Pemandangan yang saya dapati sewaktu Saya berada dalam satu rombongan dengan Letto pada sebuah roadshow di Sulawesi Barat adalah all about keakraban. Yang nampak akrab bukan hanya antar musisi Letto, tetapi juga keluarga dan anak-anaknya. Setiap ngumpul sebelum manggung, kalau ada video call dari anak salah satu dari mereka, maka ramai semuanya menyapa. Senang tentu si anak, sebab om-nya banyak.
Sebagai komunitas, Mas Sabrang menyampaikan bahwa value ‘kebersamaan’ adalah yang paling tinggi dijunjung diantara mereka. Baru kemudian berikutnya karya, produktivitas dan seterusnya. Maka pantas, sejak 2004 mereka bersama-sama, tidak pernah ada ‘bongkar-pasang’ anggota.
Value adalah sebuah fundamental dari apa yang dimiliki oleh komunitas. Sedangkan, family holiday, buka puasa bersama, camping, touring, dll adalah ekspresinya. Ada fundamental komunitas, ada ekspresi komunitas. Berapa banyak dari kita yang berkumpul bersama tetapi hanya sibuk pada urusan ekspresi? Sebab tidak bisa mengurai dua itu, sehingga banyak orang memilih mengambil jalan pintas: Lebih mudah mengerjakan segala sesuatu sendiri, tambah ruwet doank kalau dikerjakan bareng-bareng. Ya iyalah, bagaimana tidak ruwet kalau hari-harinya disibukkan hanya untuk urusan ekspresi-ekspresi saja.
Nah, menghadapi situasi seperti hari-hari krisis pandemi ini, ada aktualisasi dari value komunitas yang saat ini mendapatkan challenge. Apa challenge-nya? Masih kata mas Sabrang, ketika ia mendifinisikan apa itu komunitas. Apa itu komunitas? Komunitas adalah ia yang mampu bertahan sendiri.
Ya, mencukupi apa-apa yang merupakan kebutuhan dari lingkaran terkecil sehari-hari kita pada masa-masa yang lalu tidaklah penting. Akan tetapi, siapa yang tahu tentang keadaan setengah tahun, setahun atau dua tahun mendatang? Perhitungan hari ini atas ketidakstabilan kondisi masyarakat yang kita alami memaksa kita juga harus berfikir tentang ancaman scarcity alias kelangkaan.
Sekarang banyak yang beternak ayam, kalau ingin ayam tinggal beli. Pemerintah selalu mengimpor gula dan garam dalam jumlah yang fantastis, sediaan di warung selalu ada. Sayuran? Kita tak perlu melihat wujudnya, ada banyak warung rames, makanan kita tahunya tinggal santap saja.
Keadaan di tahun-tahun belakangan ini seolah sudah sedemikian stabilnya, sampai semua orang shock dengan datangnya pandemi. Terlebih kaum milenial. Yakni generasi yang lahir hampir bersamaan bersama lahirnya dekade plastik. Sebelum memasuki dekade plastik, do it yourself (DIY!) masih membudaya di masyarakat. Kalau mau membuat pancuran, dibikin padasan dari tanah liat. Kalau mau alat menyiduk air dibikin siwur dari batok kelapa. Tali rafia belum lahir, kulit bambu disayat panjang dijadikan tali ketika membutuhkan.
Hari-hari ke depan ada baiknya kita mulai bersiap untuk menghidupkan lagi spirit DIY! itu. Efek minimal adalah membantu kita berhemat, apa yang bisa dibuat sendiri tidak perlu kita merogoh kocek membelinya. Efek yang lebih advanced adalah kita bisa membangun sirkulasi barang dan jasa di lingkaran kita sendiri. Maka sebagai komunitas, kita mempunyai bekal untuk terus bertahan karena memiliki banyak sumber daya sendiri. (Rizky D. Rahmawan)