ini relate dengan spirit Koperasi KJS yang sedang kita sama-sama bangun. KJS yang baru saja RAT tahun ke-1 siang tadi, menurut saya penting untuk mendukung rekan kita satu sama lain. Bentuknya sebenarnya sederhana, kalau ada teman lain mempunyai unit produksi, dibantu untuk membesarkannya.

Kalau membeli produknya, tidak usahlah pakai ‘harga teman’. Penjual langsung bicara net-price saja, nggak usah pakai nego-nego, pembeli juga langsung saja buka kesanggupan angka maksimal membeli.

Ini jadi satu metode yang baik untuk bisa saling menghidupkan produk dan jasa teman-teman di dalam satu komunitas, saya berharap sekali Koperasi KJS ini bisa masif dan powerful. Pada saatnya nanti kita akan meng-handle project dengan angka kapital yang besar. Makin progresif ke depan,” Fikry menuntaskan uraiannya.

Kontekstual Learning

Bersahut respons berikutnya adalah dari Mas Dandy, seorang pelaku mining di crypto, ia menjelaskan dengan sederhana mengenai dasar-dasar blockchain, mata uang crypto, hingga NFT.

“Crypto currency artinya mata uang crypto. Ada bitcoin, dll. Dianalogikan, mata uang crypto itu seperti berlian, karena sama-sama bisa ditambang (mining) dan dapat dijual belikan. Bedanya berlian itu nyata, crypto itu digital.

Kalau NFT itu hasil karya yang diperjualbelikan dengan metode mata uang crypto. Mungkin di antara teman-teman di sini ada yang trader atau holder mata uang crypto. Lalu, kalau airdrop itu bisa dianalogikan seperti giveaway, dengan mengerjakan sebuah chalenge bisa mendapat reward berupa koin tertentu,” paparnya.

Dandy sendiri adalah seorang pelaku mining koin SLP. “Metode mining-nya itu dengan game,” ujarnya.

Lalu Jibrog bertanya, “Mas, mata uang crypto kena nggo tuku beras?,” tanya Jibrog kepada Dandy. “Bisa, kalau sudah dicairkan.”

Kalau malam ini sedikit-sedikit kita membahas NFT bukan berarti latah, harapan minimalnya adalah, terhadap temuan-temuan baru yang datang, kita tidak serta merta mengekor pada narasi-narasi pejabat dan narasi influencer. Tetapi kita memiliki pengetahuan orisinil yang kita bangun sendiri. Jadinya belajar kita ada konteksnya dengan kebutuhan, masalah dan peluang yang sedang kita hadapi.

Goal Globalisasi Sudah Terjadi

Yuni kembali urun respons, “Goal globalisasi di tulisan-tulisan yang pernah saya baca, memang goal globalisasi adalah yang terjadi hari ini. Di tahun 90-an awal mereka telah meramalkan apa yang terjadi hari ini. Dunia sudah tidak terbatas ruang dan waktu. Dan semua sama.”

“Belajar dari pengalaman empiris Mas Jibrog, polanya adalah: Awalnya dia mengobservasi sampai mendapati kesimpulan berarti lakban sekarang penting, TV digital sekarang penting. Setelah sadar terus Ia bertindak. Nah, hasil dari tindakan ini bisa menjadi keuntungan atau rezeki. Urut-urutannya adalah, membangun konteks, menjemput peluang lalu menyadari bahwa ia harus bertindak.

Selain itu, pe-er kita hari ini adalah bagaimana menangkap sebuah momentum tanpa harus kehilangan jati diri. Jati diri sebagai wong Jawa, jati diri orang Indonesia, dll. Dan bagi Saya Juguran bagi saya adalah sebuah budaya lokal sesuai jati diri, yang sudah diobservasi, bertindak dan menjadi keuntungan bagi semua yang hadir pulang membawa ilmu,” tandasnya.

Supaya Kita Tidak Capek Nandur

Berikutnya respons jamaah dari Tata, Ia menanggapi bahwa tentang kontekstual learning, kemajuan teknologi dan pe-er sosial hari ini adalah pokok bahasan serius yang ia dapatkan malam hari itu.

Bahwa kontekstual learning adalah ilmu empiris, yang mana hampir sama dengan ilmu praktis, yang berbeda cara mendapatkannya dengan ilmu akademis. Ironisnya itulah yang orang kadang kurang sadari. Dan di Juguran syafaat ini sama-sama kita belajar ilmu empiris dan membuka kesadaran.

Kesadaran terhadap apa? Kesadaran terhadap ngunduh momentum. Yang mana kita di situ harus nandur tanpa pamrih. Ini intisari yang saya ambil sendiri dari sepanjang uraian tadi, agar kita tidak menjadi makhluk yang transaksional, maka kita harus menghargai diri kita sendiri dan menghargai orang lain. Di mana, kalau kita sudah berhasil menghargai diri kita sendiri maka kita tidak akan capek nandur. Dan kalau kita menghargai orang lain, maka orang lain juga tidak capek nandur. Karena dihargai.

“Goal dari tema ini bagi saya, semoga kita bisa saling menghargai satu sama lain, baik dalam berkarya dan berusaha,” pungkasnya.

Previous ArticleNext Article