Berkumpul Grubyag-grubyug vs Menjadi Sindikat

Catatan Maiyahan Juguran Syafaat Edisi Juli 2020

Terjadinya gotong royong sejatinya adalah efek dari terpenuhinya prasyarat sebelumnya yakni tatanan masyarakat yang adil dan saling percaya satu sama lain. Demikian Karyanto selaku moderator mencoba menuturkan ulang apa yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun mengenai gotong royong.

Pantikan berikutnya disampaikan oleh Febri, salah seorang penggiat yang ikut urun sharing di sesi-sesi awal Juguran Syafaat dalam format virtual gathering edisi Juli 2020 ini. Febri menyampaikan bagaimana dahulu misalnya peristiwa hajatan salah seorang warga dikerjakan dengan mekanisme gotong royong yang amat apik, satu sama lain saling urun hingga kemudian acara dapat terselenggara.

Gambaran keindahan gotong royong di tahun 70-an kemudian disampaikan oleh Pak Titut secara lebih rinci. Ia terkenang pengalaman meminjam lampu petromak, senjata penerangan terhebat pada masanya untuk bersama-sama lembut membuat kembar mayang. Ada yang urun jeruk, nanas dan sebagainya lalu pada malam hari bersama-sama merangkai dekorasi pelaminan dengan gembira.

Meski aksi gotong royong telah berubah drastis oleh perubahan zaman, tetapi Pak Titut menilai bahwa ia belum serta merta punah. Terutama di desa-desa, kerigan bersih-bersih lingkungan, petani bersama-sama mencangkul sungai tanpa bayaran, untuk tujuan bersama-sama memelihara pengairan ladang dan sawah.

Hingga yang paling aktual adalah merebaknya tradisi delivery order sebagai implikasi dari social distancing, itu juga bentuk sindikasi yang menguntungkan berbagai pihak, begitu ujarnya.

Gotong Royong Berangkat dari Kesamaan Masalah

Musim pandemi belum berakhir. Pemerintah Banyumas yang bulan lalu sudah mengumumkan kurva keterjangkitan melandai, kini menanjak lagi. Keadaan serba tidak pasti masih terus berlangsung. Mas Nael, salah seorang penggiat yang tinggal di Purbalingga memberikan sharing, bahwasanya selain wabah Covid-19, di desanya yakni di Desa Karangklesem juga menjangkit Wabah Demam Berdarah.

Dari keprihatinan atas keadaan wabah berganda-ganda tersebut, sejumlah pemuda diajak difasilitasi untuk membuat aksi positif, yakni membuat “Kelompok Peduli Sampah”. Kelompok ini semacam Bank Sampah, berupaya menertibkan lagi urusan persampahan dalam rangka membuat lingkungan yang meningkat kesehatannya sehingga dapat turut mencegah dari meningkatnya berbagai wabah penyakit.

Bersesuaian dengan tema malam hari itu “Sindikasi Kebaikan”, best practice dari pendirian Bank Sampah yang digagas oleh Mas Nael dan sejumlah pemuda menjadi aplikasi nyatanya. Mengapa aksi sindikasi yang amat baik ini bisa terbentuk, tidak lain karena para anggota merasakan kegelisahan atas sebuah masalah yang sama, sehingga semuanya kemudian dapat bergerak bersama-sama. Warga amat antusias untuk ikut nyengkuyung, sudah 177 rumah dari 600 rumah di seluruh desa mendaftar menjadi anggota. Semenjak tiga bulan berjalan, kini pengurus sudah bisa mendirikan sebuah kantor sederhana. Selain mengurusi distribusi sampah rumah tangga, kini juga sudah ada diversifikasi kegiatan lainnya yakni tabungan lebaran. Dan ke depan target terdekat adalah dari modal gotong royong bersama-sama, hendak mendirikan e-Warung.

Hilmy selaku moderator merespons, kalau pergerakan Mas Nael dan kawan-kawan terlihat begitu signifikan hanya dalam tiga bulan sudah amat baik perkembangan kegiatannya ia mengaku tidak heran. Sebab ia melihat sendiri bagaimana proses panjang sebelumnya, bagaimana Mas Nael dan sejumlah pemuda menata lingkungan dengan amat baik, mendampingi tumbuh kembang generasi baru melalu Madin sejak usia amat belia, menata kamtib, mencegah kriminalitas maka apa yang dicapai hari ini bukanlah sesuatu yang serta-merta.

Best practice Mas Nael ini membenarkan hipotesis Karyanto yang diambil dari kutipan penyampaian Mbah Nun mengenai pra-syarat gotong royong di atas. Ada alas yang disiapkan terlebih dahulu, sehingga gotong royong dapat digulirkan dengan langsam. Ilustrasi nyata dari yang dikerjakan oleh Mas Nael dan kawan-kawan pemuda desa di sana juga membenarkan respons yang disampaikan oleh Adi, bahwa perlu ada “penghasut” kebaikan, supaya sebuah program yang baik dapat terwujud terlaksana.

Berorientasi Esensi ketimbang Bentuk

Lebih jauh Hilmy juga mengkritisi praktek aktivisme gotong royong yang cenderung berorientasi pada target-target pelembagaan. Pada sosialisasi koperasi misalnya, hendaknya pegiat koperasi tidak melulu mentarget pada pendirian lembaganya, melainkan nguri-uri lagi, koperasi sebagai solusi pada zamannya mengandung esensi apa saja sih di dalamnya, lalu apa aplikasi yang paling presisi untuk diterapkan pada situasi masa kini. Jadi, tidak melulu memindahkan apa yang pernah jaya pada masa lalu mentah-mentah menerapkannya pada situasi kali ini.

“Mungkin dulu koperasi pernah hebat, tetapi sekarang dengan kultur masyarakat yang berubah, bisa jadi tidak harus dipaksa dengan padatan lama itu. Tugas kita membuat bentuk-bentuk yang baru yang relevan.”, ujarnya.

“Kalay saya mempunyai PT atau CV dan substansi gotong royong berlangsung di dalamnya, bukankah itu juga bagus?”, Himy melanjutkan.

Kemudian, Karyanto mencoba mengurai lebih detail mengenai perkumpulan yang berbasis sindikasi dan membedakannya dari yang sekadar grubyag-grubyug. Menurutnya, selain ada kesamaan motivasi menghadapi masalah yang sama, sebuah sindikasi terbentuk karena ada pelaku-pelaku yang solid juga ada tujuan yang jelas untuk dicapai.

Jangan-Jangan Tidak ada Pilihan Lain

Berbagai contoh praktek sinergi yang bernilai “sindikat” kemudian diungkap oleh Kukuh yang ia amati berlangsung di jejaring Unit Ekonomi Produktif (UEP) Karang Taruna Kabupaten Banyumas di mana ia sebagai pendirinya. Sederhana misalnya, berbagi ongkos kirim dengan mengangkut barang dagangan bersama-sama itu sudah sebuah praktek sindikasi yang baik sebab memperingan biaya bersama-sama.

Kemudian respons dari Rizky, bahwa jangan-jangan perlunya kita membangun “sindikat” antar teman kita sendiri bukan hanya untuk keperluan efisiensi seperti yang diutarakan oleh Kukuh di atas. Tetapi, Ber-sindikat adalah memang satu-satunya jalan untuk menang atas keadaan. “Kita ini sudah kalah previlese dengan yang lain, tetapi masih merasa mampu maju sendiri-sendiri”, tandasnya.

“Padahal pedagang krupuk di pasar itu mereka saling berkongsi. Fotokopi padang itu jalan bareng. Supplier marketplace itu impor 1-2 kontainer digotong bareng-bareng”, lanjutnya.

Lalu tutur bergabung juga Penggiat Juguran Syafaat yang ada nun jauh di sana di Brunei Darussalam yakni Pak Wadil. Meskipun berada jauh tetapi tiap edisi Juguran Syafaat selalu menyimak dari jauh. Ia menyampaikan berbagai perkembangan kondisi pandemi di Brunei di mana telah mencapai puncak kurva beberapa bulan lalu pada angka keterjangkitan 164 orang. Ia menyampaikan bahwa sejak dua bulan yang lalu situasi di Brunei relatif biasa saja, pemandangan orang bermasker tidak lagi mencolok, masyarakat cenderung lebih tenang. Meskipun demikian, kegiatan Sholat berjamaah masih menggunakan Protokol Covid-19, pun begitu outlet dan berbagai fasilitas publik wajib mengintegrasikan diri pada aplikasi BruneiHealth.

Selain mengikuti Maiyahan dari jauh, Pak Wadil juga cukup intens berkomunikasi dengan teman-teman di tanah air. Tak segan ia memberikan dukungan pengembangan usaha bagi teman-teman di sini. “Bagi saya pandemi ini adalah saatnya  berpraktek ria dari segala ilmu yang sudah kita dapatkan.”, tukasnya.

Hingga pukul 22.00 lewat Juguran Syafaat kemudian segera dipungkasi. Selain masih menunda pelaksanaan gathering reguler di Pendopo Wabup meskipun sudah dipersilakan pada bulan lalu, Maiyahan virtual ini juga masih berupaya memadatkan durasi pelaksanaan. Adaptasi ini merupakan upaya agar penyimak live streaming tidak kelelahan secara psikologis, mengingat atmosfir pertemuan langsung dan pertemuan virtual tentu menguras energi yang berbeda.

Meskipun Pak Titut batal membawakan nyanyian dengan alat musik bas betot barunya yang ia tunjukkan tadi, tetapi pesan Pak Titut yang satu ini amat baik untuk dipegang. Bahwa, kita jangan mendewa-dewakan uang, jangan seperti orang kota yang sedikit-sedikit uang. “Iya, kalau Corona ini segera selesai, kalau masih lama bagaimana? Kalau kota-kota tidak dikirimi logistik dari desa, uangnya ada tetapi pasarnya tidak ada dagangan bagaimana?”, ujarnya.

“Jangan mendewa-dewakan uang. Jangan pula mendewa-dewakan internet, karena sewaktu-waktu bisa mbledug. Hendaknya kita hanya menuhankan Tuhan melalui hati nurani yang dipenuhi kebaikan yang positif”, pungkasnya. (Redaksi Juguran Syafaat) 

Previous ArticleNext Article