Catatan Juguran Syafaat edisi ke-69, Desember 2018
Jamaah Maiyah Banyumas, Purbalingga dan dari kota-kota di sekitarnya lainnya malam hari itu (15/12) berkumpul beramai-ramai di Pendopo Wakil Bupati Banyumas. Di Pendopo yang dikenal pula dengan sebutan Pendopo Ex-Kotatip Purwokerto itu, Juguran Syafaat edisi bulan Desember atau edisi yang ke-69 digelar.
Dengan mengikatkan diri pada jejaring Maiyah Nusantara, Juguran Syafaat sebagaimana tertulis pada buletin rutinannya mempunyai misi yakni untuk ikut ambil bagian menjadi wahana bersama dalam rangka melakukan dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.

Acara malam hari itu terasa meriah sebab dihadiri oleh teman-teman dari lintas komunitas. Sekitar seratus orang hadir pada malam hari itu. Turut ajur-ajer malam hari itu teman-teman dari komunitas Orang Indonesia (OI) yang digawangi oleh kelompok musik Kaum Kusam. Ditambah sureprise oleh hadirnya Kang Wakijo dari kelompok musik WLS, kelompok musik wajibnya Gambang Syafaat di Semarang.
Penggiat Juguran Syafaat sengaja meminta kehadiran Pak Sadewo, Wabup Banyumas. Ia yang baru menjabat belum genap seratus hari itu nampak tak susah untuk ikut ajur-ajer bersama jamaah. Mengapa Pak Sadewo diminta hadir, salah satunya adalah keinginan untuk menyambung hati sebab kali itu adalah penyelenggaraan Juguran Syafaat yang pertama kali kembali menempati Pendopo ini. Setelah edisi September 2015 lalu yang mengangkat tema “Menjawab Zaman”, Juguran Syafaat memilih berkegiatan di luar Pendopo Wabup.

Teman-teman OI beberapa mengaku baru pernah mendatangi forum Juguran Syafaat. Di antara mereka menyampaikan merasa senang malam hari itu karena dapat bercengkerama dengan jamaah dari berbagai kalangan. Ada pula diantara mereka yang merasa senang sebab baru pertama kali bertatap muka dengan Pak Wabup dan mendapat kesempatan berbincang serta menyuguhkan karyanya malam hari itu.
Seperti khasnya forum Maiyahan, tidak ada panggung yang membuat hierarki antara narasumber dan jamaah. Juga tidak dibuat jarak dengan para talent pengisi musik. Mereka bukan selingan, mereka juga sama-sama inti, satu sama lain menggotong bersama-sama proses elaborasi terhadap setiap tema yang diangkat, dengan cara dan pendekatannya masing-masing.

Holopis kuntul baris itu kosakata jaman old. Alih-alih berceramah, Pak Wabup malam hari itu terpancing untuk berkisah tentang kisah masa lalu di keluarganya dan perjalanan masa kecil hingga remajanya. Termasuk proses dirinya dicalonkan menjadi Wabup hingga terpilih Ia sampaikan dengan cukup inspiratif, tidak dari kacamata politisi, melainkan dari kalkulasi dan hal-hal yang taktis serta demikian lugas. “Jadi daripada saya order baliho, saya hitung-hitung saat itu lebih untung beli mesin digital print bekas. Dan sekarang lumayan karena mesin itu masih menghasilkan buat saya”, tukas Pak Wabup yang memang berlatar belakang pebisnis itu.
Pak Titut dengan apik mengelaborasi jalannya diskusi. Tak kurang Ia juga mempersembahkan nomor-nomor pilihan, dengan terlebih dahulu mem-plekotho teman-teman Grup Musik Kaum Kusam untuk mau mengiringi. Bahkan Pak Wabup dengan nyaman bercurhat tentang tantangan dan persoalan yang sedang ia hadapi saat ini, diantaranya adalah persoalan sengketa tanah yang demikian pelik.

Saya merespon bahwa ruang seperti ini bisa jadi lebih bernilai pendidikan politik. Kalau pendidikan politik itu urusannya tata cara mencoblos saat pemilihan, itu baru hilirnya. Tetapi bagaimana rakyat dan pengampu kekuasaan bisa sambung rasa dan sambung pemahaman, itu adalah hal yang mahal untuk masa ini.
Tiba giliran Kang Wakijo mempersembahkan suara emasnya. Ia juga sharing mengenai perjalanan Gambang Syafaat dan Rumah Gemah Ripah, sebuah working space bersama yang dirintis oleh beberapa Penggiat Maiyah di Semarang. Memasuki lingsir wengi, Aji membawa pada sesi khusyuk, jamaah dipandu untuk berwirid bersama-sama.

Usai berwirid bersama, Pak Titut dan Pak Hardi berkolaborasi untuk menandaskan Holopis Kuntul Baris yang menjadi tema malam hari itu. Bagaimana semangat gotong royong membuat pekerjaan menggotong sesuatu yang berat menjadi realistis dilaksanakan, bukan hanya realistis tetapi semua yang terlibat diliputi oleh hati yang riang gembira.
Ini adalah warisan leluhur yang bentuknya bukan benda, bukan kalimat, tetapi spirit dari hawa murni yang kalau hilang maka generasi kita ini menjadi kalah kaya dibanding mereka yang kita umpat sebagai orang-orang jaman old. Kaya hati, kaya nilai-nilai.
Tersisa satu segmen di dini hari kala itu kemudian dimanfaatkan untuk tanya jawab. Febri salah seorang jamaah bertanya dengan setengahnya curhat, bagaimana ia mengeluhkan perubahan sosial yang diidam-idamkan tak kunjung terjadi.

Ki Agung Totman kemudian merespon dengan memberi afirmasi yang positif. Lalu sedikit saya ikut urun respon, bahwa perubahan sosial jangan selalu dibayangkan dalam bentuk fisik, seperti yang mainstream pahami sekarang : Pemberdayaan ekonomi. Bahwa kita bersama-sama nggotong kesadaran kolektif alias collective consciousness yang positif, hal itu juga sebuah perubahan sosial.
Benar saja, bahkan hal itu bisa jadi lebih substantif. Kalau tanpa adanya collective consciousness yang terlihat dari ekspresi gembira dan meneriakkan yel-yel sebagai aba-aba, segluntung rumah Jawa akan terasa begitu berat untuk bisa kemudian di-boyong.
Pertanyaannya sekarang, kita ini ikut menambah enteng atau malah menambah berat dari apa yang sedang digotong bersama-sama hari ini yakni collective consciousness sebagai sebuah komunitas movement-maker.

Dari jam delapan malam acara dimulai, waktu kala itu sudah menunjukkan jam setengah tiga dini hari. Acara ditutup dengan salam-salaman diiringi Hasbunallah.
Juguran Syafaat akan diselenggarakan lagi untuk umum pada bulan Januari di tempat yang sama, yakni di Pendopo Wabup Banyumas di Purwokerto dengan melibatkan komunitas yang berbeda-beda lagi. []RZ