Naluri Kanak-Kanak, Naluri Saling Memaafkan

Mengenang masa kecil adalah rileksasi tersendiri. Semacam “pijat kejiwaan” untuk meregangkan saraf- saraf otak. Hidup yang kian tegang oleh beban-beban membutuhkan suasana istirahat khusus. Sejenak pulang ke masa kecil tampaknya bisa menjadi cara untuk mengistirahatkan diri.

Pergi ke sawah, bermain di sungai, dan bermain gobag sodor adalah kenangan yang terlanjur membekas di bawah sadar. Bagi yang mengalami masa kecil di era tahun 80-an, sawah dan sungai adalah tempat yang begitu digemari. Betapa anak-anak tak bisa dipisahkan dari tempat itu. Maka, kedudukan sawah dan sungai bagi saya telah menjadi “keramat sejarah” tersendiri.

Suasana sawah kerap membayang sampai usia saya sekarang. Bau lumpur dan daun-daun jagung serta aroma rerumputan, sering saya rindui. Setiap kali ketika tak sengaja melewati jalan yang melintasi sawah-sawah, aroma alam itu seperti menyeret saya jauh ke masa silam.

Mengingatkan kepada sejumlah wajah teman-teman kecil yang sekarang entah ada dimana. Pertemanan yang romantik. Sore bertengkar, pagi telah bersama lagi. Begitu seterusnya. Tak ada kelebatan dendam sama sekali.

Jikapun ada pertengkaran, ia hanya penegas kemesraan setelahnya. Kesalahpahaman tak memerlukan klarifikasi apapun. Karena masing-masing akan segera saling melupakan masalah penyebabnya. Kembali bermain bersama lebih menarik minat anak-anak dari pada mengingat- ingat persoalan.

Begitulah dunia anak. Sebuah dunia yang hanya berisi keinginan untuk saling bertemu dan bersama-sama. Anak-anak tak kuat menyendiri. Maka, nalurinya kuat sekali untuk saling memaafkan.

Beberapa kali saya sempat berjumpa dengan teman-teman masa kecil. Ada yang sudah jadi pejabat dan pengusaha, ada juga yang masih setia di desa menjadi petani. Tak mudah memulai kembali suasana masa silam pada perjumpaan saat ini.

Tetapi kerinduan itu masih saling memancar diantara kami. Meskipun ada semacam sopan santun tertentu karena urusan-urusan atribut sosial. (Agus Sukoco)

Previous ArticleNext Article