Catatan Seminar dan Diskusi Interaktif bersama Mas Sabrang di IAIN Purwokerto
Kayaknya, sih, acuan moral mengenai pola hidup bersih sudah tertanam sejak kala usia sekolah dasar. Seingat Saya, nasehat mulia “Kebersihan adalah sebagian dari Iman” malah pernah terpacak pada lembar halaman tepi bawah buku tulis. Nyatanya, menginjak dewasa menuju tua, secara periodik Saya selalu saja khilaf menempatkan puntung rokok tidak pada tempat semestinya. Mohon maaf atas blunder yang saya lakukan ini.
Menyimak lalu lintas percakapan media sosial, terutama obrolan yang mengangkat tema-tema sensitif, saya tak ubahnya seperti nonton atraksi Limbad. Meresahkan, ngeri dan detak ritmik jantung berdentum kencang bersaing dengan notifikasi “beep” Wa Group Alumni SMP dan SMA. Hal itu saya alami manakala nemu penyebutan pekok! Koplak! bego dipeliara! anjing loe! dan ungkapan emosional yang se-famili lainnya.
Sebenarnya mereka paham kok, kalau itu perbuatan yang kurang menyenangkan. Sebagai mantan Buzzer Poros Kecepret–sintesa Kecebong dan Kampret, saya juga pernah fasih melantunkan “hate speech” semacam itu. Hingga kemudian saya berkenalan dengan Maiyah.
Dari fenomena masalah sosial di atas, terbentang dua variabel berjarak yang menimbulkan celah alam kesadaran, yaitu fakta atau keadaan (matter) dan makna (value) sebagai variabel tetap, sedangkan kesadaran (mind) merupakan variabel yang bebas.
Sabrang Mowo Damar Panuluh dalam khotbahnya pada Seminar dan Dialog Interaktif bertema Generasi Milenial Mengenal Pancasila yang dihelat DEMA IAIN PURWOKERTO pada Senin, 14 Januari 2019 kemarin mendeskripsikan dengan istilah pulau dan selat. Jelasnya, tong sampah adalah pulau fakta. Lalu “Kebersihan sebagian dari Iman” serupa pulau makna. Selat yang tercipta dari pulau imajiner tersebut tentu tidak terisi air laut, tapi oleh kesadaran individu manusia.
Bagaimana kesadaran individu terbentuk? lanjut Mas Sabrang, banyak sebab yang melatarbelakanginya. Pengalaman inderawi, basis dan setting sosial sangat mempengaruhi kesadaran individu manusia sebagai produk sosial masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya kita jangan sampai terlalu gegabah untuk mem-vonis orang lain sebagai, katakanlah, “Tidak Pancasilais!” dengan tanpa terlebih dulu melacak riwayat historis-sosiologisnya.
Sesuatu yang jauh hari sebelumnya telah diingatkan Carl Gustav Jung, murid Sigmund Freud, “Thinking is difficult, that’s why most people judge“.
Kasus faktual dari Totman, nama samaran, ABG tua berambut gondrong yang nekad mbethot gas Vespa butut kesayangannya saat lampu merah menyala usai menyaksikan kekalahan Timnas adalah contoh kesadaran yang tak perlu kita “copy paste”.
Karyanto, nama samaran juga, suatu malam kehujanan, sendirian dan Pos Polisi kosong. Akan tetapi, Dia istiqomah memilih berhenti mengikuti petunjuk tulisan “Belok kiri ikuti lampu” sembari berdendang lirih beberapa bait lagu “Sandaran Hati” milik Band Letto. Usut punya usut, Karyanto baru saja “jadian” dengan wanita sholehah. Bentuk kesadaran jenis ini masih perlu untuk diseminarkan lagi.
Memasuki puncak seminar pada perjumpaan agung di Aula GSC Kampus IAIN kemarin, Saya malah sibuk dengan pikiran saya sendiri, berusaha mencari kepastian jawaban atas wacana yang dibangun Mas Sabrang sampai ketika tiba-tiba terbersit dalam ingatan quote dari Mbah Guru Emha Ainun Najib yang saya temukan via Instagram : “Bahwa keberhasilan dan kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan yang baik atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan mentalmu menyikapi keadaan-keadaan itu”.
Semoga orang-orang seperti Totman dan Karyanto di atas bisa menghayati quote ini secara arif.
Melangkah sesi diskusi, seorang audiens mengajukan pertanyaan yang seolah biasa saja tetapi memantik jawaban yang mengusik mindset kita selama ini : “Sebagai mahasiswa, kontribusi nyata seperti apa yang bisa dilakukan dalam hubungannya dengan Pancasila sebagai pandangan hidup?”
Menanggapi pertanyaan tersebut, Mas Sabrang hanya tersenyum. Menurut Beliau, selama ini dalam memandang dan memahami Pancasila Kita terlalu terpukau dengan teori politik kenegaraan yang canggih dan dipusingkan dengan nilai-nilai filosofi yang njlimet. Padahal, lanjutnya, hakekat Pancasila secara sederhana adalah bagaimana mengubah sesuatu yang kacau (chaos) menjadi lebih teratur (order).
Tak harus melulu tentang action setinggi bintang di langit malam. Cukup dengan merapikan kain sprei dan bantal usai bangun tidur, itu sudah Pancasila banget. Contoh kecil dari Mas Sabrang ini lantas disambut gelak tawa peserta seminar.
Pancasila sebagai hasil ijtihad politik Para Bapak Bangsa pendiri Republik berfungsi sebagai fundamen bernegara atau united value dalam istilah Mas Sabrang. Sekaligus hal itu menjadi payung besar yang menaungi realitas kemajemukan Bumi Nusantara yang sudah sepatutnya kita tegakan bersama dengan penuh kesadaran “holopis kuntul baris”.
Kapolda Jateng yang pada kesempatan acara kemarin diwakilkan oleh Wakapolres Banyumas Kompol Heru Budiharto, S.I.K., M.I.K. yang juga turut serta menjadi narasumber menceritakan tentang pengalamannya ketika studi banding ke Jepang untuk mempelajari sistem pendidikan bagi Kepolisian.
Namun ternyata sistem yang dicangkok dari model pendidikan kepolisian Jepang gagal diterapkan di Indonesia. Menurutnya, hal itu lantaran bangsa Jepang dalam hal apapun lebih homogen, berbeda jauh dengan karakteristik bangsa Indonesia yang sangat heterogen dalam bentangan Sabang sampai Merauke, dari Rote hingga Miangas.
Dari “curhat” Pak Wakapolres itu, menjadi penting untuk kita garis bawahi bahwa dalam perumusan kebijakan publik hingga ijtihad politik seyogyanya tidak pernah lupa dengan sejarah dan akar sosiologis masyarakat kita yang begitu beragam.
Tak ketinggalan, atmosfir hangat dialog interaktif hari itu tak bisa lepas dari keceriaan Mas Bro Zulfikar Abdullah Iman Haqiqi alias Omen selaku moderator yang doyan ceplas-ceplos melempar jokes segar. Lewat leluconnya, Ia dengan sangat sukses berulang kali merapikan kerutan kening audiens, efek samping dosis materi obrolan yang memang rada berat.
Kiranya, patut kita apresiasi dengan memberikan “Like” beribu jempol untuk DEMA IAIN PURWOKERTO yang dengan begitu tega menyelenggarakan forum edukasi publik pada momen libur kuliah. Situasi yang semasa saya dulu menjadi mahasiswa lebih memilih untuk mudik ke kampung halaman.
Akhirnya, catatan dhuafa ini saya pungkasi dengan mengutip pernyataan dari Wakil Rektor III IAIN PURWOKERTO, Dr. H. Supriyanto, Lc., M.S.I. saat menyampaikan sekelumit pembukaan seminar, bahwa “Dulu dan sekarang, sebenarnya masalahnya hampir sama. Tak jauh dari urusan itu-itu saja. Yang beda hanya pemahaman dan sudut pandang yang dipakai.” []Febri/RedJS