Atmosfir Saling Tidak Percaya

Musyawarah. Istilah ini sering kita dengar dan ucapkan. Namun sebagai sebuah konsep solusi dalam mengurai masalah-masalah, musyawarah seperti telah menjadi masa silam. Tak lagi kita jumpai spirit musyawarah sebagai mekanisme komunikasi antar kelompok dalam hal penentuan keputusan bersama. Yang terjadi adalah “perang tanding”.

Mekanisme perang tanding adalah atraksi saling melumpuhkan pihak lain. Padahal jelas amanat para pendiri bangsa yang tertuang dalam sila keempat adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sebuah sistem yang mempeluangi prosedur pencarian titik temu dalam merespon berbagai kecenderungan yang ada dengan hasil kebijaksanaan.

Dalam Pilpres atau Pilkada misalnya, satu-satunya yang dianggap relevan adalah perang tanding. Kekuatan-kekuatan yang ada tidak memiliki gairah untuk meriung dalam sebuah majelis yang disemangati oleh usaha-usaha menemukan hikmah.

Masing-masing kelompok hanya bersiap pasang kuda-kuda. Kita memang telah berada pada ruang sosial yang diatmosfiri oleh rasa saling tidak percaya. Maka, satu-satunya yang dianggap sebagai kebenaran adalah melumpuhkan lawan.

Jika diibaratkan Lebah, kita memang sedang kehilangan ratu. Pemimpin atau sesepuh yang mampu “mempawangi” semua pihak. Kita hanya memiliki tokoh golongan dan pemuka gerombolan. Maka, tak mungkin musyawarah bisa dijalankan sebagai prosedur untuk mengambil keputusan.

Sejarah yang dikelola dengan spirit perang tanding hanya akan menghasilkan darah dan kelelahan yang tak berkesudahan. Yang ironik adalah, kita merasa sama-sama sedang menjalankan amanat kebangsaan dan keagamaan sambil terus mewariskan sejarah traumatik ini kepada anak cucu. (Agus Sukoco)

Previous ArticleNext Article