Suatu waktu ada seorang kawan berkesah, dia mengatakan bahwa dia merasa takut pada saat di dalam benaknya terbetik pertanyaan yang bertentangan dengan pengetahuan yang sudah dia dapatkan. Pertanyaan-pertanyaan seperti, “Allah terbuat dari apa?”, “Mengapa Dia mau menciptakan manusia?”, atau “Di luar dunia itu ada apa? Apakah singgasana Allah berada di sana?”.
Saya rasa pertanyaan ini bukanlah hal tabu yang harus ditepis dalam pikiran kita, bukankan Imam Ghozali lebih banyak bertanya ketimbang mencari jawaban?. Pada hakekatnya pertanyaan-pertanyaan “aneh” semacam itu adalah lumrah terbetik pada benak siapapun. Ada ungkapan khanzun makhfiy, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk agar aku mengenal Diriku melalui makhluk-Ku.
Proses tersebut dinamakan Tawalli. Bisa jadi pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita merupakan cara Allah ingin mengenal Dirinya. Untuk itu setiap makhluk selalu diarahkan untuk berfikir, mencari pengetahuan dengan cara menjawab pertanyaan tersebut. Namun apa yang terjadi? Telah berlangsung begitu lama pengetahuan yang diajarkan dengan dikelas-kelaskan ada agama, sains dan ada filsafat yang dibuat terpisah dengan Tuhan.
Mbah Nun selalu mewanti-wanti “Ora kena ora ono Allah”. Ilmu adalah pengetahuan yang di design untuk ngaweruhi hakekat Tuhan. Artinya setiap langkah atau kegiatan apapun harus ada Allah didalamnya, sehingga definisi dari ilmu itu dapat terlihat jelas sebagaimana tujuannya, yaitu ngaweruhi Allah, mengetahui hakekat Allah.
Menjadi benar apa yang disampaikan Syeikh Kamba, bahwa kita terlalu lama menelan sistem pendidikan dengan cara indotrinasi. Sehingga akal kita menjadi non-aktif, jarang digunakan untuk berpikir. Potensi akal yang seharusnya dioptimalkan secara baik justru dimatikan dengan doktrin-doktrin yang harus kita terima sebagai kebenaran final. Sebagai akibatnya kita takut berfikir tentang Tuhan, takut pikiran melenceng dari doktrin-doktrin otoritas keagamaan.
Dengan alasan itulah sistem pendidikan yang mengedepankan cara-cara intelektualisasi menurut Syeikh Kamba harus dihidupkan kembali. Hal ini sesuai di dalam Al-Quran, yang mana Allah berpesan agar manusia memperluas pengetahuan tentang diri dan alam sekitar (QS. Fushilat:53).
Pengoptimalan potensi diri dan bakat yang ada pada diri manusia terutama potensi intelektual menjadi hal yang sangat diperlukan dalam praktik pendidikan hari ini. Penggunaan potensi indrawi, rasional sampai spiritual inilah yang dimaksud dengan proses intelektualisasi.
Ah, terasa begitu rindu Saya pada Maiyahan bareng Mbah Nun. Beliau selalu menyajikan berbagai pilihan atau jalan untuk berfikir tanpa memaksakan kita untuk menerima sebagai kebenaran. Kita selalu diminta untuk memproses dan menanyakan kebenarannya pada diri kita sendiri. (Nurul Istiqomah)
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jurusan Tasawuf psikoterapi
Asal Baturaden, Banyumas