Perpustakaan Surya Cendekia Membedah “Lahir Kembali”

Acara bedah buku “Lahir Kembali” karya Mas Agus Sukoco dengan lancar telah digelar pada Kamis 29 april 2021 di Perpustakaan Surya Cendekia SMA N 1 Bobotsari. Acara mengambil tempat di Aula SMA N 1 Bobotsari ini, Meskipun berlangsung daring tak mengurangi antusiasme khalayak untuk ikut menyimak acara tersebut. Tampak pada layar monitor, kurang lebih 300-an peserta on-line yang terdiri dari Siswa-siswi dan Lusarian (alumni SMA N 1 Bobotsari).

Mengalasi acara tersebut, Joko Widodo sebagai kepala sekolah SMA N 1 Bobotsari menyampaikan bahwa dirinya berharap semoga acara ini menjadi inspirasi bagi murid-murid. “Bagi saya judulnya sangat menarik, apanya yang lahir Kembali? Apakah secara jasad, batin-nya, atau mungkin realitasnya?” ujar Joko. Menurutnya budaya membaca harus menjadi kebiasaan siswa-siswinya.

Acara yang sedianya dihadiri oleh Bupati Purbalingga. Namun karena berhalangan hadir, kehadiran Beliau diwakili oleh oleh Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Purbalingga (DINARPSUS) dra. Jiah Palupi. “Setting cerita pada novel lahir Kembali begitu detail dan tidak semua orang bisa mengeksploitasi latar seperti itu dengan bagus. Termasuk saya belum mampu untuk bisa seperti itu.” ujarnya. “Selain setting latar yang detail, kekuatan karakter tokoh juga sangat istimewa.” Tambah Jiah Palupi dalam sambutannya.

Acara bedah buku di pandu oleh Mas Zulfikar atau yang akrab dipanggil Omen. Ia adalah aktivis muda yang cakap sekali dalam hal menstimulasi seseorang untuk ngobrol, maka suasana forum pun menjadi demikian hidup,Buku ini sangat menarik. Mengapa demikian, karena di dalam buku ini banyak sekali cerita-cerita yang mirip dengan kehidupan kita sehari-hari yang tidak bisa ditebak sama sekali.”, Seloroh Omen.

Mas Agus Sukoco, penulis karya fiksi Lahir Kembali yang notabene Alumni SMA Bobotsari Angkatan 95 itu mengungkapkan perasaannya yang over romantic dan melankolis. “Kalau hidup itu perjalanan maka, SMA N 1 Bobotsari merupakan salah satu etape penting di dalam transisi jiwa dan kemanusiaan saya. Usia SMA adalah usia paling rawan dimana saat itu kita mulai mengerti dan mulai aktif naluri estetik, mulai tertarik pada lawan jenis, tapi pada saat yang sama ketakutan mulai tersadari oleh kita. Usia SD, SMP, kita masih seolah di dalam bopongan optimal keluarga kita. Apa saja masih tertanggung, tapi mulai SMA, kita mulai sadar bahwa selangkah lagi kita memasuki rimba raya yang kejam.  Dan memasuki ruangan ini bagi saya sebuah kehormatan sejarah.” 

“Novel ini mungkin tidak murni pengalaman hidup saya, tapi secara substansi pengalaman banyak orang yang saya adalah satu yang menghayati kondisi atau realitas semacam ini. Ketika SD, SMP orang masih berani mempunyai kedaulatan untuk bercita-cita, namun Ketika mendewasa ia bertemu dengan realitas seperti kemiskinan orang tua, kemunafikan sistemik yang memarginalkan sebuah kelompok dengan memudahkan kelompok lain. Arya (tokoh utama novel) adalah salah satu orang yang mengalami depresi atas keadaan itu. Arya menutup lingkungan dan mempersalahkan orangtua sebagai biang nasib buruknya.” Mas Agus mengurai. Acara berlangsung gayeng dan diakhiri dengan penyerahan buku kepada SMA 1 Bobotsari dan penyerahan kenang-kenangan oleh SMA yang diwakili oleh Joko Widodo sebagai kepala sekolah.

Previous ArticleNext Article