Suatu hari kami yang saat itu sedang nongkrong santai sambil ngopi, tiba- tiba dikagetkan oleh raungan suara knalpot motor yang sangat keras. Knalpot itu memang sengaja dimodifikasi sedemikian rupa oleh pemiliknya hingga suaranya memekakan telinga. Kami langsung terdiam sesaat.
Seorang teman terpantik membahas soal knalpot. Sudah bisa dipastikan obrolan pasti berangkat dari rasa mangkel. Tapi tak ada pilihan bagi kami selain mengarifi teror semacam itu. Kami sadar tak memiliki kuasa atas perilaku orang lain. Kami hanya berkuasa menghikmahinya.
Secara naluriah, setiap orang butuh berekspresi dan memerlukan pengakuan diri. Tentang caranya dalam memenuhi kebutuhannya itu, ini perkara lain. Seandainya pemilik knalpot “radikal” itu punya modal lain, saya yakin ia tak akan sesembrono itu.
Ada anak yang kebutuhan eksistensinya terpenuhi karena juara Fisika dan Matematika. Ada orang yang dengan bakat besarnya kemudian diidolakan publik sebagai juara-juara di ragam festival. Sementara anak dengan hobi menggeber-geber knalpot itu tak berdaya memenuhi kebutuhan jiwanya dengan cara yang lebih kita anggap sebagai adab sosial.
Maka, kemangkelan kami tiba-tiba redup. Suara knalpot itu tak lagi memancing rasa marah. Kami akhirnya bisa berdamai dengan perasaan kami sendiri. Setelah kami menyimpulkan bahwa anak dengan knalpot keras tersebut hanyalah manusia yang sedang naas nasibnya.
Semakin keras ia menggeber knalpotnya, semakin tegas kekalahanya dengan anak- anak yang telah menemukan caranya memertabatakan diri dengan prestasi-prestasi. (Agus Sukoco)