Catatan Maiyahan Juguran Syafaat edisi Agustus 2020
Jagat alam raya (makrokosmos) dan jagat manusia (mikrokosmos) menyajikan hamparan pristiwa dan jutaan informasi. Dalam teori alam berpikir, seliweran informasi yang masuk ke dalam benak manusia digambarkan sebagai titik (dot) yang banyak sekali. Lalu, bilamana titik-titik informasi saling terkoneksi membentuk garis, terciptalah pengetahuan (knowledge). Garis imajiner ini juga mencerminkan konteks pengetahuan manusia.
Kemudian jika diagram titik-titik itu menyala, berarti muncul insight. Puncak hirarki berpikir adalah dua atau lebih garis dengan titik yang menyala, yaitu hadirnya kebijaksanaan (wisdom). Penjelasan teoritis tersebut di atas disampaikan Rizky untuk menjabarkan pantikan dari moderator berupa keluhan di mana dirinya merasa sudah pernah mendengar sebuah uraian Mas Agus Sukoco, tapi seperti mendapatkan kebaruan pengalaman dan pemahaman ketika pada kali lain mendengar uraian tersebut kembali.
Di awal sesi Juguran Syafaat edisi Agustus 2020 lalu, Mas Agus melontarkan sebuah ilustrasi pemahaman. Diilustrasikan oleh beliau tentang kelakuan monyet dan akhlak manusia ketika mendapati makanan. Andai sepuluh monyet diberi sebungkus kacang, mereka akan berebut hingga saling mencakar satu sama lain.
Namun, situasi berebut tidaklah terjadi jika sekumpulan manusia, misalnya, disuguhi seplastik jeruk. Hal ini dikarenakan adanya sebuah keadaban. Yang terjadi adalah buah-buah jeruk ini akan dibagi secara adil. Bahkan adakalanya masing-masing individu saling menolak dan mempersilakan rekan-rekannya saja yang menikmati hidangan jeruk tersebut.
Tak perlu terburu-buru manusia untuk berbangga diri, sebab pada kenyataannya pemandangan keadaban hari ini lebih menonjol pada kebudayaan saling berebut. Tak ubahnya seperti ilustrasi bagian pertama. Kebudayaan saling berebut antar sesama manusia di dunia telah merambah luas meliputi ranah politik, ekonomi, sampai soal-soal sepele dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Pada titik inilah, menurut Mas Agus, urgensi kehadiran Maiyah sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi akal-budi manusia yang terus merosot.
Merespon fenomena saling berebut tersebut, Febri urun diskusi meluasi dan mendalami bahasan. Baginya, berebut atau berkompetisi dan atau yang dalam teks ilmu sosial diistilahkan mekanisme pasar, merupakan unsur yang muncul secara alamiah dan sulit dihindari dalam setiap segmen kehidupan.
Ada dimensi kehidupan yang membutuhkan suasana bebrayan, namun ada dimensi hidup yang memerlukan kompetisi utamanya pada bidang-bidang kehidupan yang menyangkut perihal alokasi sumber daya yang harus dikerjakan secara efektif dan efisien. Tanpa kompetisi berarti tidak ada kalah-menang. Bila semua tampil jadi pemenang tak ada yang mendera nasib sebagai pecundang, maka urusan atau jatah pekerjaan yang kurang enak tentu tidak akan ada yang bersedia mengambilnya.
Diskusi kian hidup dan makin lepas, meski awalnya agak menegangkan. Bukan menegang karena debat kusir, melainkan sebab mimik dan intonasi Febri yang kelewat serius. Pada Juguran Syafaat dengan tema “Multiversitas” malam hari itu sekiranya ada empat poin penting yang berhasil diproduksi: Pertama, pelajaran mengenai ilmu kompetisi sebetulnya sangat penting. Harapannya adalah sesengit apapun tensi kompetisi, fungsi akal harus tetap terjaga. Jangan sampai fungsi akal kendor dan merosot.
Kedua, watak kompetisi senantiasa melahirkan predikat menang-kalah. Namun inilah ujian mental bagi para pelaku kompetisi. Kalau mau lulus, seyogyanya yang menang tidak tergiring menjadi besar kepala, dan yang kalah tersisih hendaknya tidak perlu kecil hati atau putus asa.
Ketiga, meruhanikan kompetisi. Menjadikan kompetisi sebagai instrumen detektor diri atas fadhilah Tuhan. Maksudnya, jika kita kalah dalam suatu kompetisi, penghikmahannya adalah mungkin minat-bakat (fadhilah) kita memang bukan di situ. Kita perlu mencari ruang-ruang dan arena sosial lain yang memungkinkan eksistensi kemakhlukan kita bisa lebih optimal.
Dan keempat, bonding anti-sliding. Regulasi hukum positif atau “rule of the game” sudah dibuat sedemikian rupa sebagai pagar moral demi terwujudnya harmoni sosial. Kalau ada pihak yang rela mencederai aturan main dan melanggar fairplay, pasti ia sedang kehilangan bonding alias keterhubugan atau kedekatan dengan mitra kompetisinya.
Melemahnya bonding ini, dari satu perspektif keilmuan merupakan faktor sebab. Sedangkan dari perspektif Marxist merupakan faktor akibat, yaitu akibat “mode of production“. Ini soal runyam, seperti mencari jawaban pertanyaan: telor sama ayam duluan yang mana?
Keluarga adalah prototipe ideal dan alamiah dalam menjalin interaksi sosial dan membangun suasana bebrayan agung di mana bonding masih terjalin. Karyanto menimpali, sudah semestinya unit sosial terkecil ini bisa menjadi panduan pokok dalam menjalani kehidupan sosial yang lebih besar seperti desa, kabupaten, dan negara.
Kompetisi yang tidak sehat mustahil terjadi sekiranya masing-masing individu memiliki jalinan rasa sebagai satu keluarga, sebagai sahabat. “Mosok sesama teman nyalip di tikungan”, Rizky berseloroh. Gerrrrrr… pecah tawa spontan para kru streaming di dalam ruangan seluas lapangan bulutangkis yang menjadi studio broadcasting malam hari itu.
Menambah gayeng dan tidak sepaneng forum berdurasi dua jam setengah ini, Hirdan dan Toto ikut melibatkan diri dalam beberapa nomor lagu yang dibawakan secara akustik.
Selain mendiskusikan dengan luas dan luwes rentang begitu panjang dari esensi kompetisi hingga urgensi menjaga keterhubungan atau bonding, malam hari itu para narasumber juga saling berbagi deep-insight dari pengalaman masing-masing berkuliah di multiversitas Maiyah.
Pengalaman persentuhan keilmuan yang satu sama lain berbeda, latar belakang problematika dan tantangan hidup yang tidak seragam serta atensi dan intensi yang juga tak sama amat membuat wajar apabila satu sama lain dari setiap Jamaah Maiyah memiliki deep-insight yang berbeda satu sama lain. Multiragam. (Febri Patmoko/RedJS)