Tidak ke Masjid sebagai Trigger

Masjid-masjid ditutup. Tapi kok mal-mal tetap buka? Ya, masjid dan mal memang menganut sistem nilai yang berbeda. Mal itu dibangun untuk how to earning money. Sedangkan masjid, meskipun punya earning pahala effect, ia memiliki nilai yang dijunjung lebih utama dari itu, yakni wahana edukasi bagi umat.

Kalau sekolah sudah berubah dari public good menjadi privat sector, masjid tetap setia menggelar pengajian-pengajian nirbiaya. Bahkan kalau di desa-desa, konsekuensi logis dari panitia menggelar pengajian adalah wajib menyiapkan hidangan snack. Tentu dengan pelbagai model penyelenggaraannya, menggunakan uang kas atau mengorganisasi gotong royong masyarakat.

Menyoal masjid sebagai wahana edukasi masyarakat, di hari-hari pandemi ini formula edukasinya berbeda. Bukan melalui pengajian, melainkan melalui menggembok pintu-pintunya. Ini adalah pengalaman langka yang mungkin hanya akan saya alami sekali seumur hidup.

Ketika Mas Sabrang ditanya, apa pendapatnya tentang ditutupnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, ia merespons, kalau kita membaca sejarah, hampir semua sejarah wabah itu berasal dari perkumpulan keagamaan. Hal itu pula yang terjadi pada Covid19 ini, di Korea episentrum bermula dari gereja. Di Malaysia terbanyak dari Ijtima’ Jamaah Tabligh.  

Dari dua Masjid Suci Haramain sampai Langgar di kampung-kampung melakukannya. Setelah Adzan ditutup dengan shallū fī buyūtikum dan kemudian tidak ada iqamat. Orang-orang kemudian memilih ridha untuk sholat di rumah sementara waktu.

Yang mendasari kesediaan itu adalah keyakinan bahwa meskipun sholat dikerjakan di rumah, tetap kok pahala mengalir. Urusan akan tetap dihitung 27 grade atau dapat reguler grade, hanya Allah dan malaikat-Nya yang tahu. Andai pahala dikortingpun, insyaallah tetap ridho, anggap saja ini dalam rangka ikut urun keprihatinan nasional. Toh, Allah itu maha pemurah, khusnudzon saya kok yang terbiasa ke masjid sholatnya, tetap diberlakukan grade yang sama meski hari-hari ini harus sholat di rumah, 27.

Keyakinan yang mendasari berikutnya untuk memiliki kesediaan tidak sholat di masjid adalah. Dengan saya sholat di rumah, berarti saya nol resiko dari potensi membawa virus dari luar. Sebab resiko kesehatan bukan hanya terhadap dirinya sendiri, melainkan keluarga seisi rumah juga mestinya dihitung.

Peran edukasi yang masjid berikan adalah, kalau untuk urusan ke masjid saja engkau berhitung betul tentang kemurahan Allah dan antisipasi resiko penularan wabah, maka semestinya engkau lebih berhitung lagi ketika memutuskan harus pergi-tidak pergi ke pasar, untuk urusan pergi-tidak pergi nongkrong dan seterusnya.

Masjid memberikan trigger supaya kita memiliki jiwa dan nalar pikir yang berhati-hati.  (Rizky D. Rahmawan)

Previous ArticleNext Article