Hanya karena telah memiliki beras satu hingga dua kilogram untuk periapan makan sekeluarga sehari ke depan, Kang Karmin dan Mbok Kiyah merasa tenang. Sesederhana itu kebutuhan hidup saat itu.
Namun, Era itu telah berlalu. Saya pernah mengalami atmosfir jaman yang sedemikian bersahaja. Sebuah kenangan masa kecil yang kerap menjadi pemantik gugatan keruhanian saya ketika melihat keadaan masa kini.
Artinya, hari ini keadaan tak lagi sesederhana itu. Terlalu banyak sesuatu yang harus dipersiapkan untuk “apa” yang disebut masa depan. Bagi generasi Kang Karmin, masa depan hanya sebatas sekilo dua kilo beras untuk besok, bukan lusa, bukan minggu depan, bukan bulan depan apalagi tahun depan.
Kang Karmin dan generasinya memiliki beban sangat ringan. Tak pernah harus membayangkan dan mencemaskan lusa dan tahun depan. Lalu apakah Kang Parmin menjadi pemalas? Oh tidak.
Ia bekerja dari Shubuh hingga sore di sawah. Bahkan di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai petani, lelaki paruh baya ini selalu meluangkan waktu untuk membuat kerajinan dari bambu.
Kang Karmin bekerja bukan oleh dorongan kecemasan atas masa depannya. Ia giat bekerja karena jiwanya merdeka. Sementara hari ini, seluruh aktifitas manusia digerakan oleh imajinasi pemenuhan masa depan hinga tujuh turunan. Terlalu banyak yang harus dipenuhi, dan terlalu jauh ketakutan manusia dibentangkan hingga puluhan tahun ke depan.
Kang Karmin hanya berpikir beras untuk esok pagi, kita bepikir sangat banyak soal untuk puluhan tahun ke depan. Dampaknya adalah, Kang Karmin dan generasinya hidupnya sangat longgar dan jiwanya merdeka. Kang Karmin sangat banyak memiliki kuota stamina batin untuk memperagakan persaudaraan dalam kehidupan sosial.
Orang modern adalah kaum yang sudah kelelahan oleh imajinasi masa depannya. Jiwanya menyendiri di pojok kesibukan. Orang lain dipandang sebagai lawan dan saingan. Kuota untuk bercinta dengan sesama telah habis tersedot oleh teror berupa ilusi kebutuhan masa depan. (Agus Sukoco)