Catatan Maiyahan Juguran Syafaat edisi Juni 2020
Berpatokan pada dalil Trilogi Kebenaran yang berbunyi: ana benere dhewek, ana benere wong akeh, lan ana bener sing sejati; maka format sinau bareng sesungguhnya memiliki peran yang strategis. Di samping tafsir mengenai kebenaran yang rentan menimbulkan konflik dan perpecahan, tradisi rembug yang menjunjung tinggi nalar sehat demi maslahat bersama juga masih susah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi agenda dari Sinau Bareng sesungguhnya itu indah sekali.
Namun demikian, luasnya tema dan perbincangan Sinau Bareng di Juguran Syafaat malah sering membuat saya gelagepan bingung dhewek. Sebagai manusia pembelajar level pemula, saya justru sering mendapatkan pengalaman belajar yang bukan pada materi atau substansi perbincangan sepanjang berlangsungnya Juguran.
Juguran Syafaat edisi bulan juni mengangkat tema ‘Loncatan Terukur’. Tak banyak yang bisa saya pikirkan mengenai apa dan bagaimana loncatan yang terukur itu. Yang terngiang di benak saya setelah membaca pengantar tema Juguran adalah the Loser yang kalah dan kemudian menyalahkan keadaan. Sedangkan the winner yang selalu berupaya menjadikan apapun keadaan yang dihadapi, dan dirinya harus menjadi pemenang.
Bagi saya peribadi, petikan kalimat di atas sangat dahsyat. Perbendaharaan kalimat “suci” yang telah hilang ditelan lupa akibat tertimbun gelontoran pengetahuan dan informasi era media sosial. “Tak menyalahkan keadaan”, kaidah bijak ini kali pertama saya catat dari para pelatih top sepak bola bilamana anak asuhannya menelan kekalahan. Ini me-refresh pelajaran yang pernah saya dapati puluhan tahun silam saat Coach Fabio Capello masih mengarsiteki AC Milan.
Selanjutnya, emoh larut oleh keadaan akibat pandemi Corona–serta enggan terganggu lagi Juguran online akibat kualitas sinyal yang buruk, saya segera membeli kartu selular baru dari provider yang berbeda yang telah terbukti memiliki kekuatan sinyal paling bagus di area tempat saya tinggal. Tak lupa juga menyiapkan lampu jari (PLC) berkekuatan 45 watt, kipas angin standing fan, dan kemeja formal. Pokoknya, segala sumber daya disiapkan sebaik mungkin untuk mengikuti Juguran Syafaat via aplikasi Zoom.
Kurva Lokal yang Melandai
Kabar baik disampaikan oleh Wakil Bupati Banyumas yang malam hari itu juga ikut bergabung di dalam streaming via Zoom, Pak Dewo menyampaikan bahwa kurva data PDP dan ODP pandemi Covid-19 di wilayah Banyumas terlihat melandai. Bahkan jumlah pasien PDP di RSUD Margono Sukarjo sudah nol persen.
Saat ini Pemkab Banyumas melalui masing-masing SKPD sedang sibuk menyiapkan protokoler kesehatan untuk menghadapi New Normal. Sebagai tahap uji coba New Normal di bidang pariwisata, Pemkab Banyumas baru akan membuka dua objek wisata, yaitu Baturaden dan Limpakuwus. Sedangkan bidang pendidikan, pembukaan sekolahan direncanakan paling akhir dari seluruh Pemkab di Jawa Tengah. Demikian beberapa poin uraian Pak Sadewo yang disampaikan dengan logat dan nada bicara yang begitu cethar membahana.
Di tengah suasana obrolan yang mulai menghangat—mungkin terpancing dengan gaya bertutur Pak Wabup yang berapi-api, moderator Kukuh Prasetiyo menghantarkan pertanyaan dari seorang pemirsa streaming Juguran Syafaat mengenai efek New Normal di bidang pertanian dan lingkungan.
Pak Titut Edi Purwanto, SAS. (Sarjana Alam Semesta) merespon pertanyaan tersebut dengan enteng-enteng saja. Baginya, kegiatan di sektor pertanian berjalan seperti hari-hari biasa. Tidak terhambat sama sekali. Tidak repot sebagaimana ruang-ruang publik, kantor, pasar, dan pabrik yang harus menyusun protokoler kesehatan Covid-19. Tentu saja lanjaran buncis dan kacang panjang tidak harus direnggangkan pula jaraknya ikut-ikutan social distancing.
“Justru melalui makhluk utusan Tuhan yang bernama Covid-19, kita dituntun untuk kembali ke alam. Memakmurkan alam dan bumi dengan ruh cinta kasih. Aja pating mbesasat kaya setan“, pungkas Pak Titut sambil terkekeh.
“Sawah dan kebon pancen tempat paling aman”, Karyanto menimpali uraian Pak Titut.
Bukan tanpa alasan Karyanto berucap demikian, sebab ia sendiri sudah membuktikan kala mengalihkan anaknya bermain ke sawah sebagai upaya preventif dari silent carrier pemudik di kampungnya.
Transformasi Syahadat
Menjelang jam sepuluh malam, tiba giliran Mas Agus Sukoco urun perspektif. Menurut beliau, persoalan Covid-19 ini semestinya tidak hanya dilihat dari sudut pandang medis. Ketakutan dan kecemasan akan lebih bisa diminimalkan jika kita mau memakai kacamata rohani.
Hikmah selalu diambil dari peristiwa pahit. Tidak ada hikmah yang diproduksi dari peristiwa hidup yang membahagiakan.
“Alhamdulillah, rejekiku gampang banget bulan ini. Semoga ada hikmahnya”, seloroh Mas Agus.
Kerepotan umat manusia akibat pandemi Corona seyogianya menjadi triger untuk mengevaluasi perjanjian primordial kita dengan Tuhan, yakni syahadat. Mas Agus menengarai bahwa lonceng kematian yang ditabuh Corona tidak jauh-jauh dari ihwal tabiat buruk manusia dalam mengelola alam semesta.
Syahadat ‘lisan-personal’ perlu ditransformasi menjadi syahadat ‘teologis-praksis’ yang berkontribusi positif bagi society. Syahadat teologis harus bisa dikonversi ke dalam syahadat bidang ekonomi-bisnis, politik, dan kebudayaan.
“Selama ini, antara Tuhan dan perilaku keseharian manusia ora tau gathuk“, Hilmy selaku moderator memberikan respons.
Virus Psikologis
Sekitar dua jam setengah durasi Juguran Syafaat online yang dipancarluaskan dari studio utama di Java Explosure, Purwokerto, akhirnya dipungkasi oleh Rizky yang malam itu mengingatkan bahwa dampak sistemik virus Covid-19 ini dapat mengakibatkan wabah “virus” psikologis yang berbahaya.
Krisis ini sudah memukul sendi-sendi perekonomian dan kebudayaan dengan telak. Oleh karenanya, krisis ini tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Bolehlah kita kemarin terjun bebas luar biasa, tetapi di bawah sini harus ditemukan letak keberadaan pir pegas yang bisa melentingkan kita meloncat lebih tinggi.
Dan krisis, apabila dikacamatai sebagaiman para the winner, adalah jenis batu yang lebih besar untuk alas kita meloncat lebih tinggi. Loncatan yang sesuai dengan sumber daya yang kita miliki. Bukan loncatan akibat obsesi imajiner dari sikap dendam terhadap penderitaan belaka, atau sebab melihat orang lain sudah dapat meloncat lebih tinggi.
Kalah dari orang lain tak mengapa, yang penting loncatan yang sanggup kita buat benar-benar sesuai dengan kesanggupan diri. Tak perlu berkecil hati apabila loncatan orang lain terlihat lebih memukau. (Febri Patmoko)