Industri melahirkan simplicity. Apa-apa yang repot dikerjakan diubah menjadi simpel dengan dibuatkan tombol. Namun, Pertanian tidak bisa seperti itu. Menanam tanaman itu ya harus selalu repot. Setiap hari menyiram, dua atau tiga hari sekali mencabuti rumput dan dari waktu ke waktu memperhatikan kurva pertumbuhannya. Namun, ‘repot’ itu kan bahasa industri, bagi petani sejati mengerjakan semua kerepotan itu adalah kegembiraan. Mosok bergaul dengan alam tidak bergembira sih?
Modernitas menghadirkan pembangunan. Membangun itu banyak yang menyangka tidak sepaket dengan merawat. Oleh karenanya dari program tingkat nasional, daerah hingga tingkat RT sekalipun, cek saja berapa banyak benda mangkrak setelah selesai pembangunannya. Lain halnya dengan bercocok tanam, stressing pada merawat bahkan harus lebih kuat, ketimbang kegiatan menanamnya.
Sebuah pohon petai besar di pekarangan sebelah rumah tetangga saya tak tahu siapa yang menanamnya dahulu. Entah warisan dari kakek, buyut, canggah atau wareng, tetapi karena tetangga saya pandai merawatnya, tiap musim panen pohon itu menjadi jalan rezeki yang terus-menerus. Itulah hasil dari ketekunan menjaga dan merawat.
Kesuksesan adalah tentang tercapainya sebuah target hasil. Namun, di alam hijau tidaklah berlaku begitu. Target kita adalah target terhadap proses saja. Bagaimana seluruh proses sudah dikerjakan, selanjutnya urusan menumbuhkan itu wilayah ‘kolaborasi’ dengan malaikat-malaikat pertumbuhan yang sudah ditugasi Tuhan.
Kita ini anak-anak dari negeri maritim dan agraris sekaligus. Namun, berapa banyak dari kita yang lebih akrab dengan tombol ketimbang dengan dunia tanaman. Yang bergairah dengan pembangunan tetapi tak punya bakat berupa ketekunan merawat. Yang 5 cm di depan dahi kita terbentang target-target hasil, tak ada jarak untuk menyemai proses.
Semenjak SD barangkali, kita sudah diajak untuk industry minded. Kebun singkong di halaman belakang sekolah itu adalah insignificant object. Sarang laba-laba di plafon ruang kelas bukan obyek observasi, melainkan harus lekas ditangani dengan alat-alat kebersihan. Semua itu karena tidak ada hubungannya dengan jalur industri.
Hari-hari ini berbagai lini industri dilanda collaps, setingkat industri penerbangan yang begitu supernya saja tak luput dari kecemasan atas kebangkrutan. Mestinya para pembuat kurikulum terhenyak oleh kenyataan tersebut. Bahwa semengagumkan apapun itu makhluk bernama industri, tetap saja ia memiliki keterbatasan. Janganlah diandalkan habis-habisan untuk seluruh manusia diajak numpang hidup padanya.
Untuk kembali mengajak populasi merambah dunia agraris kembali, ternyata tak cukup dimulai dengan kursus menanam. Harus mundur beberapa langkah sebelum skill transfer pertanian, yakni menghidupkan insting-insting paling dasar untuk bertani.
Mengakrabi kerepotan, menikmati berproses dan ketekunan merawat adalah diantara insting yang harus dihidupkan. Kalau sudah hidup insting itu, baru merambah bertahap pada kegiatan yang memantik inspirasi. Itu loh, ada lahan secuil, bisa diolah untuk apa yah?
Proses meng-ide semacam itu jika dijual dalam paket kelas inspirasi bertani bisa ber-Rupiah mahal tuh. Padahal warga agraris jaman dulu sudah auto saja, setiap jengkal pekarangan bisa untuk tidak dibiarkan menganggur, selalu ada saja ide alamisasinya, walau sekedar dilempari tongkat tumbuh tanaman–singkong. (Rizky D. Rahmawan)