Belepotan Beletan di Pentas Ndaudbeletan 2020

Di hari minggu pagi yang cerah Saya menyaksikan sebuah karya seni dari Abah Titut Edi Purwanto. Sebuah pementasan di alam terbuka dengan tajuk, “Ndaudbeletan”. Sebuah pementasan yang menurut saya unik, karena tidak ditampilkan di atas panggung, melainkan di atas belet (lumpur). Pementasan ini menggambarkan bagaimana petani mengerjakan proses dan prosesi dari bercocok tanam di Sawah.

Saya datang lebih awal sebelum acara di mulai, melihat kehadiran saya, Wajah Pak Titut nampak senang. Walaupun saya tidak bisa bantu-bantu, setidaknya ikut nyengkutung energi positif sebelum sang lakon utama bersiap menuju pentas. Menurut Pak Titut, selain untuk Pertunjukan, “Ndaudbeletan” juga bertujuan untuk mengingatkan  pada anak cucu bahwa dahulu nenek moyang kita semua adalah seorang petani yang gemar bercocok tanam.

Acara tersebut diadakan di Sawah belakang Balai desa Pangebatan, pada hari minggu yang cerah di tanggal 20 Desember 2020. Acara ini sekaligus sebagai momentum peresmian gubug sawah yang baru saja Pak Titut bangun, yang diberi nama Gubung Sawah Cowongsewu.

Tidak tanggung-tanggung, gubug sawah dengan nuansa natural alamiah berukuran 6 x 6 meter ini pada hari itu diresmikan langsung oleh Bapak Sadewo, Wakil Bupati Banyumas. Acara dimulai sekitar pukul 09.30 WIB diawali dengan Pak Titut memberikan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya acara dan kemudian dilanjutkan dengan sambutan oleh Pak Wabup.

Beberapa menit setelah sambutan selesai, kemudian bergulir pada mata acara pembacaan puisi. Puisi menjadi pemantik dari dimulainya Pertunjukan yang dengan gaya khasnya Pak Titut selalu mampu menarik perhatian penonton agar mendekat dan atusias.

Dalam pertunjukan tersebut Pak Titut mengikutsertakan  sekitar 15 anak-anak kecil yang biasa belajar dan bermain bersamanya disawah. Ikut hadir juga teman-teman muda anak-anak “asuhan” Pak Titut, Ada seorang pemain biola, seorang pemain kendang,  beberapa pemain genjring untuk iring-iringan dan dua orang penari. Yang istimewa adalah salah seorang dari penari adalah istri Pak Titut sendiri, Ibu Tri Indarwati.

Hal yang bagi saya amat menari dari pertujukan ini salah satunya adalah filosofi dan makna “Tarian Jiwa” yang dilakukan Pak Titut bersama Istrinya. Di dalam tarian yang diselimuti Kain Putih tertutup rapat diatas lumpur sawah yang telah di bajak sehingga melambangkan antara bumi dan langit sedang bercocok tanam untuk kemudian memunculkan benih dan menghasilkan panen dari hasil bercocok tanam yang dilakukan.

Setelah pertunjukan dan puisi-puisi tentang alam selesai dilakukan, acara kemudian dilanjut dengan peresmian Gubug Cowongsewu oleh Pak Wabup. Gubug ini nantinya akan difungsikan sebagai tempat belajar  anak-anak desa setempat di setiap minggu pagi bersama Pak  Titut. Gubugnya pun unik banyak kata-kata bijak yang ditulis di papan kayu yang memiliki makna sebagai pengingat dan nasehat dari para leluhur.

Sambil beristirahat ditengah teriknya matahari di Gubug yang baru saja diresmikan, Pak Wabup dan penonton pun mulai menikmati suguhan jajanan pasar seperti klepon muntul dan aneka rasa gethuk berwarna warni yang memancing lidah untuk menyantapnya bersama segelas teh hangat, makanan yang berkah dan gratis itu memang sangat nikmat.

Setelah beberapa menit ngobrol santai dan menyaksikan duet antara Abah Titut dan Pak Wabup dalam menyanyikan lagu “Cempulek Gawe Mendoan” akhirnya Pak Wabup pun mohon undur diri dan berpamitan pulang.

Saya mengikuti acara hingga selesai dengan hati yang marem. Acara dipungkasi sekitar pukul 12.00 WIB. Kami semua pun merasa senang dan terhibur dengan pertunjukan tersebut. Dalam acara tersebut banyak seniman yang dulunya belum sempat bertemu akhirnya dapat berjumpa di acara tersebut. Pak Titut pun juga berharap jika di beri kesempatan dan berkah, kedepannya akan membuat lagi karya-karya yang di lahirkan di Gubug Cowongsewu tersebut.

Previous ArticleNext Article