Figur Ulama yang Enggan Dikenali Sebagai Ulama

Mengenang 40 Hari Syaikh Kamba

Ketika itu pada malam 20 Juni tiba-tiba saya ingin tidur cepat. Setelah membaca buku terjemah karya Ibnu Arabi ‘Fusus al Hikam’ saya meniatkan untuk tidur, ‘ya latifu.. ya khobir..’ saya lantunkan.

Tidak biasanya saya tidur dengan niat benar-benar ingin tidur. Biasanya scroll timeline medsos terlebih dahulu baru bisa ketiduran. Namun malam itu berbeda. Sayyidul istighfar meminta diucapkan sembari muncul sosok Buya di alam pikiranku.

Pikirku mungkin karena disetiap usai Maiyahan beliau selalu membaca doa itu hingga yang muncul dipikiranku beliau. Hingga pagi itu dikejutkan berita kepulangan Buya. Benar adanya bahwa Tuhan telah berkehendak bertemu dengan kekasihnya.

Amat bersyukur saya berkesempatan menjadi salah seorang mahasiswi Beliau. Buya Nursammad Kamba merupakan Marja’ Maiyah sekaligus pendiri jurusan Tasawuf dan Psikoterapi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Seorang dengan figuritas ulama tetapi tidak mau dipanggil ulama. Beliau tidak pernah berpenampilan layaknya ulama pada umumnya tidak sebagaimana para tokoh yang hanya ingin dihormati sebagai ulama. Menurut Beliau, ukuran alim tidaknya seseorang tidaklah diukur dari penampilannya saja melainkan bagaimana dia berbuat baik pada sesama.

Pernah suatu ketika saya berkunjung kepada Beliau, lalu saya memilih untuk duduk dibawah. Karena dalam tradisi pesantren salaf posisi kita tidak boleh lebih tinggi dari guru. Tapi beliau berbeda, saya diminta untuk duduk disebelahnya, sejajar dengannya. 

Hal lain yang paling mengesankan di mata saya adalah dalam event-event acara kampus ketika Beliau diundang untuk menjadi pembicara, Beliau tidak pernah mau menerima honorarium pembicara yang disiapkan oleh mahasiswa. Itu adalah bentuk apresiasi Beliau atas jerih payah mahasiswa yang sudah rela hati menyiapkan sebuah acara.

Bahwa memang pengabdian Buya di lingkungan akademik bukan hanya untuk mencari materi dan pangkat belaka. Melainkan benar-benar tulus ingin menyampaikan pengetahuannya.    

Beliau telah sungguh-sungguh memberikan pengaruh pada perubahan pola pikir Saya dalam memandang fenomena beragama kontemporer ini. Bagaimana bersikap dewasa dalam menyikapi kelompok yang congkak akan golongannya sendiri. Serta bagaimana untuk tidak fanatik pada ormas yang dianut. Objektifitas dalam beragama menjadi hal dasar yang beliau ajarkan untuk tidak berpihak pada aliran agama manapun. 

Di dalam buku ‘Kidz Zaman Now Menemukan Kembali Islam’, Beliau mempertegas mengenai cara hidup dengan menggunakan hukum fardu ‘ain. Dalam hukum fardu ‘ain seseorang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dihadapan Tuhan-Nya kelak, bukan menggunakan fardu khifayah yang merasa tenang-tenang saja ketika orang lain telah melakukan kebaikan. Untuk itu merdeka atas diri sendiri menjadi hal mutlak dalam berhamba kepada Tuhan, di dalam mencintai Tuhan dan di dalam me-wahdah dengan Tuhan. 

“Cinta sejati yaitu cinta yang bertepuk sebelah tangan. Mencintai tanpa menuntut berbalas dengan cinta”, adalah ungkapan Beliau yang begitu terngiang di benak Saya. Dan kini Buya telah menemui Sang Maha Cinta. Ibarat alun-alun yang selalu rindang dan sejuk berkat pohon beringin, Buya tidak pernah membiarkan siapapun yang berteduh dibawahnya merasakan panas dan gersang. Namun bagaimana nasib kami ini ketika pohon yang rindang itu kemudian selesai menunaikan tugasnya. Adakah kami bisa menjaga diri kami sendiri dari kegersangan?

Begitulah sejatinya tidak ada yang baik-baik saja ketika ditinggal kekasihnya. Setelah kepergian Buya, Saya terhenyak menyadari bahwa begitu banyak makhluk Tuhan yang mendoakan Beliau. Saya bersaksi atas amal jariyah Beliau, melalui ilmu dan pengabdian Beliau. Kullu nafsin daaiqotul mauts… (Nurul Istiqomah)

Previous ArticleNext Article