Akhir-akhir ini rame sekali muncul meme ‘overthinking’ di beberapa media mosial. Dengan menjadikan subjek kartun lelaki botak yang masih melek menjelang tidur dengan ekspresi berfikir, bingung dan setengah melamun.
Bahan-bahan yang dijadikan overthingking juga sangat variatif dan sebagian menghibur. Mulai dari masalah pendidikan, “Jadi anak muda belajar sampe pintar disuruh ngapain ya di negara ini?”. Lalu mengenai gaya hidup, “Kok bisa ya cewe lain kalo pergi cuma bawa tas kecil”. Hingga persoalan agama, “Apakah nabi Muhammad menyebut namanya sendiri waktu sholat saat bacaan tahyat?”. Dan lain-lain pertanyaan-pertanyaan acak yang muncul spontan dan begitu mengganggu pikiran.
Dilematis antara peran medsos dalam peningkatan fungsi berfikir dengan perilaku berfikir secara berlebih yang sebetulnya tidak perlu dipikir. Perilaku overthinking bisa saja berorientasi positif apabila ia menjadi pintu untuk berfikir makin mendalam mengenai ketuhanan.
Mudah-mudahan pertanyaan overthinking saya yang satu ini juga termasuk yang memberdayakan. Sebuah pertanyaan begitu mengganggu di benak saya, “Kenapa ya sufi atau wali usianya semuanya sudah tua, bahkan nabi-nabi juga kebanyakan diangkat disaat usia rambut mulai memutih, kenapa saya jarang atau mungkin tidak pernah mendengar wali yang berusia muda?”.
Hingga resah saya dibuatnya oleh pertanyaan semacam ini. Jalan satu-satunya yang harus saya lakukan saat itu hanya banyak-banyak niteni, mengamati figur-figur tertentu. Pertanyaan ini sebenarnya berangkat dari rasa kekaguman pada para Marja’ Maiyah. Dimana kedalaman spiritual mereka yang diimplementasikan pada laku kebaikan melalui hasil pemikiran berupa karya yang mudah diterima oleh semua kalangan.
Namun setidaknya cara niteni saya membuahkan hasil kesimpulan. Bahwa generally usia muda memang masanya harus banyak-banyak berfikir. Banyak yang ingin diketahui. Banyak kepo-nya. Lagi tajam-tajamnya pikiran dalam mengkritisi banyak hal. Yang nantinya hasil pemikiran di masa muda tersebut akan dimatangkan oleh pengalaman spiritualitas beragama ketika memasuki usia tua. Maka jangan menyalahkan konsumsi bacaan yang terlalu berat, sebab jangan-jangan anak-anak muda macam kita ini saja yang masih kurang maksimal dalam menempa kemampuan berfikir sehingga gagal mencerna berbagai asupan bacaan.
Ibn Arabi juga ngrisiki saya melalui bukunya bahwa menurutnya tidak ada nabi yang diutus sebelumnya sampai nabi berusia empat puluh tahun, dimana pada usia itu, usia telah menua dan melemah. Melemah disini saya artikan secara fisik atau sifat-sifat basyariyah-nya (sifat kemanusiaan), namun juga menguat dalam spritiual, intelektual serta kemampuan memaknai secara hikmah.
Atas jawaban inilah hayalan menjadi sufi perlahan saya tepis. Menertawakan diri sendiri menjadi hal yang tepat untuk saya lakukan. Layaknya orang-orang yang baru belajar tasawuf, keinginan menjadi tawali Tuhan akan menjadi kesan pertama yang didambakan. ternyata prosesnya tidak sesederhana itu. Selagi sadar akan hal ini hal dasar yang dapat dilakukan ialah pengoptimalan daya akal dengan terus berfikir dan mencari tahu. Dah yoo, saya tek lanjut mikir lagi… (Nurul Istiqomah)

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jurusan Tasawuf psikoterapi
Asal Baturaden, Banyumas