Tak jauh dari tempat saya duduk, nampak seorang Ibu mengendarai sepeda motor yang pating kethanthil barang-barang dagangan sedang didorong oleh dua orang banser. Jalan menanjak dengan aspal yang rusak membuat perjalanan menuju Desa Petir, Purwanegara, Banjarnegara tersebut membutuhkan upaya yang memadai.
Dengan tas keranjang diboncengannya Si Ibu membawa tiga buah galon air minum. Di atasnya ditumpuki dengan meja kayu portable dalam posisi dilipat, gelas plastik, payung tenda dan kardus dagangan. Masih belum cukup itu saja, di depan jok masih nampak kandi berisi penuh barang. “Saya dari Purwokerto ini mas. Ternyata jauh sekali tempatnya”, Si Ibu menjelaskan. Berarti Si Ibu sudah menempuh sekitar dua jam perjalanan petang hari itu, dengan kondisi jalan yang tidak sepenuhnya mulus.
Lebih dari seratus lapak jualan deretan mengitari seantero lapangan desa tempat Sinau Bareng dihelat malam hari itu. Paling pojok diantara deretan lapak ada mobil bak terbuka reot yang hanya mengangkut sebuah diesel kecil. Dari diesel itulah lapak-lapak memperoleh aliran listrik sehingga bisa memendarkan lampu penerang. Wujud kemandirian kolektif ini patut untuk kita beri apresiasi.
Meskipun berada di pelosok, tetapi jumlah yang hadir tidak lebih sedikit ketika Sinau Bareng digelar di alun-alun Banjarnegara di tahun yang lalu. Lebih sepuluh ribu orang yang berkerumun menjadi berkah bagi penjaja dagangan yang hadir malam hari itu. Begitulah mekanisme dari gairah menjemput hidayah ilmu Allah menjadi berkah rezeki bagi saudara-saudara kita yang sedang berikhtiar bagi keluarganya. [] Rizky D. Rahmawan