Catatan Juguran Syafaat edisi ke-72, Maret 2019
Juguran Syafaat edisi ke-72 kali ini mengusung tema yang sangat radikal, yaitu “Bombong Berkualitas”. Ndak radikal bagaimana coba, hampir mayoritas people zaman now, yang dicari dalam perjalanan hidup ini adalah kebombongan. Iya, kan? Alasan bombongnya bisa karena punya rekening gendhut, punya isteri lebih dari satu, lolos seleksi CPNS atau bisa juga bombong karena menjadi orang yang viral alias terkenal. Pergulatan hidup manusia dalam mencari alat pemuas kebombongan menahbiskan bumi manusia sebagai panggung sandiwara yang tidak pernah sepi lelakon.
Sore yang gerimis, 16 Maret 2019, dalam rangka mengkampanyekan visi hidup “Bombong Berkualitas”, Penggiat Juguran Syafaat angkatan veteran yakni Anggi Fajar Sholih, Edy Kusworo dan Hirdan Ikhya nampak begitu cekatan menyiapkan perkakas teknis panggung kampanye. Wajah-wajah riang memancar jelas, seolah terhipnotis dengan frasa “Bombong Berkualitas”.
Kesibukan kecil di Pendopo Wakil Bupati Banyumas sore itu mendadak terhenti tatkala Karyanto, Penggiat Maiyah asal Cilongok kemudian datang dengan raut wajah kurang bombong. Elah ndilalah, ringkas cerita, masih disekitar parkiran harus terjadi eksiden kecil dua mobil harus bercumbu berciuman, yang mana Karyanto mengendarai salah satunya. Semua berdiri mematung, berpikir sekaligus empati, suasana kemudian menjadi senyap sesaat, hanya terdengar tik-tik bunyi hujan di atas genting pendopo.
“The show must go on“, dengan sedikit drama akhirnya perkara pun selesai di tempat. Semua kemudian kembali pada kesibukan persiapan acara. Lampu sorot dinyalakan dan saklar on-off mic di test bunyinya. Setelah semua perlengkapan nyaris OK, semua Penggiat yang sudah hadir di petang Maghrib (13/3) kala itu kemudian duduk melingkar untuk melaksanakan rapat singkat alias Briefing. Tak lama briefing usai, semua kembali pada pos kerjanya, kecuali yang belum santap malam.
Jam menunjukkan pukul 20.15. Ikhtiar spiritual untuk membuka hati dikerjakan melalui pembacaan Kalamullah surat Al Maidah ayat 1 s/d 5. Beranjak pada acara selanjutnya, Kukuh, selaku host acara, menyambar gagang mic dan mulai bersilat lidah untuk merangsang jamaah membuka pikiran yang pada sesi pertama.
Secara demografi, Jamaah yang hadir di Juguran Syafaat rerata berusia 20-an tahun. Sudah menjadi ciri khas bahwa mereka selalu datang tidak dengan berduyun-duyun beramai-ramai, satu dua orang datang secara bertahap, hingga jarum jam menunjuk angka sepuluh, balai pertemuan seluas dua kali lapangan voli barulah terasa sesak oleh kehadiran para pemburu ilmu. Malam hari itu atas izin-Nya, hadir sosok tamu bersahaja, Sendy Noviko, dari kelompok musik indie “Ujung Kuku”. Pria kelahiran Jakarta ini juga berprofesi sebagai Dosen Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Unsoed Purwokerto.
Usaha persuasif Bang Sendy dalam membentuk peradaban tidak ditempuh melalui jalur akademis semata. Ia juga memanfaatkan musik sebagai media ekspresif untuk melempar sentilan yang ditumpahkan dalam bait-bait lagu. Dikatakan olehnya, bahwa ruang dakwah itu luas, semua bisa memberi kontribusi bagi kemanusiaan sesuai bidang keahlian masing-masing.
Lagu berjudul “Manusia Pasti Bisa” yang dinyanyikan Bang Sendy di tengah-tengah jamaah yang diiringi alunan Biola gesekan tangan Mas Yono alias Mas BH–akronim Biola Hitam, nama akun medsosnya, merupakan wujud keresahannya atas polarisasi sosial yang terjadi gegara Pemilu 2014. Semut dan Luwak saja bisa urip guyub rukun bebrayan agung, kok, kita manusia yang katanya berakal dan makhluk paling sempurna malah dikit-dikit ribut. Urai Bang Sendy menjelaskan pesan moral lagu “Manusia Pasti Bisa”, salah satu lagu yang menjadi andalan album “Bingkai Nusantara”.
Air kopi dalam gelas plastik saya tinggal setengah, tetapi amunisi ilmu yang dilontarkan Bang Sendy seolah tiada berkurang. Mulai dari ngobrol tentang musik, politik, Kabayan turun kota, sampai mengungkit tentang teori developmentalisme. Developmentalisme adalah ideologi pembangunan yang banyak diadopsi oleh Negara Dunia Ketiga usai Perang Dunia II. Dirumuskan oleh akademisi barat (kapitalisme) untuk membendung pengaruh ideologi Blok Uni Soviet (komunisme). Pada akhirnya, developmentalisme merupakan alat untuk menundukan negara-negara selatan atas hegemoni ekonomi dan politik negara utara pasca kolonialisme fisik.
Sugeng Barkop mulai mendistribusikan piring-piring yang berisi mendoan, tahu brontak, dan bakwan ke penjuru balai pertemuan. Itu isyarat tak resmi bahwa babak pertama Juguran Syafaat memasuki menit-menit akhir, beralih ke babak kedua yang selanjutnya dinahkodai oleh host Kusworo.
Memberikan sekelumit pengantar “Bombong Berkualitas”, Risky dalam pengantarnya mengatakan bahwa barang siapa yang mampu menuntaskan aktivitas pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka ia berhak memperoleh sesuatu yang paling dicari dalam hidup setiap manusia: kebahagiaan. Risky, yang juga seorang penulis produktif itu mengupas kebombongan dalam konteks aktivitas kerja.
Dari pengakuan Titut Edi Purwanto, pemilihan judul “Bombong” sudah sangat membuatnya bombong karena wujud nguri-uri warisan Bahasa Banyumasan. “Leluhur boleh mati tapi karya akan abadi”, ucapnya penuh semangat yang kemudian diikuti gemuruh tepuk tangan Penggiat Maiyah.
“Orang yang bombong selalu menggunakan kata-kata surga”, lanjut Mbah Titut. Ini mengingatkan kita pada kisah muda-mudi kasmaran yang gemar mengumbar puisi bulan dan bintang. Merujuk pula pada fenomena kebombongan hari lebaran dengan hingar-bingar cinta dan maaf via pesan singkat yang ditulis indah melambai-lambai bagai nyiur di tepi pantai.
Agus Sukoco, seperti biasanya, memakai tafsir “langit” untuk membedah wacana yang menjadi obrolan Juguran. Menurutnya, bombong yang hakiki adalah saat manusia mampu memberi manfaat bagi orang lain. “Migunani tumraping liyan” kalau dalam falsafah Jawa.
Secara teknis perbuatan memberi itu tampak seperti sedang memenuhi kebutuhan pihak lain, tetapi hakekatnya sedang memenuhi kebutuhan sendiri. Yaitu untuk mendapatkan nutrisi ruhani berupa amal saleh.
Memposisikan diri sebagai pihak yang memberi, apapun jenis pemberian itu, asal bernilai kebaikan hidup bersama adalah cara manusia mengabdi kepada Tuhan. Kebaikan terhadap sesama makhluk-Nya (horisontal) merupakan alamat menuju Tuhan (vertikal).
Meskipun eksistensi ruh dan eksistensi Tuhan merupakan sesuatu yang absurd bagi para penganut filsafat positivisme rintisan Auguste Comte. Positivisme hanya mempercayai materi inderawi sebagai hakekat dari realitas.
Sebagian ringkasan paparan Mas Agus, saya cuplik dari tulisan beliau di Caknun.com. Mengingat bobot pembahasan yang berat dan akibat konsentrasi yang acapkali buyar diterjang deru knalpot blombongan serta raungan sirine di jalan di seberang halaman.
Atmosfir Juguran Syafaat malam itu zigzag dan kenceng-kendor. Tensi jidat panas bertabur micin lelucon. Saya sendiri merasa was-was bilamana ilmu yang telah bersemayam di batok kepala malah muntah keluar lewat mulut yang tiada henti menganga terbahak.
Duet konyol “Tom and Jery” alias Titut Edi Purwanto dan Hadi Wijaya yang menyanyikan lagu “Lele Dumbo Nyokot Tempe”. Lalu aksi banyolan stand up comedy Dhika Ramadani Wibowo. Sumbangan suara emas Ikhda Nurul, yang karena beberapa pekan lalu usai menunaikan prosesi lamaran, menjadi sasaran bullying yang memancing tawa.
Melangkah di penghujung acara, lagu slengekan “Wis Telung Ndina Ora Mangan Dadi Suren” oleh Agung Totman, sukses memulihkan saraf-saraf “kejepit” di sekujur tubuh kita dan serta-merta mengeluarkan hormon kebombongan atau Zat Endorphin. Usai membawakan lagu, selalu tak ketinggalan kalimat legendarisnya disampaikan, “Sing penting Rika pada bahagia, Nyong tah gampang”.
Beberapa menit menjelang jam 03.00 Juguran malam hari itu kemudian dipungkasi dengan bersalam-salaman diiringi oleh KAJ. [] Febri Patmoko/RedJS