Berwisata tidak harus mahal. Sekarang banyak desa-desa membuat obyek wisata sendiri. Tidak selalu ‘wah’ obyeknya, tetapi bukan berarti tidak menarik. Suatu waktu saya pernah mencoba ke sebuah obyek wisata pasar papringan. Sebuah pasar dadakan yang buka hanya dua hari dalam sebulan. Tiap kali buka menjadi kelangenan orang-orang.
Penjual di pasar itu menjajakan jajanan tradisional dan kerajinan desa. Pasar diorganisir sedemikian rupa, hingga sisi publisitasnya. Maka tak heran jika pengunjungnya membludag oleh orang-orang yang datang dari kota besar. Mereka mungkin orang-orang yang bosan piknik ke mal melulu, sehingga butuh mencari destinasi alternatif.
Saking membludagnya, dari parkiran orang harus rela berjalan cukup jauh. Nuansa tradisional saya peroleh. Akan tetapi sayang, ketika saya mencoba mengakrabi pengunjung yang lain, mengajaknya omong-omong, saya malah mendapati ekspresi sinis. Di situ saya baru tersadar, bahwa ini kan pasarnya orang-orang modern, orang-orang kota. Kemasannya saja yang dibuat tradisional. Di pasarnya orang modern bukan kebiasaannya sesama pengunjung saling bertegur sapa.
Sama-sama pasar, tetapi beda budayanya. Di pasar tradisional orang omong-omong tidak penting, saling tegur sapa dan bercanda itu biasa. Perbedaan budaya juga didapati di moda transportasi umum. Di kereta api biasa boleh makan dan minum, tetapi kalau kita di MRT, LRT & Commuter kemudian makan dan minum, itu tandanya kita adalah orang udik. Membuang sampah pada tempatnya adalah budaya modern. Tetapi stasiun MRT berupaya lebih modern lagi dengan menyediakan hanya sedikit sekali tempat sampah, agar terbangun budaya mengantongi sampahnya masing-masing.
Banyak orang menjadi udik sebab gagap mengenali perbedaan budaya seperti contoh di atas. Padahal, detail-detail budaya itu memiliki empan-papan-nya sendiri sebagai sebuah patrap. Semua itu adalah hal yang mesti dipelajari dengan sungguh-sungguh. Beda waktu, beda tempat, beda suasana, beda audiens menghasilkan formulasi budaya yang berbeda.
Generasi kita saat ini harus mengaku kalah bab sinau patrap-patrap tersebut di banding generasi yang lalu. Bagaimana sikap njawani menghasilkan output kepiawaian dalam membawa diri. Sementara kita hanya mengenali kebudayaan adalah apa-apa yang adanya di panggung kesenian. Iya, itu ekspresinya, itu atraksinya, kebudayaannya sendiri adalah pada yang berlaku di sehari-hari kita.[] Rizky D. Rahmawan