Radio pernah menjadi benda ajaib yang menawan. Pertengahan tahun 80-an menjadi era keemasan sandiwara radio. Beragam cerita dihadirkan dalam bentuk sandiwara radio. Salah satu yang paling favorit saat itu adalah “Saur Sepuh”. Sandiwara Karya Niki Kosasih ini mengisahkan tokoh utama Brama Kumbara, seorang Raja kerajaan Madangkara sekaligus pendekar yang sakti madraguna.
Pada jam dimana sandiwara tersebut disiarkan, kami mengepung radio tetangga. Maklum, kala itu radio masih barang yang cukup mewah di desa kami. Sehingga tidak semua rumah memiiki radio. Rumah yang kebetulan ada radionya sudah barang tentu akan menjadi tempat berkumpul banyak orang setiap hari. Kemesraan itu masih saya ingat hingga hari ini.
Tokoh sentral Brama Kumbara berhasil memukau banyak orang. Raja sakti yang berbudi luhur dengan seabreg ilmu kedigdayaan nyaris seperti mewakili dahaga rakyat kecil akan hadirnya panutan dalam hidup. Imajinasi kami seolah menemukan figur harapan. Pendekar baik hati pemilik ajian Gelang-gelang, Tatar Bayu, Bayu Badra, Serat jiwa dan Lampah lumpuh itu benar-benar bertahta di hati masyarakat penikmat sandiwara radio.
Kami tak peduli itu tokoh fiktif khayalan Niki Kosasih atau memang figur yang ada dalam sejarah. Brama adalah “kekasih” orang-orang tertindas. Sandiwara itu telah menjadi teman kesepian rakyat jelata. Sebuah karya yang sukses memenuhi dorongan hati untuk mencintai figur impian.
Setiap kali Brama berhasil mengalahkan musuhnya, kami berjingkrak riang penuh suka cita. Dan ketika Brama kalah dalam pertarungan, hati kami menjerit. Kami dirundung duka berhari-hari. Tokoh antagonis pemilk Ajian Waringin Sungsang bernama Kijara dan Lugina adalah pendekar yang sempat membuat Brama kalah dan harus dirawat oleh Jaka Lumayu karena terluka dalam.
Mendengar Ajian Serat Jiwa tidak berdaya oleh Ajian Waringin Sungsang, kami larut dalam keputus asaan. Diam-diam kami ikut mendendam berbulan-bulan kepada dua pendekar dari Gunung Saba itu. (Agus Sukoco)