Lebih ‘Sekolah’ daripada Sekolah

Sewaktu akan kuliah, saya mendaftar di UGM. Diterima pilihan ke-2 waktu itu yakni Geografi. Saya jadi teringat, pelajaraan saat kecil pra-sekolah dari Ibu Saya adalah belajar Iqro. Dan dari bapak saya adalah semua yang ada di RPUL dan RPAL. Saya paling excited dengan globe, peta buta, bendera negara-negara. Geografi.

Apa yang terjadi dengan Pandemi? Para orang tua hari muda hari ini dipaksa untuk hand on pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Pak Toto Raharjo menyebutkan, sumber primer belajar yang selama ini diletakkan pada guru di sekolah, mau tidak mau hari ini harus digeser. Sumber primer belajar adalah orang tua.

Bagi para orang tua yang selama ini diam-diam ber-mindset sekolah adalah tempat penitipan anak di saat ia harus kerja dengan tidak terganggu, keadaan ini pastilah membuat kaget. Akan tetapi, bagi orang tua yang selama ini intensif menjadi fasilitator anak belajar di rumah, maka tinggal mengubah dosis peran saja. Supaya rumah hari ini lebih ‘sekolah’ daripada sekolah.

Bagi orang tua yang merasa bahwa belajar itu cukup sampai wisuda. Akan kewalahan mereka memutar kembali ‘diesel’ di otak. Akan tetapi, bagi mereka para orang tua pembelajar, keadaan hari ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Mereka termotivasi untuk belajar lebih banyak lagi, supaya lebih banyak bisa memformulasi ekosistem belajar buat anak. Tak apalah kalau punya iming-iming supaya anak nanti bilang, “Wah, orang tua saya keren!”

Selain sumber primer belajar yang bergeser dari sekolah ke rumah, yang berubah berikutnya adalah zona bahan belajar. Selama ini episentrum belajar adalah diktat, buku paket, kisi-kisi ujian. Sampai dibela-belain les mahal tak apa sepulang sekolah. Ketika kerawanan kesehatan masih berlangsung mungkin beberapa tahun mendatang, masih nyamankah orang tua melepas anaknya berangkat les?

Tidak les tidak apa-apa, toh itu bukan yang terpenting. Kesadaran baru seharusnya muncul, belajar kisi-kisi ujian juga bukan yang terpenting. Yang lebih penting adalah memahami alam sekitar kita. memahami ekosistem sosial di tempat seorang anak bertempat tinggal. Memang, kita ini belajar meloncat kejauhan. Mempelajari dinosaurus, tetapi tidak mempelajari jangkrik di kebun belakang rumah. Menguasai teknik wawancara kerja, tetapi tidak mencoba-coba teknik mengolah singkong di belakang rumah jadi tepung mocaf yang banyak dicari orang.

Ini mungkin akan jadi pembangunan program entrepeneurship yang sesungguhnya. Yakni bukan motivasi cepat sukses, atau pelatihan tips dan trik jalan cepat menuju kaya raya, tetapi bagaimana setiap orang mempelajari potensi terdekat di sekitarnya. Segala sesuatu yang memungkinkan ia tekuni, ia curahkan waktu dengan optimal. Sehingga daya saing pada obyek itu terbangun dibandingkan orang lain yang tempat tinggalnya lebih jauh. Ia kemudian bisa mengolahnya menjadi bahan produktif. Terus menerus perlahan menjadi konstan. Sehingga tidak perlu lagi mengintip-intip lowongan industri yang pabriknya, gudangnya jauh dari rumah tinggalnya.  (Rizky D. Rahmawan)

Previous ArticleNext Article