Terus Ber-progress Tidak Sepenggal-Sepenggal

Reportase Juguran Syafaat September 2020 - BERTINDAK GLOBAL

Kiri dikira komunis
Kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis
Tengah dinilai tak ideologis

Muka klimis katanya necis
Jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang kearab-araban
Bercelana Levi’s di-bully kebarat-baratan

“Bingung” – Iksan Skuter

Hari terus berganti. Kalender bulan terus bergerak. September datang menggantikan Agustus, bulan monumental dan heroik bagi seluruh rakyat Indonesia. Rangkaian peringatan proklamasi kemerdekaan jamak dirayakan di mana-mana. Bahkan di masa Pandemi yang memaksa kita untuk jaga jarak dan menghindari kerumunan, masih ada saja yang nekad merayakan ulang tahun kemerdekaan dengan aneka lomba khas pitulasan.

Bagi Rohman, penggiat Maiyah asal Purbalingga, bulan Agustus adalah bulan yang selalu membuatnya bingung—senada dengan lagu “Bingung” dari Iksan Skuter yang malam itu dinyanyikan Hirdan. Sebagai seorang pemuda yang cukup terdidik di desanya, ia kerap kali dipercaya menjadi anggota Panitia Peringatan Hari Besar Nasional.

Yang membuat Rohman bingung adalah ingar-bingar perayaan pitulasan di kampungnya hanya sebatas acara senang-senang, bergembira-ria melepas kepenatan hidup. Proklamasi 17 Agustus sebagai peristiwa politik belum bisa dijadikan momentum refleksi yang kritis tentang cita-cita berbangsa dan bernegara.

Alam bawah sadar kebanyakan orang mengira Indonesia sudah selesai dengan penjajahan asing sejak tujuh puluh lima tahun yang lalu. Kita kurang waspada bahwa penjajah fisik telah beralih rupa menjadi sedemikian halus. Mengutip yang disampaikan Pak Toto Rahardjo melalui conference call di Juguran Syafaat (12/09) lalu, sekarang mereka tidak perlu mendatangkan VOC dan serdadu untuk menjinakan Indonesia, mereka kini datang sebagai teman baik—dengan membawa setumpuk kepentingan ekonomi-politik.

Pak Toto Rahardjo, aktivis pendidikan rakyat, malam itu dari kejauhan di Yogyakarta sana menemani rutinan edisi yang ke-90. Duduk santai di atas kursi besar dan dengan kepulan putih asap rokok yang menghiasi tampilan layar monitor, Pak Toto menjelaskan masa peralihan kolonialisme ke neo-kolonialisme atau yang sekarang santer disebut dengan neo-liberalisme dan globalisasi—narasi realitas ekonomi-politik yang jarang diketahui publik.

Menelusuri era Perang Dingin paska Perang Dunia II, saat itu banyak berdiri negara-negara baru yang melepaskan diri dari kolonialisme purba. Negara-negara baru di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang mencoba berdaulat mengatur nasib bangsanya tidak serta merta bisa melenggang mulus di tengah himpitan pengaruh dua ideologi besar dunia: kapitalisme dan komunisme.

Sebagian negara-negara baru itu terpesona dengan gagasan komunisme. Bahkan, menurut Pak Toto, situasi pada saat itu sudah pada taraf sentimen anti-kapitalisme dan anti-Amerika. Tidak mau kehilangan pengaruh (dan basically: akses pasar dan gerak modal lintas negara) maka Presiden Amerika, Harry Truman, meluncurkan kapitalisme dengan strategi bantuan finansial (hutang) dan kemasan nama baru (repackaging) yang lebih enak didengar, yaitu developmentalisme alias ideologi pembangunan.

Dan akhirnya, rencana Amerika berhasil. “Developmentalisme diterima oleh banyak negara yang baru merdeka, termasuk Indonesia dengan Amin…amin… Ya robbal alamin,” seloroh Pak Toto.

Kejahatan neo-liberalisme dan globalisasi akan lebih mudah kita endus jika kita mau menengok realitas ekonomi makro Indonesia dewasa ini. Liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi sektor-sektor ekonomi yang menyangkut kebutuhan dan hajat hidup orang banyak dengan alasan ‘good goverment’. Kerusakan alam dan lingkungan hidup akibat industrialisasi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Lalulintas modal asing dan produk impor yang membanjiri pasar domestik dengan dalih ‘laissez-faire’. Neo-liberalisme dan globalisasi sangat mengagungkan pasar bebas atau ‘free market’ dan mereduksi hakekat manusia menjadi sebatas konsumen belaka (homo economicus). Konsumen dengan gaya hidup global, budaya global, dan identitas global. Globalisasi membuat kita sebagai komunitas masyarakat termarjinalkan.

Cengkraman gurita globalisasi nampaknya mustahil untuk dilawan. Aktor-aktor globalisasi seperti World Bank, IMF, dan Trans National Corporations sudah dan terus bergerak liar menancapkan hegemoninya lewat propaganda, iklan, pendidikan, bahkan institusi negara. Namun, menurut Pak Toto, situasi pandemi ini bisa menjadi momentum yang tepat bagi komunitas atau klaster untuk bangkit gotong-royong memberdayakan potensi-potensi lokalnya, sebab terpaan pandemi terbukti bisa menghambat laju globalisasi.

Hanya Covid-19 ini yang sudah sanggup menghentikan lalu lalang pesawat terbang dan kereta api. Hanya Covid-19 ini yang sudah sanggup membersihkan udara kota metropolitan dari cerbong asap pabrik. Dan, hanya Covid-19 ini yang sanggup mengingatkan orang tua agar tidak pasrah bongkokan kepada lembaga sekolah dalam mendidik anaknya.

Dalam kesempatan conference call tersebut, Pak Toto juga mengapresiasi upaya yang sedang dilakukan Kukuh Prasetiyo, penggiat Maiyah asal Purwokerto Timur, yang sedang concern di berbagai program pendampingan UMKM yang banyak digawangi oleh kalangan pemuda. Pak Toto sangat menekankan peran komunitas sebagai klaster. Beliau mengemukakan dalil Al Quran surat Ar-Ra’d ayat 11 di mana kelompok manusia disebut dengan terminologi kaum bukan umat atau negara.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d ayat 11)

Movement-nya memang tidak mudah, karena sampai saat ini mindset kita sudah terlanjur ‘apa-apa tuku’. Dan repotnya lagi, barang kebutuhan pokok (basic needs) itu sudah tidak mampu kita produksi sendiri. Ketika sayur, garam, kedele, beras, dan jagung saja impor, ini sudah sangat problematik.

Dari diskusi hangat sekitar tiga jam, akhirnya tercapai lima poin kesimpulan: Pertama, identifikasi kebutuhan pokok klaster yang memungkinkan bisa diproduksi mandiri. Kedua, pemetaan potensi klaster agar produksi tidak homogen. Ketiga, produksi untuk mencukupi kebutuhan sendiri dulu. Jangan terburu-buru untuk mengorientasikannya pada pasar. Keempat, mencatat pengeluaran harian keluarga. Meneliti pos pengeluaran yang bisa distop (produksi mandiri) dan yang tidak bisa diproduksi sendiri. Kelima, kesatuan alam berpikir dan bertindak dalam bingkai gotong-royong dan bebrayan agung dalam lingkup masing-masing klaster.

Dari lima pointers yang mestinya menjadi bahan tindak lanjut seluruh Jamaah Juguran Syafaat pada klaster terkecil di tempatnya masing-masing tersebut, mestinya kita masih mempunyai cukup waktu untuk pergi meninggalkan pandemi ini nanti dengan sudah membawa oleh-oleh perubahan diri.

Begitu ditekankannya penguatan klaster oleh Bapak Komunitas Indonesia itu tidak sama sekali Beliau menitikberatkan pada pemadatan kelembagaan kelompok tertentu. Hanya menitikberatkan pada identitas, pelembagaan dan jargon yang wah belaka hal tersebut masihlah berupa penggalan-penggalan dari prasyarat menuju kehidupan kolektif yang maju tak tertandingi.

Sebagaimana yang pernah disampaikan Pak Toto pada sebuah kesempatan di waktu yang lalu, identifikasi kemajuan kelompok diukurnya pada: Mandeg atau selalu ber-progress. Dari waktu ke waktu hendaknya kita senantiasa ber-progress membuat kesepakatan-kesepakatan bersama yang terus meningkat.

Maka muaranya, kita akan hidup di tinggal di dalam sebuah klaster yang kuat dan kokoh. (Febri Patmoko/RedJS)  

Previous ArticleNext Article