Saat masih kecil saya sering mendengar banyak orang menyebut- nyebut kelor (Moringa oleifera) sebagai pohon yang memiliki khasiat dalam soal – soal mistis. Jika ada orang kebal senjata, tidak mempan ditempak atau dibacok, batang pohon ini konon mampu menembus kesaktiannya. Pohon ini menyimpan sejerah cerita- cerita gaib di masyarakat. Para pemuja pesugihan tidak bisa memangsa sasaran yang akan dijadikan tumbal jika di rumah orang tersebut ditanam pohon kelor. Begitu kabar yang berkembang.
Lepas dari benar dan tidaknya berita-berita semacam itu, yang jelas bangsa kita memiliki simpanan cerita unik yang perlu untuk dicermati lebih dalam. Ada warisan-warisan leluhur yang tersimpan dalam keyakinan-keyakinan di masyarakat yang hari ini kita remeh-remehkan. Padahal kita belum benar-benar meneliti dan melakukan kajian sungguh-sungguh. Bukankan sikap menyepelekan semacam itu merupakan kesembronoan dalam konteks ilmu?
Corona memaksa umat manusia pulang ke rumah masing-masing. Sebagai mahkluk yang memiliki naluri, intuisi, akal dan iman, tentu pemaknaan pulang ke rumah harus diteruskan tidak sekedar kepulangan fisik. Tapi ada kepulangan budaya, jiwa dan segala sesuatu yang lebih dalam dari pada soal-soal jasad. Salah satu jenis kepulangan itu adalah pulang ke dalam “rumah” kebudayanan sendiri. Menengok kembali khasanah keilmuan leluhur. Ada banyak “harta karun” ilmu yang tersimpan disana.
Keramat itu kalau dibahasa arabkan menajdi karomah, kemuliaan. Yakni sesuatu yang oleh Tuhan dianugerahi potensi-potensi khusus berdasarkan hak prerogratif-Nya. Orang jawa menyebutnya sebagai keramat. Manusia yang karena kebaikan akhlak, konsistensi ibadah, kesungguhan laku perjuangan sosial, dan ketekunan tirakatnya, ia akan dimuliakan oleh Tuhan. Biasanya indikator kamulyan atau kemuliaan itu terbaca oleh khalayak sebagai keramat (memiliki kelebihan-kelebihan yang bersifat tak lazim).
Tidak ada salahnya di dalam ketidakjelasan keadaan dan kebingungan bersama ini, kita berendah hati menengok hal-hal yang selama ini kita tuduh sebagai mitos dan klenik. Padahal ada simpanan berharga dari eyang-eyang kita itu. (Agus Sukoco)