Hidup Kok Tidak Bersahaja

Apa sih yang kita itu tidak ikut-ikutan? Dari tren wedding tahunan sampai latah pada silih bergantinya jenis minuman es pinggir jalan kegemaran. Memang ini implikasi dari sebuah habitat hidup yang inklusif terbuka. Kita menjadi bagian dari masyarakat nasional juga bagian dari masyarakat internasional sekaligus.

Dengan tidak mau buru-buru menyalahkan globalisasi, jangan-jangan kebiasaan ikut-ikutan adalah akibat dari kita sendiri yang enggan memahami esensialnya hidup itu apa sih? Ah, daripada repot-repot menemukan esensialnya hidup, lebih baik mengikuti cara hidup orang kebanyakan saja ah. Toh, itu kelihatannya menyenangkan.

Celakanya, para influencer, mikro-influencer, atau sekedar orang lewat yang kita amati cara hidupnya dan kemudian kita ingin menirunya itu mereka adalah orang-orang yang kapasitas penghidupannya di atas kita. Mau tidak mau, untuk mengejar supaya mampu seperti mereka, makan di tempat mewahlah, piknik di luar negerilah, koleksi barang antiklah, semua itu lantas memaksa kita untuk ‘Besar pasak daripada tiang’.

Runut benang ruwet dari cara hidup ikut-ikutan yang kita anut itupun tak terasa sudah terlalu jauh kusutnya. Setelah tengok kanan dan tengok kiri baru sadar bahwa kita sudah terjebak pada kubangan cara hidup yang hedonistik.

Implikasi dari cara hidup hedonistik adalah pendapatan berapa saja kurang. Ketika kita sudah berhasil memenuhi apa yang ada dalam daftar kebutuhan hidup layak, kemudian fashion terupdate menagih pengeluaran. Menyusul dibelakangnya dorongan untuk belanja aneka kebutuhan tersier. Tak ketinggalan kebutuhan rekreasi. Rekreasi yang pada arti esensialnya adalah break dari ritme rutin supaya tidak jenuh, kemudian dimaknai sebagai bucket list keliling dunia. Dan seterusnya seperti menenggak air laut, semakin dituruti semakin bertambah haus.

Dan hari ini, kapal, kereta api dan pesawat dilarang beroperasi. Boro-boro berpikir tentang piknik ke tempat yang jauh. Awalnya mungkin sumpek enggak bisa kemana-mana. Lambat laun, diantara kita mulai bisa perlahan menikmati.

#StayAtHome menjadi kesempatan untuk memilah mana kebutuhan esensial dan mana kebutuhan hedonistik. Asalkan sehat di rumah saja, pengeluaran paling-paling dibutuhkan hanya untuk: Menyiapkan sediaan pangan; membayar air, listrik dan internet; BBM seperlunya; perawatan rumah juga seperlunya; membayar asuransi dan alokasi untuk berbagi. Lalu biaya belanja buku atau media belajar digital lainnya bila diperlukan. Dan jangan lupa biaya cicilan bagi yang punya tanggungan.

Sekarang, tinggal kalkulasi masing-masing, berapa % biaya kebutuhan esensial itu dibandingkan dengan target seluruh biaya yang harus disiapkan beberapa waktu lalu sebelum pandemi ini datang. Bisakah kita bahagia tanpa membicarakan ekonomi kesejahteraan, melainkan cukup dengan survival economy

Kita berandai-andai sejenak, nanti setelah masa pandemi ini berakhir, orang lebih banyak menerapkan cara hidup esensial berbasis survival economy. Begitu cara hidup kita terlihat hedon sedikit saja, masyarakat di sekeliling kemudian menatap dengan tatapan aneh: Hidup kok tidak bersahaja? (Rizky D. Rahmawan)

Previous ArticleNext Article